Mengapa Terjadi Kerusuhan di UK?

Mengapa Terjadi Kerusuhan di UK?

Wisnu Prasetya, pelajar dan akademisi di UK mengisahkan apa dan bagaimana kerusuhan terjadi di sana, termasuk menyasar kelompok muslim dan minoritas

Mengapa Terjadi Kerusuhan di UK?
Kerusuhan di UK Hollie Adams/Reuters

Awal Agustus 2024 adalah salah satu momen menegangkan bagi minoritas, imigran, dan khususnya muslim di UK. Selama beberapa hari, terjadi kerusuhan di berbagai kota dan menyasar masjid, tempat-tempat para pencari suaka, juga toko dan kafe yang dimiliki keluarga imigran. Salah satu kerusuhan terburuk di Inggris sejak 2011.

Kedutaan Besar Republik Indonesia di London mengeluarkan imbauan agar WNI di Inggris berhati-hati. Di Sheffield, tempat saya sekolah, pemerintah daerah, kampus, juga mengeluarkan imbauan serupa. Toko-toko bahkan mengumumkan tutup lebih cepat pada 7 Agustus karena ada ancaman aksi protes susulan. Sementara pelajar internasional saling bertukar pesan, stay safe.

Sampai artikel ini ditulis, kerusuhan sudah mereda. Para perusuh banyak yang sudah ditangkap polisi dan divonis penjara. Di berbagai kota, demo-demo tandingan dan solidaritas kepada imigran jauh lebih banyak. Meski sudah mereda, misinformasi di media sosial masih masif yang menandakan ada problem lebih mendasar di balik berbagai kerusuhan yang terjadi.

Apa sebenarnya yang menyebabkan kerusuhan terjadi?

Misinformasi dan Imigrasi

Pada mulanya adalah kasus penusukan dan pembunuhan tiga anak perempuan di Southport, kota di sebelah utara Liverpool. Pelakunya, remaja berusia 17 tahun. Karena sistem hukum di Inggris, media tidak bisa memberitakan nama pelaku yang sudah ditangkap polisi. Hal ini membuat ruang vakum yang segera diisi oleh teori konspirasi misinformasi di media sosial. Akun-akun berpengikut besar kelompok-kelompok ekstrem kanan segera menyambar dengan menyebut pelaku adalah imigran ilegal yang baru datang di Inggris dan muslim.

Belakangan, pengadilan memberikan diskresi dan namanya dirilis. Bukan muslim dan bukan imigran ilegal sebagaimana yang beredar. Terlambat, misinformasi yang ada sudah lebih dari cukup menjadi amunisi bagi kelompok-kelompok ekstrem kanan untuk datang dan menyerang masjid di Southport. Setelah itu, kerusuhan menjalar di berbagai kota di UK seperti di Liverpool, Rotherham, Hull, Sunderland, Belfast, Middlesbrough, dan lainnya.

Untuk memahami rentetan peristiwa tersebut, misinformasi pada dasarnya hanya menjadi bahan bakar. Misinformasi memang menjadi salah satu faktor penting yang mengagitasi kelompok-kelompok ekstrem kanan. Apalagi, setelah Elon Musk membeli Twitter, platform ini mengembalikan akun tokoh-tokoh kelompok ekstrem kanan Inggris yang sebelumnya diblokir. Misalnya saja sosok seperti Andrew Tate dan Tommy Robinson, mantan ketua organisasi sayap kanan dan anti-muslim English Defense League. Akun-akun ini menyebarkan postingan yang penuh provokasi dan sentimen terhadap imigran khususnya muslim.

Dalam kerusuhan-kerusuhan ini, media sosial khususnya Twitter dan Telegram menjadi platform yang memberikan ruang bagi berkembangnya teori konspirasi. Ketika teori konspirasi dan misinformasi sudah subur, fakta tidak lagi menjadi penting. Teori konspirasi dan misinformasi mengafirmasi lapisan-lapisan keyakinan yang sudah mereka miliki sebelumnya. Ini yang membuat ketika informasi bahwa pelaku bukan imigran ilegal dan bukan muslim sudah dipublikasikan, kerusuhan tetap terjadi.

Namun, dalam konteks yang lebih luas kerusuhan yang ada menunjukkan salah satu isu yang memecah belah politik Inggris, imigrasi. Sejak dekade 1960-an, kelompok-kelompok konservatif dan sayap kanan yang anti-imigran berargumen bahwa imigran adalah salah satu sumber masalah di Inggris karena mereka merebut pekerjaan, layanan publik, dan pelan-pelan mengganti “British values”. Retorika kelompok ini menyebut bahwa imigran mengisolasi “pribumi” yang membuat terjadinya ketidakpuasan ekonomi dan sosial.

Salah satu ekspresi politik anti-imigran bisa dilihat dari pidato politik Enoch Powell, mantan anggota parlemen UK, pada tahun 1968 yang berjudul “Rivers of Blood”. Dalam pidatonya yang provokatif dan memecah belah tersebut, Powell menyebut bahwa imigran dari negara-negara persemakmuran adalah ancaman eksistensial bagi orang-orang “pribumi” Inggris. Karena itu kehadiran imigran harus dibatasi. Dalam beberapa momen politik Inggris berdekade kemudian, pidato ini kerap dirujuk. Salah satunya di periode ketika referendum UK keluar dari Uni Eropa pada tahun 2016 yang populer disebut Brexit.

Untuk meletakkan isu imigrasi tersebut ke dalam konteks hari ini, kita bisa merujuk ke survei Yougov yang dirilis beberapa hari setelah rentetan kerusuhan kemarin. Hasil survei menunjukkan bahwa hanya 7 persen yang mendukung kerusuhan, sementara 85 persen menolak. Meskipun demikian, 34 persen mendukung tujuan aksi-aksi protes tersebut, sementara yang menolak tujuan aksi-aksi protes 54 persen. Ini setidaknya menunjukkan bahwa kurang lebih sepertiga responden memiliki keresahan – atau mengutip beberapa politisi Inggris, legitimate concerns – terhadap isu imigrasi.

Peran Media

Dalam berbagai diskursus tentang imigrasi, media-media arus utama memiliki peran yang cukup besar. Apalagi, Inggris memiliki sistem media yang tingkat polarisasinya cukup tinggi di dunia. Polarisasi masyarakatnya terlihat dari polarisasi media baik yang secara tradisional berangkat dari sayap kiri, tengah, maupun sayap kanan. Dalam tradisi politik ini, media-media sayap kanan menormalisasi dan mengarusutamakan sentimen anti-imigrasi.

Koran-koran seperti The Sun, Daily Mail, Daily Express, Daily Telegraph selama bertahun-tahun memberitakan imigran khususnya muslim dengan cara yang negatif. Riset yang dilakukan oleh Centre for Media Monitoring (2020) menunjukkan bagaimana proses normalisasi ini terjadi. Salah satu kesimpulan riset tersebut, media-media sayap kanan cenderung menempatkan Islam dan muslim sebagai musuh dan ancaman ideologis bagi barat dan “British values”. Karena diletakkan sebagai ancaman, sebagian besar hal-hal negatif seperti aksi kriminal dilekatkan dengan muslim dan Islam. Di 2023, media-media tersebut dengan mengamplifikasi pernyataan mantan menteri dalam negeri Inggris Suella Braverman, menyebut aksi-aksi pro-Palestina di Inggris sebagai “aksi-aksi kebencian”.

Normalisasi dan pengarusutamaan itu sudah terjadi dalam waktu yang cukup lama. BBC menyebut bahwa proses normalisasi yang ada membuat imigran rentan disalahkan untuk berbagai krisis yang warga hadapi sehari-hari seperti kenaikan harga-harga, perumahan yang tak terjangkau, dan menurunnya kualitas layanan publik. Tidak hanya disalahkan, tetapi juga menjadi sasaran rasa marah. Artinya, penyebab yang lebih subtil dari kerusuhan-kerusuhan yang terjadi beberapa waktu belakangan tidak muncul tiba-tiba.

Di era digital, peran media-media arus utama tersebut diamplifikasi oleh kehadiran platform digital seperti Twitter, Tiktok, dan juga Telegram. Platform digital ini terlihat tergagap dalam merespon gelombang misinformasi dan teori konspirasi yang ada. Dampaknya serius dan berpengaruh langsung di dunia nyata.

*****

Salah satu teman saya yang orang Inggris meminta maaf ketika saya menceritakan kegelisahan terutama yang dialami oleh teman-teman saya yang berjilbab. Dia meyakinkan bahwa apa yang terjadi bukanlah representasi Inggris. Hanya sekelompok kecil saja yang berbuat kerusakan. Saya tentu setuju dengan pernyataannya tersebut. Tanggal 7 Agustus menunjukkan bahwa di Inggris jauh lebih banyak aksi-aksi demo pro-imigran dan menolak rasisme segelintir orang. Namun perasaan ketakutan kerap bertahan lebih lama. Kerusuhan di Inggris memang mereda, meski akar masalahnya masih jauh dari selesai. []