Sebagian manusia terkadang lebih cinta jabatan dari pada harta. Mereka rela menghabiskan hartanya demi mengejar pangkat.
Seandainya di hadapan kita ada dua buah perhiasan yang sama-sama indah, dengan bentuk yang sama persis, juga dengan berat setara. Tetapi ada satu perbedaan di antara keduanya, yaitu berbeda bahan dasarnya. Yang satu berbahan dasar emas, sedangkan yang lain berbahan dasar perak. Apakah kita akan memilih yang berbahan dasar emas, atau lebih memilih yang berbahan dasar perak?
Tentu kita akan lebih memilih perhiasan yang berbahan dasar emas. Mengapa bisa demikian? Karena kita telah mengetahui, bahwasanya emas tentu lebih berharga ketimbang perak. Bahkan dengan satu gram emas saja nominalnya mungkin bisa jadi tiga atau empat kali lipat dari nominal satu gram perak.
Contoh yang hampir serupa juga bisa dijumpai tatkala memandang pangkat atau jabatan, kemudian membandingkannya dengan harta. Kecenderungan seseorang biasanya lebih memilih mendapatkan pangkat atau jabatan yang tinggi ketimbang hidup dengan nyaman bersanding banyaknya harta saja. Bahkan tak sedikit orang yang menggelontorkan harta benda yang telah dikumpulkannya supaya dapat memperoleh jabatan tinggi dan penghormatan seagung-agungnya.
Baca Juga: Hukum meminta-minta jabatan, minta untuk dijadikan menteri kabinet
Meski tidak semua orang, akan tetapi kebanyakan orang–secara alamiah–lebih mencintai pangkat atau jabatan, dibandingkan harta. Sehingga bukan sesuatu yang mengherankan apabila tidak sedikit dari manusia yang menempatkan pangkat atau jabatan sebagai puncak keinginannya, berada di atas posisi harta. Banyak yang lebih cinta jabatan dari pada harta, karena dengan adanya pangkat atau jabatan dalam diri seseorang, menjadi tanda bahwa ia telah memiliki posisi atau simpati di hati orang lain.
Melalui kitab Ihya’ Ulumiddin, Imam Abu Hamid al-Ghazali menguraikan beberapa sudut pandang yang membuat manusia lebih cinta jabatan dari pad harta.
Pertama, dengan bermodalkan pangkat atau jabatan, berarti seseorang telah memperoleh posisi di hati manusia, hal itu akan membuatnya lebih mudah untuk memperoleh harta. Tetapi belum tentu berlaku sebaliknya, dengan modal harta saja seseorang tidak mesti mudah memperoleh jabatan. Adapun alasannya ialah karena ia belum memiliki posisi di hati manusia. Itu lah alasan pertama cinta jabatan.
Teori tersebut ternyata tidak hanya berlaku bagi orang yang awam dalam urusan agama saja. Nyatanya, Imam al-Ghazali mencontohkan dengan redaksi orang ahli agama (al-‘alim) dan orang zuhud (az-zahid). Oleh Imam al-Ghazali, orang alim akan memperoleh kemudahan memperoleh harta, jika ia menginginkan harta. Tetapi, tentu mereka tidak serendah itu.
Kedua, dibanding jabatan, harta itu lebih berpotensi mendatangkan bahaya dan kerusakan bagi pemiliknya. Misalnya dengan jalan dirampok, digasab, maupun dicuri orang lain. Tak sedikit orang yang melakukan kejahatan supaya dapat merampas harta orang lain. Oleh karenanya, harta itu sangat butuh untuk dijaga. Sedangkan penjagaan harta itu akan mudah didapat apabila pemilik harta itu memiliki pengaruh dan kekuasaan.
Berbeda halnya dengan orang yang memiliki pangkat atau jabatan. Orang yang berpangkat biasanya telah menguasai hati orang lain, atau telah mendapat tempat di hati orang lain. Tempat di hati orang lain itu senantiasa aman dari tindak perampasan maupun pencurian, karena tempat itu telah terjaga dengan sendirinya.
Ketiga, tatkala seseorang telah menguasai hati atau mendapatkan simpati dari orang lain, maka ia tak perlu susah-susah lagi untuk membuat orang lain percaya kepadanya. Karena rasa simpati di dalam hati manusia sangat mungkin untuk semakin tumbuh dan membesar. Sehingga orang yang simpati kepada orang lain, disertai dengan keyakinan akan kealiman ataupun kebaikannya, maka ia akan selalu bercerita kepada orang lain tentang orang yang dikaguminya.
Cerita yang tersebar kepada orang lain sangat digemari oleh para pengampu jabatan. Mereka bahagia karena telah dikenal oleh banyak orang tanpa perlu susah-susah membuat orang lain percaya. Berbeda dengan harta, perlu adanya kesusahan dan kepayahan jika ingin mengembangkan. Jika kepayahan itu tidak dilakukan, maka harta itu akan segera berkurang untuk mencukupi kebutuhannya.
Begitulah penuturan Imam Abu Hamid al-Ghazali terkait alasan yang membuat orang lebih cinta jabatan atau pangkat. Penjabaran di atas terasa sangat logis ketika kita lebih sering menemukan kegaduhan karena kontestasi jabatan ketimbang riuhnya mengejar kekayaan. Perlu diingat, jabatan itu besar kemungkinan menjadi jalan untuk meraih kekayaan.
Baca juga: Nabi tidak mau mengangkat pejabat yang minta jabatan
Apakah semua orang seperti itu? Tidak juga. Tidak bisa digeneralisir.
Memiliki jabatan dan bangkat pasti banyak sekali sisi positifnya, asal berkenan menggunakannya dengan baik. Yang perlu ditanamkan dalam hati ialah niat yang baik, bukan hanya untuk mengejar dan memperbanyak, tetapi diniatkan untuk menghilangkan. Maksudnya menghilangkan rasa tamak sebab fakir, juga menghilangkan kezaliman dengan jalan menjadi pemimpin. (AN)