Meminta-minta Jabatan Menteri kepada Jokowi, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Meminta-minta Jabatan Menteri kepada Jokowi, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Jika ada partai politik yang minta jabatan mentri kepada Jokowi, bagaimana Islam memandangnya? Bolehkah, atau dilarang?

Meminta-minta Jabatan Menteri kepada Jokowi, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?
Antarafoto/Julius Satria

Kabinet pemerintahan Jokowi-JK segera berakhir masa kerjanya. Parta-partai sedang membicarakan kemungkinan kadernya masuk dalam pemerintahan Jokow-Ma’ruf Amin. Saling sindir dan manuver politik tampak menghiasi layar kaca, media online dan cetak kita. Bukan hanya partai koalisi pendukung Jokowi, bahkan Gerindra ikut dalam kompetisi tersebut.

Meski Prabowo maupun kadernya berulangkali membantah bahwa partainya meminta jabatan namun secara tersirat aktivitas politik yang dilakukan Prabowo menuju ke sana. Dalam politik, lobi politik merupakan hal yang wajar, akan tetapi apabila kesepakatan politik memalingkan ‘wajah’ dari prestasi dan mengutamakan deal politik, pada saat itulah politik akan menemukan jurang. Efeknya negara diatur berdasarkan deal-deal politik bukan kebermanfaatan.

Beberapa partai politik malah mematok porsi yang harus mereka terima. Mereka mencoba mengintervensi Jokowi dengan bicara blak-blakan di media. Tentu saja hal itu bukan hal yang baik. Harusnya jabatan menteri diberikan bukan diminta oleh partai politik manapun termasuk partai yang membesarkan nama Jokowi (PDIP).

Lalu bagaimana Islam memandang perilaku meminta-minta jabatan mentri seperti ini? Islam memang tidak secara mutlak menyalahkan seseorang yang meminta jabatan selama seseorang mampu melaksanakan kewajiban dan memperbaiki keadaan agar lebih baik. Ulama yang membolehkan mendasarkan pendapatnya pada kisah Nabi Yusuf AS.

Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. (QS. Yusuf : 55). Tentu saja dalam kisah Nabi Yusuf dibolehkan karena memang beliau memiliki kapasitas dan integritas dan bukan didasari pernah mendukung kepemimpinan atau pernah berkeringat istilah partai koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin.

Selain dalil di atas dibolehkan meminta jabatan didasari hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad nomor hadist 16270, “Jadikan aku sebagai pemimpin kaumku, Nabi menjawab, “Kamu adalah pemimpin mereka.” Tentu saja membolehkan dikarenakan Nabi sangat mengenal dan mengetahui integritas Utsman bin Abil ‘Ash.

Sementara ulama yang melarang meminta jabatan dilandasi dalil yang kuat pula. Misalnya dalam sebuah hadis disebutkan, “Janganlah kamu meminta jabatan! Karena sesungguhnya jika diberikan jabatan itu kepadamu karena engkau memintanya, engkau akan diberikan jabatan itu (tanpa pertolongan dari Allah). Dan jika jabatan itu diberikan kepadamu bukan dengan permintaan, pasti kamu akan ditolong (oleh Allah) dalam melaksanakan jabatan itu.” (HR. al-Bukhori no. 6622 dan Muslim no. 1652).

Dalam hadis yang lain ketika seseorang meminta jabatan Nabi Muhammad SAW menjawab, “Sesungguhnya, Kami tak akan memberi amanah kekuasaan kepada seseorang yang memintanya, dan juga pada orang yang berambisi padanya.” (HR. Muslim no. 4821).

Pertanyaannya kemudian, apakah mereka yang hari ini meminta jabatan dari Jokowi memiliki integritas sebagaimana yang dimiliki Nabi Yusuf? apakah mereka benar-benar ingin membantu memperbaiki keadaan negara atau hanya karena haus akan kekuasaan. Niat meminta jabatan tersebut akan menentukan apakah meminta jabatan itu dibolehkan atau tidak. Jokowi-Ma’ruf Amin hendaknya mempertimbangkan aspek kemampuan para calon pembantu mereka.

Jangan sampai keputusan didasari atas balas jasa politik dan melupakan aspek terpenting dari mereka yaitu kemampuan dalam melaksanakan tugas negara. Imam Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din mengatakan jika seseorang itu lemah dari segi kemampuan dan sangat dipengaruhi oleh hasrat kuasa, maka larangan meminta jabatan itu berlaku. Namun apabila seseorang meminta jabatan karena memiliki kemampuan dan bukan karena kerakusan akan kuasa, maka hal itu dibolehkan.

Namun bila amati dengan seksama, mereka hanya bicara jatah kursi menteri dan setingkat menteri hanya berdasarkan kontribusi selama pilpres maupun berdasarkan kekuatan politik. Mereka tidak menawarkan kepada publik dengan terang bederang siapa yang mereka ajukan kepada Jokowi dan alasan kemampuan mereka sehingga rakyat dapat menilai siapa calon menteri tersebut.

Harapannya Jokowi tidak mengangkat calon pembantunya selama lima tahun ke depan karena intervensi politik sehingga mereka yang memiliki kemampuan mendapatkan hak mereka. Jokowi harus belajar dari beberapa menterinya di periode yang lalu. Bukan hanya tak mampu melaksanakan tugasnya akan tetapi malah terlibat kasus korupsi. Jika mereka diangkat karena tekanan politik, kini sudah saatnya Jokowi melakukan revolusi mental.

Jokowi dapat menyingkirkan mereka yang meminta jabatan karena kuasa dan mengangkat mereka yang berkemampuan meskipun kader partai lawan politik maupun non-parpol. Saatnya Jokowi meninggalkan warisan berharga bagi negara ini dengan mengangkat menteri berdasarkan prestasi, calon menteri yang meminta jabatan untuk berjuang bersama untuk memperbaiki keadaan bukan mengumpulkan pundi-pundi rupiah demi diri dan kelompoknya.

Wallahu a’lam.