Asbabul Wurud: Mengapa Nabi Memberi Amalan Berbeda pada Sahabat yang Berbeda?

Asbabul Wurud: Mengapa Nabi Memberi Amalan Berbeda pada Sahabat yang Berbeda?

Asbabul wurud merupakan bagian penting yang tak boleh ditinggalkan dalam memahami hadis.

Asbabul Wurud: Mengapa Nabi Memberi Amalan Berbeda pada Sahabat yang Berbeda?

Dengan mengetahui asbabul wurud, kita bisa mengamalkan sebuah hadis secara kontekstual.

Suatu hari, seorang sahabat menghadap kepada Nabi Muhammad Saw. Ia ingin meminta pendapat dan pengajaran nabi terkait amalan yang paling utama. Rasulullah SAW menjawab dan memberikan saran bahwa hal yang paling utama adalah jangan marah. Di lain hari, ketika ada seorang sahabat lain bertanya kepada nabi terkait hal yang paling utama, nabi bukan lagi menjawabnya dengan “jangan marah.” Tetapi dengan hal lain yang berbeda. Lantas, apakah jawaban nabi yang berbeda ini secara otomatis bertentangan?

Jawabannya adalah tidak, karena nabi memberikan amalan sesuai kemampuan sahabat tersebut. Oleh karena itu, amalan utama bagi sahabat A bisa jadi berbeda dengan sahabat B, karena tergantung pada kemampuan masing-masing sahabat. Perbedaan ini tidak lantas membuat sabda nabi bertentangan satu dengan yang lain. Kita sebagai umatnya hanya perlu mengamalkan yang mudah bagi kita tanpa membentur-benturkannya.

Oleh karena itu, penting sekali mengetahui asbabul wurud sebuah hadis. Tanpa asbabul wurud, bisa jadi pemahaman kita terhadap hadis tersebut out of context, tidak sesuai dengan situasi pada masa itu.

Al-Suyuthi dalam al-Lumaʽ menjelaskan beberapa contoh asbabul wurud sekaligus dengan hadisnya. Penulis akan mengelompokkan sebagian asbāb al-wurūd yang telah disebutkan al-Suyūṭī tersebut dalam beberapa bagian. Nah, berikut beberapa cara untuk mengetahui asbabul wurud hadis.

  1. Dari Hadis yang Sama.

Rasulullah Saw pernah bersabda bahwa sebuah air tidak akan najis karena kejatuhan apapun.

الماء لا ينجسه شيء

Artinya, “Sebuah air tida bisa menjadi najis karena suatu hal (yang najis).”

Hadis di atas, seolah-olah menunjukkan bahwa setiap air tidak bisa menjadi najis karena suatu hal yang najis. Namun dalam redaksi lengkap hadis yang diriwayatkan oleh Aḥmad ibn ḥanbal disebutkan bahwa pada saat itu Rasul akan berwudhu dari sebuah sumur Buḍāʽah yang tercampur najis. Rasul kemudian bersabda sebagaimana hadis di atas.

عَنْ ابْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ انْتَهَيْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَوَضَّأُ مِنْهَا وَهِيَ يُلْقَى فِيهَا مَا يُلْقَى مِنْ النَّتْنِ فَقَالَ إِنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

Artinya, “dari Ibn Abū Saʽīd al-Khudzrī dari ayahnya berkata: Aku sampai di depan Rasul Saw dan beliau sedang berwudu dari sumur Buḍāʽah. Aku berkata kepada Rasul Saw. Wahai Rasul Saw. di dalam sumur itu tercampur suatu yang busuk. Rasul Saw kemudian bersabda, “Sesungguhnya air (sumur) tidak bisa menjadi najis karena sesuatu (yang najis).” (HR. Ahmad).

Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud air yang tak bisa menjadi najis karena terkena naji adalah air sumur, tepatnya pada saat itu adalah air sumur Buḍāʽah yang digunakan Rasul Saw untuk mengambil wudu. (Lihat: Al-Suyūṭī, al-Lummāʽ, h. 76.)

  1. Dari Hadis yang Berbeda tapi Masih Satu Tema.

Asbāb al-Wurūd bisa dilihat dari hadis lain yang masih satu tema atau satu pembahasan karena dalam redaksi hadisnya sendiri tidak ditemukan asbāb al-wurūdnya. Contohnya, Rasulullah Saw pernah melarang untuk tidak duduk di atas kuburan. Hadis ini diriwayatkan oleh Aḥmad ibn Ḥanbal.

لا تقعدوا على القبور

Artinya, “Janganlah kalian duduk di atas kuburan.” (HR. Ahmad).

Namun, asbāb al-wurūd dari hadis ini bisa kita temukan dalam hadis yang lain, bukan dalam riwayat tersebut. Tepatnya pada riwayat Aḥmad yang lain, yang menjelaskan bahwa saat itu Umar ibn Ḥāzim duduk di atas kuburan, Rasul kemudian memerintahkan agar tidak menyakiti mayit yang ada di kuburan.

رآني رسول الله ﷺ وأنا متكئ على القبر. فقال لا تؤذ صاحب القبر

Artinya, “Rasulullah Saw melihatku sedang bersandar pada kuburan. Rasul kemudian bersabda, “Janganlah kamu sakiti mayit yang ada di kuburan tersebut.” (HR. Ahmad dan al-Hakim).

Hadis tersebut, riwayat Ahmad dan al-Hakim dijadikan sebagai asbāb al-wurūd oleh al-Suyūṭī, yang fungsinya sebagai menjelaskan illat dari sebuah hukum.

  1. Dari Kaul atau Informasi Sahabat.

Hal ini jika tidak ditemukan asbāb al-wurūd dalam hadis itu sendiri atau dari hadis lain. Contohnya hadis yang menjelaskan bahwa seorang mayit akan diazab karena tangisan keluarganya.

الميت سيعذب ببكاء أهله

Artinya, “Seorang mayit akan diazab karena tangisan keluarganya.”

Awalnya hadis ini digunakan oleh Umar untuk memarahi keluarga sahabat yang menangis karena suaminya meninggal. Namun hal ini dikritik oleh Aisyah yang menjelaskan bahwa hadis tersebut diucapkan Nabi ketika ada rombongan jenazah Yahudi yang lewat di depan Nabi dan keluarganya menangis merintih-rintih. Oleh Al-Dāminī, Aisyah pada saat itu membandingkan matan hadis tersebut dengan ayat Alquran yang menyebutkan bahwa seorang tidak akan dihukum karena kesalahan orang lain. (Lihat: Musfir Azmullah al-Dāminī, Maqāyīs Naqd Mutūn al-Sunnah, (Riyadh: Jāmiah Muḥammad Ibn Saud, 1984), h. 61.)

  1. Dari Ijtihad.

Contohnya adalah hadis yang menjelaskan bahwa sebuah kaum akan hancur jika menjadikan pemimpin dari perempuan.

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

Artinya, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita.”

Hadis ini digunakan oleh para sahabat saat itu untuk melawan Aisyah pada saat perang Jamal. Tapi sebenarnya hadis tersebut untuk pengganti raja kisra yang merupakan seorang perempuan. Tepatnya, adalah putrinya sendiri. Para ulama berijtihad bahwa yang menjadi ilat dari hadis tersebut bukanlah perempuannya, melainkan pada saat itu perempuan tidak memiliki kemampuan untuk memimpin.

Itulah beberapa cara untuk mengetahui asbabul wurud sebuah hadis. Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam.