Masih seputar masalah penyakit pandangan mata, atau yang biasa disebut dengan al-‘ain. Penyakit tersebut secara jelas disebutkan dalam hadis sahih tentang kebenaran adanya. Ia juga disebut-sebut bekerja dengan sangat cepat. Bahkan dalam hadis tersebut juga disertakan pula cara pengobatannya, yaitu dengan cara mandi. Lalu, seperti apakah sebenarnya? Apa korelasi antara mandi dengan penyakit [pandangan] mata? Lalu, benarkah yang dimaksud dengn penyakit ‘ain tersebut adalah penyakit yang dimaksud dalam ilmu kedokteran, atau hanya tamsil belaka?
Untuk lebih jelasnya, kita simak kembali hadisnya,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الْعَيْنُ حَقٌّ وَلَوْ كَانَ شَيْءٌ سَابَقَ الْقَدَرَ لَسَبَقَتْهُ، فَإِذَا اسْتُغْسِلْتُمْ فَاغْسِلُوْا (رواه الجماعة إلا النسائي، عن ابن عباس وأبي هريرة)
“[Penyakit Pandangan] Mata itu benar adanya. Seandainya ada sesuatu yang [dapat] mendahului ketetapan Allah (takdir), maka pastilah [pandangan] mata itu yang mendahuluinya. Karena itu, jika kalian diperintahkan untuk mandi [untuk pengobatan penyakit al-’ain), mandilah!” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah).
Agar dapat mengetahui pemahaman utuhnya, berikut adalah sebab kemunculan hadis tersebut,
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَاهُ ، يَقُولُ : اغْتَسَلَ أَبِي سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ بِالْخَرَّارِ فَنَزَعَ جُبَّةً كَانَتْ عَلَيْهِ وَعَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ يَنْظُرُ ، قَالَ : وَكَانَ سَهْلٌ رَجُلًا أَبْيَضَ حَسَنَ الْجِلْدِ ، قَالَ : فَقَالَ لَهُ عَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ : مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ وَلَا جِلْدَ عَذْرَاءَ ، قَالَ : فَوُعِكَ سَهْلٌ مَكَانَهُ وَاشْتَدَّ وَعْكُهُ ، فَأُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأُخْبِرَ أَنَّ سَهْلًا وُعِكَ ، وَأَنَّهُ غَيْرُ رَائِحٍ مَعَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَأَتَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَخْبَرَهُ سَهْلٌ بِالَّذِي كَانَ مِنْ أَمْرِ عَامِرٍ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” عَلَامَ يَقْتُلُ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ ؟ أَلَّا بَرَّكْتَ إِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ تَوَضَّأْ لَهُ ” ، فَتَوَضَّأَ لَهُ عَامِرٌ ، فَرَاحَ سَهْلٌ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ . (رواه مالك)
Muhammad bin Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif mendengar ayahnya bertutur tentang peristiwa yang menimpa kakeknya. Pada saat Sahl (kakek Muhammad) sedang mandi dan melepas pakaiannya, tiba-tiba ada Amir bin Rabi’ah yang melihatnya. Sahl adalah laki-laki yang berkulit putih mulus. Melihat pemandangan itu, Amir pun berseloroh, ‘Aku belum pernah melihat kulit semulus yang aku lihat hari ini.’
Atas kejadian itu, Sahl pun betul-betul malu, shock dan trauma berat hingga sakit parah. Sebagian riwayat menyebutkan, bahwa kejadian itu mengantarkan Amir melakukan hal yang terlarang.
Melihat kondisi Sahl yang seperti itu, Nabi pun diundang untuk membesuknya. Awalnya Sahl sagat malu terhadap Nabi, sehingga ia tidak berani menemuinya. Ia mengutus seseorang untuk menceritakan masalahnya kepada Nabi. Nabi pun memahaminya.
Saat membesuk dan mendengar cerita dari Sahl secara langsung tentang apa yang telah diperbuat oleh Amir terhadap dirinya, Nabi pun menegur Amir bahwa apa yang dia lakukan itu telah “membunuh” saudaranya sendiri. Gara-gara perbuatannya, Sahl menjadi shock berat.
“Kenapa kamu tidak mendoakan keberkahan untuk Sahl [atas kulit yang kau kagumi itu, yaitu dengan berdoa, Baarakallahu fiik]?” Tegur Nabi menyesalkan sikap Amir.
“ Ketahuilah, penyakit pandangan mata itu telah benar-benar terjadi. Sekarang, berwudulah untuk Sahl!” Pinta Nabi kepada Amir.
Maksud berwudu untuk Sahl ternyata dijelaskan oleh hadis yang pertama, yaitu air bekas wudunya Amir agar digunakan Sahl untuk mandi. Benar, setelah Amir menyelesaikan wudunya, Sahl diminta oleh Nabi agar mandi (fa idza ustughsiltum faghsilu). Hal ini ditegaskan oleh Nabi karena cara mandi kali ini berbeda dari lazimnya. Yaitu, mandi dengan air bekas wudu.
Dalam riwayat Ibnu Majah juga disebutkan,
عنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ ، قَالَ : مَرَّ عَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ بِسَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ ، وَهُوَ يَغْتَسِلُ فَقَالَ : لَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ ، وَلاَ جِلْدَ مُخَبَّأَةٍ فَمَا لَبِثَ أَنْ لُبِطَ بِهِ ، فَأُتِيَ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ فَقِيلَ لَهُ : أَدْرِكْ سَهْلاً صَرِيعًا ، قَالَ مَنْ تَتَّهِمُونَ بِهِ قَالُوا عَامِرَ بْنَ رَبِيعَةَ ، قَالَ : عَلاَمَ يَقْتُلُ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ ، إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ أَخِيهِ مَا يُعْجِبُهُ ، فَلْيَدْعُ لَهُ بِالْبَرَكَةِ ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ ، فَأَمَرَ عَامِرًا أَنْ يَتَوَضَّأَ ، فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ، وَرُكْبَتَيْهِ وَدَاخِلَةَ إِزَارِهِ ، وَأَمَرَهُ أَنْ يَصُبَّ عَلَيْهِ
قَالَ سُفْيَانُ : قَالَ مَعْمَرٌ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ : وَأَمَرَهُ أَنْ يَكْفَأَ الإِنَاءَ مِنْ خَلْفِهِ
“Dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif, ia berkata: Amir bin Rabi’ah melewati Sahl bin Hunaif ketika ia sedang mandi, lalu Amir berkata: Aku tidak melihat seperti hari ini; kulit yang lebih mirip (keindahannya) dengan kulit wanita yang dipingit. Mngetahui hal itu, Sahl langsung terjatuh, lalu dibawa kepada Nabi saw, seraya dikatakan: “Selamatkanlah Sahl yang sedang terbaring sakit.” Beliau bersabda: “Siapa yang kalian curigai telah menyebabkan ini?” Mereka berkata: “Amir bin Rabi’ah.” Beliau bersabda: “Kenapakah seorang dari kalian membunuh saudaranya? Seharusnya apabila seorang dari kalian melihat sesuatu pada diri saudaranya yang menakjubkan, hendaklah ia mendoakan keberkahan untuknya.” Kemudian beliau meminta air, lalu menyuruh Amir untuk berwudhu, Amir mencuci wajahnya, kedua tangannya sampai ke siku, dua lututnya dan bagian dalam sarungnya. Dan Nabi saw memerintahkannya untuk menyiramkan (bekas airnya) kepada Sahl.”
Sufyan mengutip Ma’mar dari Az-Zuhri: Beliau memerintahkannya untuk menyiramkan air dari arah belakangnya.” [HR. Ibnu Majah)
Cara wudu yang diperintahkan oleh Nabi kepada Amir dalam hal ini menurut al-Nawawi (631-676 H), juga berbeda dari wudu yang biasanya dilakukan sebelum shalat. Beliau menjelaskan bahwa wudu yang dipraktikkan oleh para tabib muslim itu tidak bertetangan dengan syariat Islam, karena didasarkan kepada hadis Nabi tersebut.
Dalam Syarah Muslim, al-Nawawi juga menyebutkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama terkait karakter penyakit ‘ain dan cara penanganannya. Berbagai argumen pro dan kontra terhadap wujud penyakit tersebut telah diuraikan secara panjang lebar olehnya. Namun, setelah melihat hadis sahih ini, al-Nawawi secara lugas menyatakan bahwa penyakit itu benar adanya dan cara penanganannya adalah ruqyah. Adapun ruqyah yang dimaksud adalah dengan doa keberkahan, dan wudu serta mandi khusus.
وصفة وضوء العائن عند العلماء أن يؤتى بقدح ماء ولايوضع القدح فى الأرض فيأخذ منه غرفة فيتمضمض بها ثم يمجها فى القدح ثم يأخذ منه ماء يغسل وجهه ثم يأخذ بشماله ماء يغسل به كفه اليمنى ثم بيمينه ماء يغسل به مرفقه الأيسر ولايغسل ما بين المرفقين والكعبين ثم يغسل قدمه اليمنى ثم اليسرى على الصفة المتقدمة وكل ذلك فى القدح ثم داخلة ازاره وهو الطرف المتدلى الذى يلى حقوه الأيمن
Cara wudu yang dipakai untuk menyembuhkan penyakit ‘ain, menurut para ulama adalah pertama-tama sang pelaku diberikan air dalam wadah yang tidak diletakkan di atas tanah. Lalu ia menciduk air untuk berkumur-kumur dan dibuang lagi ke wadah tersebut. Lalu mengambil air lagi dari wadah tersebut untuk membasuk muka. Dilanjutkan dengan mengambil air menggunakan tangan kiri untuk membasuh telapak tangan kanan.
Setelah itu, ia mengambil air lagi dengan tangan kanannya untuk membasuk siku tangan kiri. Ia tidak perlu membasuh bagian hasta. Dengan cara yang sama, ia bertahap membasuh telapak kaki kanan dengan tangan kirinya, dan membasuh telapak kaki kiri dengan tangan kanannya. Semua itu dilakukan di dalam wadah tersebut. Setelah itu barulah membasuh bagian dalam sarung yang ia pakai, tepatnya bagian kanan paling atasnya.
Hadis di atas juga menjadi dasar bahwa untuk menangkal terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan akibat penyakit pandangan mata, Nabi memberikan trik, yaitu mendoakan keberkahan untuk orang yang dipandangnya. Hadis tersebut juga menunjukkan pengobatan penyakit ‘ain jika telah terlanjur terjadi, yaitu dengan cara berwudu bagi pelaku dan mandi bagi korban pandangan.
Setelah ritual itu, Suhail pun sembuh dari sakit traumatiknya. Terakhir, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari juga menegaskan bahwa hal itu hanya akan mujarab jika dilakukan dengan penuh keyakinan dan tidak sekedar coba-coba. Atas kehendak Allah, penyakit itu pun akan hilang.
Wallahu a’lam.