Nahdlatul Ulama, Sembilan Bintang dalam Sembilan Dasawarsa

Nahdlatul Ulama, Sembilan Bintang dalam Sembilan Dasawarsa

Mereka meneruskan mata rantai tradisi yang sejak lama dipegang para ulama besar masa lampau seperti Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Abdurrrauf al-Sinkili dan lain-lain.

Nahdlatul Ulama, Sembilan Bintang dalam Sembilan Dasawarsa

Berapa dari kita, umat Islam, yang telah menyakiti hati para ulama yang baik? Jangan berpikir menyakiti itu mesti dengan caci maki. Ya, caci maki adalah buruk, buruk sekali, apalagi terhadap ulama; tetapi ada yang lebih buruk: FITNAH. Kita memfitnah sesama kita sendiri, bahkan kepada ulama yang masih hidup dan meninggal dunia, hanya karena tidak suka, hanya karena berbeda pendapat, hanya karena ingin berkuasa, hanya karena pesanan daripada pendengki. Fitnah sudah begitu buruk; lalu apa yang lebih buruk daripada fitnah? Menjual dusta dan fitnah melalui media agar mendapatkan uang.

Saat orang tidak suka dengan situasi, orang marah dan melampiaskannya dengan menulis apa saja yang isinya menghina, sinis, dan seolah-olah memberi saran atau motivasi namun dengan kata-kata ketus, kasar, sinis, menghina. Dan jika ada kepentingan pribadi, ditambahkanlah dusta, dan fitnah. Lalu kata-kata negatif dan caci-maki, sinisme, ejekan, merasa paling pintar, juga dusta dan fitnah, menjadi viral. Menyebar ke mana-mana. Internet melipatgandakan efek-efek buruk ini. Rasa sakit hatimu, yang engkau lampiaskan dengan cara-cara seperti itu, diam-diam menyakiti orang lain tanpa engkau sadari.

Ulama, dan orang-orang baik, menangis, bukan karena engkau caci-maki atau fitnah. Mereka menangis karena melihat orang-orang gembira dengan keburukan, menangis karena sedih melihat hilangnya kasih-sayang, keadilan dan penghormatan sesama manusia — jika tutur kata sudah begitu, bagaimana bisa berharap akan lahir perilaku yang baik dari kata-kata dan dusta dan fitnah keji yang dituangkan dari rasa sakit hati, dengki dan dendam yang tak berkesudahan?

Sembilan puluh tahun sudah para ulama teguh berjuang menjaga bukan hanya ajaran dan umat Islam tetapi juga menjaga nilai-nilai kemanusiaan universal. Itulah yang saya tangkap dari bacaan saya terhadap sejarah para ulama nusantara. Saya bukan ‘nahdhiyyin’ resmi, ndak pernah mondok resmi, tetapi saya mengikuti ajaran para kyai sepuh NU, dan itupun setelah perlahan-lahan membaca sejarah perjuangan wali songo hingga ke hadratus syaikh Hasyim Asy’ari dan para kyai penerusnya. 

Ada banyak yang saya kagumi dan saya ambil pelajaran, dan kadang-kadang saya tafsirkan sendiri sejarah ini, walau saya juga ga tahu pasti entah benar entah tidak tafsiran saya. Yang jelas, salah satu hal yang membuat saya kagum adalah kesabaran dan keikhlasan generasi awal juru dakwah. Saya kira mereka benar-benar mencontoh kanjeng Nabi dalam berdakwah.

Kanjeng Nabi sebelum menerima wahyu dan berdakwah, berpuluh tahun membuktikan diri sebagai al-amin, yang dapat dipercaya. Dapat dipercaya perkataannya, janjinya, kesopanannya, akhlaknya dan seterusnya, sehingga para ketua suku-suku mempercayainya — bahkan sayyidah Khadijah mempercayakan urusan bisnisnya kepada kanjeng Nabi Muhammad dan mau menjadi istrinya. Dan Nabi bahkan tak berdusta saat berdagang. Karena beliau sudah terbukti al-amin itulah maka layak mendapat risalah dan menyampaikannya. Setelah menerima wahyu, beliau pun masih berjuang dengan sabar lebih dari dua dekade. Ditawari harta dan perempuan paling cantik agar menghentikan dakwahnya beliau tak mau. Murni sepenuhnya bertindak atas dasar perintah Ilahi, demikian yang dipercayai kaum Muslimin pada umumnya.

Wali songo dan kyai-kyai NU dulu tak pernah buru-buru. Mereka berdakwah sebagai manusia yang memanusiakan manusia; tak pernah buru-buru menghakimi. Ada banyak kisah tauladan kesabaran mereka yang berdakwah demi kemaslahatan dan keselamatan dunia dan akhirat. Karenanya tanpa kenal lelah mengajak umat dengan prinsip akhlak karimah, sebab kanjeng nabi diutus “untuk menyempurnakan akhlak.”

Cerita-cerita kyai dahulu selalu menawan: ada kisah kisah Mbah Mutamakkin yang berdakwah secara kultural di tengah rakyat jelata, meski sebenarnya beliau adalah keturunan raja; tentang Kyai Saleh Darat yang berjiwa besar dengan menerjemahkan qur’an ke bahasa jawa agar bisa dipahami lebih luas;  Hadratus Syaikh Hasyim Asyari dengan kesabarannya berjuang di tempat yang awalnya dikenal banyak maksiat; tentang bagaimana Syaikhuna Kholil Bangkalan, gurunya Hadratus Syaikh, yang tak segan balik berguru hadis kepada muridnya itu dan berlomba-lomba saling menghormati; ada kisah mbah Hamid Pasuruan yang menyadarkan pencuri dengan cara begitu halus; tentang Mbah Dalhar watucongol yang berdakwah tanpa kenal letih di kawasan perbukitan yang sepi — ah, terlalu banyak kisah yang indah dari kalangan kyai nusantara ini. Kita  bisa menulis sejarah mereka dalam berjilid-jilid buku tebal.

Mengapa para kyai besar pendiri NU itu begitu dihormati; sebab, sebelum mengajak orang, mereka telah menempa diri menjadi pribadi yang bisa dipercaya; Sebab, mereka sadar, bagaimana bisa berdakwah dengan sukses jika pendakwahnya tidak bisa dipercaya perkataan dan perbuatannya?

Bertahun-tahun sebelum berdakwah para kyai itu menempa diri dalam ilmu agama dan keruhanian: dari ilmu kalam, fiqh, qur’an-hadis, tasawuf hingga ke ilmu-ilmu sosial.

Misalnya, ribuan hadis mereka pelajari dan kuasai, seperti Syaikh Mahfudz Termas, Syekh Hasyim Asy’ari dan Syekh Yasin Fadani. Atau Kyai Ihsan Jampes yang kitabnya mendunia. 
Mereka menjaga adab keruhanian dan tradisi sanad yang kuat agar tak mudah tergoda untuk memperjualbelikan agama demi politik dan kekuasaan semata; penghormatan pada guru-guru dalam mata rantai sanad, terutama dalam tradisi tasawuf yang dipraktikkan oleh para kyai itu, dalam satu pengertian adalah cara untuk menjaga agar berkah ilmu tak lepas; sanad menjadi penting, sebab ia menyambungkan hubungan keruhanian yang otentik dari kanjeng Nabi sampai ke pewarisnya di masa kini. Karena “sambungan ruhani” itulah maka mereka berusaha keras menjaga keikhlasan dalam berdakwah.

Mereka meneruskan mata rantai tradisi yang sejak lama dipegang para ulama besar masa lampau seperti Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Abdurrrauf al-Sinkili, Abdusshamad Palimbani, Tuan Guru Babussalam, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Arsyad al-Banjari, Datu Nafis, para Habaib yang mulia yang terlalu banyak untuk disebutkan, juga kyai-kyai zaman pra-kemerdekaan di seluruh nusantara. 

Sedangkan guru-guru pendahulu itu juga berguru ke ulama-ulama sebelumnya yang mata rantainya sambung menyambung ke tingkat internasional — sekadar menyebut contoh ternama jaringan itu: Sulthan al-Awliya al-Ghauts Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Qutb Rabbani Imam al-Rifa’i, Imam al-Ghazali, Syaikh al-Masyayikh ABu Madyan, Syekh Sulthan al Awliya Abu Hasan Syadzili, Bahauddin Naqsyabandi, Abdullah Sattar, Syekh al-Kuranyi, Sayyid Zaini Dahlan, termasuk juga para leluhur kaum Alawiyyin, leluhur para habaib sejak dari era Imam Besar Syekh Isa al-Muhajir dan Sayyid Faqih Muqaddam hingga ke generasi tabi’in, sahabat dan akhirnya sambung ke Kanjeng Nabi sendiri. 

Jaringan keulamaan berbasis sanad ini seperti rangkaian pohon, tumbuh dan berkembang bercabang-cabang saling berdampingan; “Pohon-pohon besar ruhani” ini daun-daunnya meneduhkan jiwa, juga memberi oksigen ruhani bagi kelangsungan kehidupan hati dan sirr, buahnya amalnya sehat bagi kehidupan dunia dan akhirat. Para pendiri NU sadar betul pentingnya menjaga kelestarian jejaring keilmuan dan keruhanian ini.

Tetapi tentu saja yang namanya dunia selalu ada godaan. Dari waktu ke waktu selalu ada yang mencoba memanfaatkan jaringan NU yang sudah sedemikian besar ini untuk kepentingan tertentu, entah ekonomi, politik atau kekuasaan — seperti pernah terjadi ketika muktamar yang begitu ramai dan agak menegangkan sebelum Kyai Ilyas Ruchyat terpilih, atau sebelum Gus Dur terpilih di zaman Orde Baru . Tetapi NU bisa melewati itu, hingga ke muktamar Makasar yang lalu, karena masih ada kyai-kyai yang ikhlas dan tawadhu’ yang berpegang teguh pada tradisi keruhanian — syariat, tarekat, hakikat — yang ditanamkan oleh para pendiri NU.

Saya memang bukan siapa-siapa di NU, tetapi saya merasa mendapat banyak pelajaran hidup dan keberkahan setelah mempelajari sejarah para kyai, membaca manaqib, ataus ekadar sketsa ringkas, dan mengikuti ajaran dan tradisinya meski saya harus dengan susah payah dan jauh dari sempurna. Kyai-kyai yang saya temui juga tidak menyalah-nyalahkan saya ketika saya datang dengan begitu banyak kesalahan — termasuk kebodohan saya dalam beragama, sebab baca kitab arab pegon/gundhul ndak bisa, bahasa arab apalagi, ngaji juga entah bener apa enggak. Namun guru-guru menerima dengan ramah, tak menyalah-nyalahkan, mengajak dengan sabar, bahkan saat marahpun dengan kemarahan yang sabar, hingga pelan-pelan tumbuh kesadaran dalam diri ini tanpa paksaan untuk mengamalkan ajaran Islam. 

Sebagai orang yang begitu membutuhkan ulama yang ikhlas, saya selalu berharap organisasi ini akan terus ada, terus dipimpin oleh ulama yang telah mampu menjaga dan membuktikan dirinya amanah, ikhlas dan tak goyah oleh badai keduniawian. 

Saya, dan mungkin banyak orang awam lainnya, merasa masih sangat butuh ulama yang benar-benar paham ilmu agama, memahami ilmu-ilmu kalam, fiqh, qur’an, hadis, tasawuf, dan semua ilmu alat agama lainnya secara mendalam, dan, tentu saja, berakhlak luhur; saya sebagai orang biasa butuh dan rindu pada ulama-ulama semacam itu,  bukan petualang politik yang ingin memanfaatkan jamiyyah demi tujuan kekuasaan dunia.[]

Tri S. Wibowo adalah penulis dan penerjemah. Akun twitter: @embahnyut