Konsekuensi Etik Gelar Habib

Konsekuensi Etik Gelar Habib

Sehingga, masyarakat tidak lagi meragukan keturunan Rasulullah hanya karena ada oknum habib yang tidak memiliki “akhlak dan keluasan ilmu”.

Konsekuensi Etik Gelar Habib

Gelar “Habib” kini tengah menjadi pusat perdebatan yang kompleks di tengah masyarakat, terutama di Indonesia. Problem sosial kemasyarakatan yang muncul akibat penggunaan gelar “Habib” karena tidak memiliki konsekuensi linguistik yang jelas, sehingga gelar tersebut diinterpretasikan universal terhadap semua keturunan nabi Muhammad SAW. Walhasil, dengan interpretasi ini, banyak yang meragukan keturunan nabi karena dianggap tidak sesuai dengan interpretasi masyarakat mengenai konsekuensi etik yang dibawa oleh gelar “Habib” yang melekat pada namanya.

Problematika gelar “Habib” diakibatkan oleh konsekuensi etik dari penggunaan kata tersebut yang tidak terpenuhi. Konsekuensi etik ini sulit dipahami oleh masyarakat karena harus diinterpretasikan dengan kemampuan linguistik. Gelar “Habib” tidak bisa semerta-merta diinterpretasikan dengan “keturunan Rasulullah” karena interpretasi kata dalam linguistik harus sesuai dengan Objek/acuan dari penggunaan kata/gelar yang disematkan.

Problematika Semiotika tanda “Habib”

Gelar “habib” dalam trikotomi Charles Sanders Peirce harus memiliki Sign (tanda), object dan interpretant yang jelas, sehingga gelar tersebut tidak problematic. Kata “Habib” termasuk sign, sebuah tanda yang menandakan objek tertentu dan diinterpretasikan sesuai dengan objek yang dituju. Selama ini tanda “Habib” memiliki Objek “Orang yang dicintai” sesuai dengan makna linguistiknya yang berasal dari bahasa Arab “hubbun/hub” (yang dicintai). Objek tersebut kemudian oleh masyarakat diinterpretasikan sebagai “keturunan Rasulullah S.A.W”.

Gelar “habib” yang awalnya bermakna “orang yang dicintai” lalu hanya diinterpretasikan “keturunan Rasulullah” memiliki beberapa konsekuensi linguistik. Pertama, Habib harus orang yang dicintai. Kedua, habib harus keturunan Rasulullah. Kedua konsekuensi linguistik tersebut harus berdampingan untuk menunjukkan makna gelar “Habib” yang sempurna.

Masyarakat kita selama ini menghilangkan makna “orang yang dicintai” dari gelar “Habib”. sehingga, Habib langsung diinterpretasikan “keturunan  Rasulullah” dan makna “orang yang dicintai” sudah seperti makna mitos. Masyarakat memberikan gelar “Habib” tidak mempertimbangkan orang tersebut dicintai atau tidak, tapi lebih karena ia keturunan nabi atau tidak.

Gelar “Habib” memiliki konsekuensi dan syarat yang jelas. Sosok atau orang yang disematkan gelar tersebut haruslah orang yang dicintai oleh masyarakat dan memiliki keilmuan dan keagungan Akhlak seperti Habib Umar Alattas. Sehingga “Habib” tidak lagi soal keturunan tapi tentang akhlak dan keilmuan. Konsep inilah yang harus dipahami oleh masyarakat yang selalu menyangkut pautkan habib dengan agama dan moralitas.

Konsekuensi Etik gelar “Habib”

Kata “Habib” telah berkembang dari asalnya yang bermakna “orang yang dicintai”, “kekasih” atau “sahabat”. Bagi masyarakat Indonesia, kata ini telah menjadi istilah yang merujuk pada tokoh agama Islam yang dihormati. Evolusi makna ini menciptakan kompleksitas, di mana penggunaan kata “Habib” kadang-kadang menjadi sumber kontroversi dan konflik.

Evolusi kata “Habib” menjadi gelar bagi tokoh agama Islam yang dihormati harus memiliki konsekuensi etik sesuai dengan gelar yang diembannya tersebut. Mengacu pada Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas (1572-1672 M) yang menerima gelar habib pertama, gelar habib berikutnya seharusnya mencontoh dan memiliki kesamaan akhlak, keilmuan dan dicintai masyarakat sebagaimana Habib Umar pada mulanya, sehingga gelar ini memiliki syarat bagi para penyematnya.

Konsekuensi etik yang harus dimiliki oleh para habib, sebagaimana gelar ini disematkan kepada pendahulunya, adalah selayaknya sebagai berikut: Pertama, keturunan Rasulullah; Kedua, memiliki keluasan ilmu; Ketiga, kepedulian kepada umat dan majelis ilmu; keempat memiliki kontribusi baik dalam kehidupan bermasyarakat sehingga banyak dicintai oleh lingkungannya.

Konsekuensi etik ini bisa menjadi parameter dan memfilter para pengguna gelar habib. Sehingga gelar ini tidak hanya sebatas nama dari keturunan darah, tapi juga harus memenuhi syarat dari segi akhlak dan keilmuan, makna inilah yang paling sesuai dengan ajaran Islam, bahwa akhlak dan ilmu pengetahuan yang menentukan kedudukan.

Memahami makna “Habib” secara linguistik mengantarkan masyarakat pada pemahaman “konsekuensi etik” dari gelar tersebut. Sehingga, masyarakat tidak lagi meragukan keturunan Rasulullah hanya karena ada oknum habib yang tidak memiliki “akhlak dan keluasan ilmu”.