Napak Tilas Gagasan Keagamaan dan Kebangsaan Nurcholis Madjid

Napak Tilas Gagasan Keagamaan dan Kebangsaan Nurcholis Madjid

Menurutnya, umat Islam perlu melakukan praktik penafsiran Al-Quran dengan mempertimbangkan konteks sosial yang dinamis, terutama konteks keindonesiaan

Napak Tilas Gagasan Keagamaan dan Kebangsaan Nurcholis Madjid

Bukan tanpa alasan Nurcholish Madjid disebut sebagai “masinis penarik gerbong pembaruan pemikiran Islam di Indonesia”. Laki-laki yang lahir di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur pada 17 Maret 1939 itu dengan tegas menyatakan perlunya umat Islam untuk mereinterpretasi ajaran Islam dengan penafsiran yang kontekstual dan dinamis. Cak Nur, sapaan akrabnya, juga pernah membuat heboh umat Islam Indonesia dengan ide “sekularisasi” dan diksi “Islam Yes, Partai Islam No”.

Oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur disebut sebagai satu di antara “tiga pendekar dari Chicago” generasi pertama. Jika Amien Rais adalah “the politician” dan Ahmad Syafii Maarif adalah “the philosopher”, maka Cak Nur adalah “the intellectual” yang menekankan pendekatan kultural dalam rangka menyuarakan inklusivitas dan universalitas Islam (Wahid, 1993). Sepak terjang Cak Nur dalam menarik gerbong pembaruan pemikiran Islam itu tidak dapat dilepaskan dari rekam jejak intelektual dan aktivismenya.

Kiprah Intelektual, Aktivisme, dan Keberpihakan

Nurcholish Madjid hidup dalam ruang dan waktu yang kompleks, melintasi berbagai macam peristiwa sejarah yang terjadi di Indonesia. Lahir dari keluarga berlatar Nahdlatul Ulama (NU), Cak Nur mulai menyerap ide-ide modernisme ketika mondok di Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Pondok modern yang didirikan oleh Kiai Ahmad Sahal, Kiai Ahmad Zarkasyi, dan Kiai Zainuddin Fananie itu memadukan antara pendidikan agama dan umum.

Setelah lulus dari Gontor, Cak Nur melanjutkan jenjang pendidikan tinggi ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Di Jakarta inilah Cak Nur memulai karir intelektual dan aktivismenya. Di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Cak Nur dua kali terpilih menjadi Ketua Pengurus Besar (PB) HMI, tepatnya sejak 1966 hingga 1971. Pada waktu yang hampir sama (1967-1971) ia juga didapuk menjadi Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT). Pada masa-masa inilah ide-ide Cak Nur mulai meramaikan jagad media massa dan forum-forum intelektual di Indonesia.

Di antara isu yang kerap disorot Cak Nur adalah pembaruan pemikiran Islam dan isu kebangsaan. Dari artikel-artikel yang ia tulis, tampak jelas bahwa Cak Nur memandang dua isu besar tersebut saling berkaitkelindan. Sebagai penduduk mayoritas, umat Islam dituntut ikut bertanggungjawab untuk mengembangkan dan memajukan Indonesia.

Di satu sisi, dalam sejarah Indonesia, Cak Nur berargumen bahwa umat Islam adalah salah satu aktor utama yang memunculkembangkan kesadaran kebangsaan, rasa dan sikap cinta tanah air, dan semangat perlawanan terhadap penjajah. Akan tetapi, di sisi lain, di tengah konteks sosial-budaya Indonesia yang heterogen, ia secara tegas menolak adanya “Islam nasional”.

Dengan menyerap nilai ajaran dari surat al-Hujurat/49: 13, Cak Nur menjelaskan tentang pluralisme, yang ia artikan sebagai “suatu sistem nilai yang mengandung secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri” (Madjid, 2008). Bagi Cak Nur, menjadikan Indonesia sebagai negara Islam adalah bentuk pengkerdilan terhadap kemajemukan itu. Indonesia mestinya dibangun di atas common word, yang dalam hal ini Pancasila ditempatkan sebagai common platform yang menyatukan berbagai kelompok suku, ras, budaya, dan agama.

Isu lain yang kerap disuarakan Cak Nur adalah agar umat Islam melakukan praktik penafsiran Al-Quran dengan mempertimbangkan konteks sosial yang dinamis, terutama konteks keindonesiaan. Seruannya ini merupakan buah dari perjalanan intelektual Cak Nur di Amerika. Selama enam tahun (1978-1984) Cak Nur berkelana ke Universitas Chicago dan berguru ke Fazlur Rahman.

Penafsiran Kontekstual

Dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban, Cak Nur berterus terang menyebut bahwa umat Islam sedang mengalami krisis di tengah modernitas. Krisis yang dialami umat Islam ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan karena lemah dan runtuhnya infrastruktur sosial, politik, dan ekonomi sebagai imbas perdebatan antarkelompok Islam yang berujung pada ditutupnya pintu ijtihad. Kondisi ini berbanding terbalik dengan spirit Islam sebagai agama modern, dalam artian agama yang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan (Madjid, 2004).

Wahyu dan akal, dalam pandangan Cak Nur, bersifat interdependen atau saling bergantung satu sama lain. Sifat interdependen ini, dalam konteks penafsiran, berarti bahwa seorang mufasir, terutama ketika menafsirkan ayat-ayat ahkam, mestinya merefleksikan konteks ayat al-Quran yang turun pada abad ketujuh dengan realitas dunia modern. Kesadaran konteks ini benar-benar ditekankan oleh Cak Nur.

Selain itu, Cak Nur juga menggunakan kontekstualisasi ijtihad (contextualized ijtihad) sebagai senjata untuk mengurai benang kusut hubungan antarumat beragama dan persoalan-persoalan lain yang debatable. Dalam hal ini, Cak Nur memberi contoh kasus ijtihad Umar bin Khattab tentang masalah tanah pertanian (harta tidak bergerak) yang didapatkan setelah penaklukan negeri Syam, Irak, Persia, dan Mesir.

Setelah membagi-bagikan harta (bergerak) sesuai ketentuan surat al-Anfal/8: 41, Umar memilih untuk membiarkan tanah pertanian itu dikelola oleh pemilik aslinya dengan dikenakan pajak. Sikap Umar ini ditentang oleh sebagian sahabat. Meskipun begitu, Umar dengan teguh memegang pandangannya yang berangkat dari pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran dan pertimbangan kepentingan umum (al-mashlahah al-‘ammah). Alih-alih bentuk penafian terhadap sunnah Nabi, dalam pandangan Cak Nur, tindakan yang dilakukan Umar ini adalah bukti bahwa ia berpegang teguh pada sunnah itu.

Tantangan Perjuangan

Pandangan kontroversial Cak Nur yang membuatnya dihujat dan diserang banyak orang adalah tentang pluralisme agama. Menurutnya, semua ajaran kitab suci bermuara pada kebenaran universal dan/atau tunggal, meskipun manifestasi lahiriahnya bisa beragam. Dari pandangannya ini, Cak Nur hendak menegaskan bahwa setiap umat beragama mesti diberikan kebebasan untuk menjalankan agamanya berikut konsekuensi-konsekuensinya, sehingga ketika ada Muslim memutuskan untuk keluar dari Islam, maka ia tidak dapat dihukumi dengan hukuman mati.

Menurutnya, hukuman mati terhadap orang yang murtad berada di level fikih, sementara ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran –yang memuat prinsip kebenaran universal—menghendaki kebebasan beragama. Bagi Cak Nur, prinsip kebebasan beragama ini juga sejalan dengan modernitas.

Pembaruan pemikiran Islam yang dilakukan Cak Nun adalah dengan kembali kepada Al-Quran dan sunnah. Jarang sekali Cak Nur mengutip pendapat mufasir, lebih-lebih menyuguhkan diskursus penafsiran yang sedang berkembang. Kalaupun merujuk ke pendapat mufasir, agaknya ia (hanya) memilih pandangan yang sesuai dengan preferensi maknanya.

Ketika membahas isu pluralisme agama, misalnya, Cak Nur nampak beberapa kali mengutip pendapat ibn Taimiyah, Yusuf Ali, dan Muhammad Asad yang mendukung argumennya bahwa makna sebenarnya (makna generik) dari kata al-Islam yang termaktub di dalam al-Quran adalah sikap berserah diri, bukan sebagai proper name (Madjid, 2008: 173-196).

Kata Johns dan Saeed, “He justifies his ideas on pluralism by the Qur’an, but he has not arrived at them as a Qur’anic exegete” (2004: 90). Alih-alih menganalisis makna ayat secara mendalam (sesuai dengan prosedur penafsiran), Cak Nur lebih menggunakan pengalaman personalnya untuk memahami al-Quran. Wajar saja, sebab Cak Nur bukanlah seorang “mufasir”, melainkan intelektual dan aktivis Muslim yang resah dengan situasi keislaman dan keindonesiaan yang mengiringi perjalanan hidupnya.