Sosok ini oleh para ulama di Jawa, khususnya kiai-kiai Nadhlatul Ulama (NU), disebut Syaichona. Syaichona sendiri bermakna Mahaguru, orang yang dihormati sebagai gurunya para ulama. Panggilan ini tidak main-main lantaran sosok bernama lengkap Al-‘Aalim Al-‘Allaamah Asy-Syekh Al-Hajji Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalani al-Maduri al-Jawi asy-Syafi’I atau dengan nama kecil Muhammad Cholil, begitu dihormati. Namanya akrab dengan nama Syaichona Kholil Bangkalan.
Keluasan ilmu dan pengaruhnya tidak hanya dihormati oleh Nahdliyin, tapi juga oleh ulama-ulama di seantero Indonesia karena luasnya ilmu yang ia miliki.
Dikutip dari buku KH. M. Kholil Bangkalan Biografi Singkat 1835-1925 (Garasi, 2010) yang ditulis Muhammad Rifa’I dikisahkan, selain guru dari para Ulama Nusantara, ia juga dianggap guru dari Bung Karno.
Berdasarkan penuturan buku tersebut, Bung Karno meski tidak resmi sebagai murid Kiai Kholil, namun ketika sowan ke Bangkalan, Kiai Kholil memegang kepala Bung Karno dan meniup ubun-ubunnya.
Hal ini bisa bermakna, Bung Karno menganggapnya sebagai guru dan restu untuk menjadi pemimpin.
Baca juga: Mbah Cholil Baureno: Ulama Pejuang Kemerdekaan, Perobek Bendera Belanda
Masa Kecil, jejak Pesantren dan Murid-Muridnya
Syekh Kholil Bangkalan Lahir lahir Bangkalan, Madura, 7 Januari 1820 dari pasangan KH Abdul Latif dan Syarifah Khadijah.
Dari pasangan ulama itu pula, Cholil kecil mendapatkan ajaran agamanya. Ia punya silsilah dengan dengan ulama-ulama di tanah Jawa dan memiliki pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati.
Sedari kecil, ia belajar dari para kiai dan pesantren di Pula Jawa. Ia belajar dari Kiai Muhammad Nur, kiai kharimastik asal Pesantren Langitan, Tuban.
Lantas KH Kholil Bangkalan pindah ke beberapa pesantren hingga di usia 24 tahun, ia belajar ke Mekkah-Medinah ke beberapa ulama seperti Syekh Nawawi Al-bantani, Syaikh Mustafa bin Ahmad Al-Afifi Al-Makki di Mekkah dan sebagainya.
Dikutip dari buku Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara (Turots, 2021) dikisahkan, setelah pulang dari Makkah, ia tidak lantas mendirikan pesantren, tapi bekerja di kadipaten Bangkalan pada malam hari.
Ketika berjaga itu, waktunya dipakai untuk membaca hingga akhirnya terdengar oleh Adipati Bangkalan waktu itu, Ludra Putih, yang kemudian mengangkatnya sebagai menantu.
Syekh Kholil Bangkalan akhirnya mendirikan pesantren yang akhirnya memiliki banyak murid-murid yang juga menjadi ulama-ulama di tanah Jawa.
Beberapa di antaranya adalah, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Wasbullah, tokoh ulama yang mendirikan Nahdlatul Ulama tahun 1926.
“Ia dikenal sebagai seorang pakar fiqih, tata bahasa, arab nahwu, dan searang mursyid tarekat,” tulis buku tersebut.
Kisah Pendirian NU, Restu dari Syaichona KH Kholil Bangkalan
Ketika Syaichona Cholil menjadi ulama besar, karisma dan namanya sangat dihormati di seluruh kalangan masyarakat Islam, khususnya kaum pesantren.
Saat organisasi Nahdlatul Ulama (NU) akan didirikan sebelum tahun 1926, Hadratusyaikh KH Hasyim Asy’ari dilanda kebimbangan yang luar biasa. Apakah pendirian NU itu penting bagi umat dan bangsa?
Dikisahkan, Syaichona Cholil Bangkalan seperti mampu merasakan keresahan KH Hasyim Asy’ari lalu mengutus santrinya, Kiai As’ad Syamsul Arifin kepada KH Hasyim Asy’ari.
Bahkan, Kiai As’ad datang dua kali, pertama ia mengantarkan sebuah tongkat dan pesan satu ayat dari Al-Qur’an surah Thaha ayat 17-23, dan kedua ia mengantarkan sebuah tasbih dan amalan “Yâ Jabbâr Yâ Qahhâr”.
Dua hal in dianggap sebagai hal yang menguatkan hati dari Hadratusyaikh saat bimbang. Gurunya, KH Kholil Bangkalan, sudah merestui untuk merapatkan barisan para kiai.
Keresahan yang semula menghinggapi KH Hasyim Asy’ari reda berubah menjadi keyakinan untuk mendirikan organisasi dengan nama Nahdlatul Ulama yang bermakna kebangkitan ulama.
Organisasi yang dikenal sekarang menjadi organisasi para ulama terbesar di Indonesia.
Selain itu beliau dikenal sebagai seorang penulis kitab yang produktif sejak di Mekkah. Karyanya menjadi rujukan di pesantren-pesantren di Indonesia, antara lain: