Menengok Kembali Cak Nur, Melihat Lagi Pembaruan Pemikiran Islam untuk Muslim Urban

Menengok Kembali Cak Nur, Melihat Lagi Pembaruan Pemikiran Islam untuk Muslim Urban

Menengok Kembali Cak Nur, Melihat Lagi Pembaruan Pemikiran Islam untuk Muslim Urban

Ia bernama  Nurcholis Madjid atau dikenal dengan nama Cak Nur.  Sejarah mencatat, bersama Gus Dur, sosok ini merupakan cendekiawan muslim yang berpengaruh di Indonesia. Jejak pemikiran dan pembaharuannya tentang Islam terus dikaji sampai kini.

Cak Nur, sapaan Nurcholis Madjid, punya jejak pengaruh besar dalam pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Ia juga mendirikan Universitas Paramadina dan aktif berkarya.

Karya-karya Cak Nur turut serta menyegarkan pemikiran Islam di Indonesia dengan pelbagai karyanya seperti “Khazanah Intelektual Islam” (1984), “Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan” (1987), “Islam, Doktrin, dan Peradaban” (1992), “Pintu-pintu Menuju Tuhan” (1994), dan lainnya.

Pada masanya, segala hal tentang Cak Nur tersebut menjadi sumber inspirasi para anak muda Islam pada dekade 1980-an dan 1990-an, bahkan hingga kini.

Greg Barton, Indonesianis asal Australlia dalam disertasinya Gagasan Islam Liberal di Indonesia(1995) menempatkan Nurcholish Madjid sebagai pemikir Islam berpengaruh dari Indonesia bersama Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid.

Ketiganya, kata Greg Barton, termasukk dalam gerbong gerakan dan pemikiran Neo-Modernisme Muslim Indonesia yang berpengaruh sejak akhir 1960-an hingga dewasa ini.

Sebagai gerakan ini juga menjadi jembatan memperluas moderenisme sekaligus tradisionalisme. Sumbangan gagasan pembaruan pemikiran Islam mereka merepresentasikan suatu sintesis besar pemikiran Islam, dengan pemikiran modern.

Tak heran ia kemudian dinobatkan sebagai salah satu pembaharu Islam Indonesia yang pengaruhnya sangat besar, khususnya dalam mempromosikan Islam moderat yang inklusif, dinamis, dan sejuk

Bermula dari Gerakan intelektual di HMI

Publik mengenal Cak Nur saat mulai menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sampai dua kali, yakni dalam kurun 1966-1968 dan 1969-1971.

Pada tahun 1960-an, HMI adalah salah satu organisasi mahasiswa besar selain CGMI yang berafiliasi dengan PKI dan GMNI yang berafiliasi ke PNI. Usai Peristiwa 1965, CGMI bubar dan GMNI meredup. Tinggal HMI organisasi kemahasiswaan besar pasca 1966 yang besar. Sebab GMNI dianggap bagian dari Soekarno yang terlempar dari kekusaaan.

Pada tahun 1969, Cak Nur membuat risalah ideologis yang monumental yang diberi nama Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI. NDP berisi pedoman ideologis bagi kader HMI yang hingga kini jadi acuan pergerakan dan pemikiran organisasi yang melahirkan banyak pemimpin di Indonesia.

HMI era Cak Nur adalah era emas masa di mana ia berjumpa dengan pemikir besar lain seperti seperti Ahmad Wahib, Djohan Effendi, dan Dawam Rahardjo. Pemikiran dan perdebatan intelektual tumbuh subur waktu itu.

Menjadi Pembaharu Islam, Pemikirannya Dikaji Sampai Kini

Pada medio 1960 hinga 1970, Cak Nur mengamati umat Islam khususnya di Indonesia dalam suasana jumud, nostalgia akut, atau terlampau rindu pada masa lampau, khususnya terkait kejayaan Islam pada abad kekhilafahan.

Padahal, di satu sisi, modernitas menjadi tantangan umat Islam.  Akibatnya, umat Islam tidak bisa atau sukar menampilkan pemikir-pemikir terbaiknya dalam berbagai bidang, khususnya sains dan teknologi.

Padahal, menurut Cak Nur Islam bisa jadi semangat baru untuk mendorong peradaban dan tentu saja tidak berkelindan dengan modernitas.

Lantas, ia pun membuat gagasan terkait hal itu. Tentang islam yang juga menerima konsep modernitas barat seperti demokrasi maupun kesetaraan.

Sebuah gagasan yang ketika masa itu menjadi perdebatan yang cukup hangat oleh pemikir-pemikir Islam lewat koran, ceramah maupun buku-buku.

Gagasan Cak Nur dianggap dekat dengan konsep sekulerisasi. “Jargon Islam yes, Partai Islam No”. Ini terpantik dari upaya Islamisasi partai dan dianggap justru membuat Islam kian terpuruk.

Sukidi, Doktor dan Aktivis Muhammadiyah alumni Universitas Harvard dalam tulisannya mengenang Cak Nur menyebut sosok itu adalah pembaharu Islam yang menghidupkan argumentasi modern.

“Sebagai pembaru Islam, Cak Nur setia menggunakan tradisi internal Islam sebagai argumen modernisasi kehidupan umat Islam,” tulisnya dalam arsip kompas.com tanggal 16 Agustus 2016.

Sampai saat ini, gagasan pemikiran pembaharuan Cak Nur masih diperbincangkan dan dikaji oleh para akademisi dan pemikir, baik di dalam maupun di luar negeri bersama dengan para intelektual lain sezamannya seperti Abdurrahman Wahid, Buya Hamka hingga Dawam Rahardjo.

Sosok itu berpulang pada 29 Agustus 205 yang lalu. Namanya harum sebagai salah satu pemikir muslim Indonesia yang paling banyak dikaji di kampus-kampus dan diperbicangkan dalam forum ketika membicarakan perkembangan Islam di Indonesia.