Pengobatan Ruqyah di Masa Sahabat: Telaah Hadis Ruqyah

Pengobatan Ruqyah di Masa Sahabat: Telaah Hadis Ruqyah

Pengobatan Ruqyah di Masa Sahabat: Telaah Hadis Ruqyah

Pengobatan Ruqyah adalah salah satu jenis pengobatan yang kerap dipromosikan oleh para praktisi terapi islami. Para pelaku ruqyah ini mendaku bahwa ruqyah adalah ajaran Islam, dianjurkan oleh Rasul, dan juga diamalkan oleh para ulama dari masa ke masa.

Salah satu cara terbaik memastikan klaim tersebut apakah benar ruqyah ini dipakai di masa Rasul atau tidak adalah lewat telaah hadis-hadis Nabi. Sebelum lebih jauh, mayoritas ulama menilai hadis-hadis seputar ruqyah ini kualitasnya shahih, sehingga prakteknya mendapat legitimasi syariat.

Untuk menyibak diskusi ruqyah ini lebih jauh, penulis menggunakan telaah hadis/ takhrij terkait hadis ruqyah ini. Pembaca sekalian bisa tambahkan masukan atau kritik seputar hasil takhrij berikut. Takhrij hadits adalah identifikasi hadis dari sumber kitab aslinya, dengan melakukan cek juga terhadap sanadnya. Biasanya takhrij ini diikuti penilaian hadis berdasarkan kritik sanad dan matan. Mashadir ashliyah (kitab sumber asli) yang dirujuk adalah kitab kanon atau referensi hadis.

Salah satu metode takhrij hadis adalah melakukannya secara tematik. Peranti yang dapat digunakan untuk metode ini adalah buku indeks. Indeks hadis tematik yang cukup kesohor adalah Miftah Kunuzis Sunnah karya Arberry J. Wensinck, pengkaji studi Islam asal Belanda.

Hadis-hadis tentang ruqyah ada dalam berbagai kitab. Dengan merujuk kutubus sittah saja, selalu ada bab khusus tentang ruqyah. Seperti dijelaskan di artikel sebelumnya, ruqyah adalah bagian tradisi mantra era pra-Islam. Nabi mulanya menentang praktek ini karena dikhawatirkan mengandung kesyirikan. Namun di hadis lain rupanya Nabi memperkenankan pengobatan ruqyah karena para sahabat telah biasa melakukannya. Berikut petikan sabda Nabi,

مَا أَرَى بِهَا بَأْسًا مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ

“…Aku tidak melihat ada masalah dengan melakukan ruqyah. barangsiapa yang yang dapat memberi manfaat kepada saudaranya, hendaknya dia melakukannya.”

Kita kembali ke persoalan telaah hadis dahulu. Metode penelusuran hadis atau takhrij, sebagaimana disinggung sebelumnya, dapat menggunakan buku indeks atau metode digital dengan aplikasi. Menggunakan kitab indeks maupun aplikasi semacam Maktabah Syamilah atau Jawamiul Kalim, akan banyak sekali ditemui hadis ruqyah berikut hadis yang mengandung turunan katanya “raqaa – yarquu” atau “istarqaa – yastarqii” serta lain sebagainya.

Penulis membatasi telaah mendalam pada hadis-hadis yang menyebutkan bahwa Nabi memperkenankan pelaksanaan ruqyah. Tentang pelaksanaan ruqyah, diketahui ada ikhtilaf antara hadis yang melarang dan ada yang membolehkan. Kiranya relevan dicek dahulu tema hadis yang membolehkan atau memperkenankan ruqyah tersebut, mengingat tercatat ada larangan sebelumnya. Dari penelusuran Miftah Kunuzis Sunnah, ada beberapa indeks hadis yang disertakan Wensinck dalam bab rukhshah fi ruqyah: dua riwayat dalam Al Muwaththa’, serta empat riwayat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal. Redaksi yang dicantumkan Wensinck ini cukup terbatas, dan rupanya masih lebih banyak lagi hadis seputar ruqyah.

Dalam telaah sanad singkat berikut, penulis membatasi telaah mendalam hadis ruqyah dari sanad sahabat Anas bin Malik. Alasannya, kebanyakan hadis-hadis seputar rukhsah untuk melakukan ruqyah yang ada dalam kitab-kitab hadis berasal dari beliau. Asumsinya, rukhsah ini adalah keringanan untuk ‘boleh melakukan ruqyah dengan catatan’ – yang sebelumnya dilarang. Hadis seputar kebolehan ruqyah ini penting menjadi basis sebelum bicara bagaimana praksis ruqyah dilakukan secara luas, yang bahkan dilakukan juga oleh Nabi.

Kita fokus ke sanad dari sahabat Anas bin Malik tentang rukhsah pelaksanaan ruqyah berikut. Setidaknya dari beliau ini ada tiga sosok yang meriwayatkan tema ini dari beliau: Yusuf bin Abdullah al Harits, ‘Amr bin Syurahbil, serta Abu Qilabah Abdullah bin Zaid. Hadis seputar rukhsah melakukan ruqyah dari sahabat Anas bin Malik paling banyak tercatat dalam kitab hadis lewat jalur: Anas bin Malik – Yusuf bin Abdillah al Harits – ‘Ashim Al Ahwal – Sufyan ats-Tsauri. Nantinya sanad-sanad dari jalur ini adalah yang paling sering dikutip dalam banyak kitab hadis kanonik. Sedangkan sanad dari dua tokoh lainnya di atas, tidak dikutip sebanyak sanad ini.

Dalam studi hadis, sistem sanad dari sahabat yang sama dalam satu tema atau redaksi biasa saling menguatkan kualitasnya, atau disebut dengan mutabi’. Dari berbagai macam riwayat tersebut banyak sekali pengubahan redaksi. Ada yang menyebut, “Nabi memberi keringanan untuk melakukan ruqyah pada penyakit dzi humatin (penyakit akibat racun).” Redaksi ini merangkum riwayat lain yang menyebutkan bahwa Nabi memberi keringanan pada penyakit akibat sengatan kalajengking, ular, sakit demam, serta apa yang kala itu disebut penyakit ‘ain.

Khusus untuk riwayat dari Anas bin Malik, kebanyakan menggunakan redaksi:

رخّص رسول الله في الرقية…

rakhkhasha Rasulullah fir ruqyah…”

أَن رسول الله  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ فِي الرُّقْيَةِ…

atau “anna rasulallah rakhkhasha ar-ruqyata…”.

Konsekuensi dari penggunaan redaksi ini adalah bilamana Rasulullah memberikan keringanan ruqyah dalam penyakit tertentu, maka akibat keringanan itu dimungkinkan ruqyah juga boleh digunakan dalam penyakit-penyakit lain yang tidak disebutkan dalam hadis.

Ada juga sebagian kecil riwayat Anas bin Malik yang menggunakan redaksi “Laa ruqyata illa fi..”. Konsekuensi penggunaan redaksi ini yang berarti “tidak boleh menggunakan pengobatan ruqyah kecuali dalam…” adalah dasarnya ruqyah itu tidak boleh dilakukan, kecuali dalam beberapa permasalahan penyakit saja. Jika redaksi sebelumnya memungkinkan memberi ruang praksis ruqyah yang lebih luas, sedangkan yang ini membatasi dengan peranti laa nafiyah.

Dalam tradisi kodifikasi hadis, Anda perlu tahu bahwa periwayatan hadis pra-kanonisasi memungkinkan untuk parafrase dari riwayat, atau apa yang disebut dengan riwayat bil ma’na. Kebanyakan para muhadditsin klasik tidak memandang parafrase itu bermasalah selama tidak berpengaruh signifikan pada makna.

‘Ala kulli hal, banyaknya perawi hadis setema dari Anas bin Malik menunjukkan bahwa rukhsah untuk melakukan ruqyah mungkin saja sudah dipahami bahkan dipraktekkan di masyarakat kala itu. Hadis seputar kebolehan pelaksanaan ruqyah rupanya tidak diriwayatkan dari Anas bin Malik saja. Imam al Tirmidzi mencatat bahwa selain diriwayatkan oleh Anas bin Malik, hadis-hadis seputar kebolehan ruqyah ini ada dari riwayat sahabat Buraydah, ‘Imran bin Hushain, Jabir bin Abdillah, Aisyah binti Abu Bakar, Thalaq bin ‘Ali, ‘Amr bin Hazm serta Abu Khizamah dan ayahnya. Banyaknya perawi dari kalangan sahabat menunjukkan ruqyah ini populer dan cukup dikenal luas di masa tersebut. Demikian penelusuran penulis melalui identifikasi hadis menggunakan Nuzhatul Albab fi Qauli Tirmidzi wa fil Bab.

Selain yang telah ditelaah secara singkat tersebut, hadis-hadis Nabi seputar ajaran ruqyah masih cukup banyak. Para ulama menyebutkan bahwa Nabi juga melakukan praktek ruqyah dengan mengajarkan doa-doa dari beliau sendiri.

Telaah hadis-hadis seputar keringanan melakukan pengobatan ruqyah di atas menunjukkan bahwa kalangan sahabat tahu bahwa ruqyah pernah dilarang, lantas dibolehkan oleh Nabi dalam beberapa jenis kasus, serta Nabi pun mengajarkan sendiri doa-doa sebagai pengganti ruqyah pra-Islam. Riwayat ini populer hingga ke generasi perawi setelahnya yang tersebar di berbagai daerah, dan bisa jadi menjadi bagian dari jejaring “sosialisasi” hadis ruqyah tersebut sehingga para praktisinya memiliki legitimasi untuk tetap mengamalkannya.

Namun unik jika berkaca pada ruqyah syar’iyyah era kiwari. Pada prakteknya di masa kini, ia banyak digunakan “orang pintar” untuk urusan macam-macam, khususnya terkait masalah kejiwaan, gagal nyaleg atau karir tertentu, bahkan usaha “meluruskan” kembali orientasi dan kepribadian kelompok LGBT. Mengingat mulanya dalam kebolehan hadis ruqyah ia lebih populer terbatas untuk sakit sengatan hewan atau ‘ain, tentu menelusuri spektrum prakteknya yang luas hari ini pada usaha masyarakat menangani urusan-urusan kejiwaan, penyimpangan, bahkan sakit fisik yang nyata, cukup menarik didiskusikan lebih lanjut.

 

Tulisan ini adalah bagian dari seri kajian sejarah dan hadis Ruqyah. Artikel sebelumnya baca di sini.