Meneluri Betapa Legit dan Manis, Lantas Jadi Penyakit Efek Kekuasaan Politik ala Cak Nur

Meneluri Betapa Legit dan Manis, Lantas Jadi Penyakit Efek Kekuasaan Politik ala Cak Nur

Meneluri Betapa Legit dan Manis, Lantas Jadi Penyakit Efek Kekuasaan Politik ala Cak Nur

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak dakan berlangsung pada Rabu, 27 November 2024, di media sosial kampanye dari setiap pasangan calon, menawarkan berbagai program dan solusi hingga janji-janji manis lainnya.  Namun, di tengah riuh ramainya kampanye di ruang publik, penting untuk mengingatkan diri kita bahwa pemilihan ini bukan hanya soal janji-janji atau retorika semata.

Pilkada, sebagai bagian dari sistem demokrasi, adalah momen yang menentukan arah pembangunan dan kemajuan suatu daerah. Bukan sekadar memilih figur atau tokoh populer, tetapi lebih dari itu, memilih pemimpin yang memiliki visi yang jelas dan tidak gila kekuasaan.

Cendekiawan muslim, Nurcholis Madjid atau biasa dikenal Cak Nur jauh-jauh berpesan untuk hati-hati dengan penyakit kekuasaan. Kadang, sering kita temukan, tokoh-tokoh yang vokal mengkritisi pemerintahan tetapi saat bergabung di pemerintahan,mendapatkan jabatan, dia seolah diam, melempem tidak senyaring dulu.

Ada penyakit kekuasaan di sana. Cak Nur menilai setidaknya ada tiga penyakit yang menjangkit para penguasa, pertama ada pre-power syndrom, kedua pre-power syndrom dan ketiga post-power syndrom. Ketiga penyakit tadi, kata Cak Nur bisa menjangkiti siapa saja. Semua manusia, berkemungkinan terjangkiti penyakit kekuasaan tersebut.

Pre-power syndrom sebagaimana diungkap Cak Nur, merujuk pada serangkaian perilaku aneh yang biasa muncul sebelum seseorang menduduki posisi kekuasaan. Sebelum memegang kendali, calon pasangan ambisinya bukan main, sundul langit. Dia berusaha membangun citra diri sampai-sampai berani meninggalkan nilai-nilai moral. Tak hanya itu, pada tahapan laku aneh ini, apapun cara, asal pasangan bisa mencapai kekuasaan, segala cara ia tempuh.

L

Tahap seperti ini, sangat-sangat bahaya jika tidak disertai dengan kesadaran penuh atas diri sendiri. Kesadaran mengoreksi ke dalam diri sendiri apa yang salah dan apa yang mesti diperbaiki.

 

Berikutnya, In-power syndrom penyakit seseorang yang tengah menjabat kekuasaan. Dulu, sebelum terpilih menjadi kepala daerah misalnya, dia berucap menjunjung kebenaran, tetapi ketika berkuasa, dia lupa diri. Lupa-lupa janji-janjinya, Cak Nur bilang “dikritik marah, malah mati-matian membela diri untuk mempertahankan kekuasaannya”. Pada titik inilah, kekuasaan mulai merusak, dan seseorang yang semula berjanji untuk memperjuangkan kebenaran justru terjebak dalam ego dan kenyamanan jabatan.

 

Cak Nur menggambarkan dengan ungkapan “dikritik marah, malah mati-matian membela kekuasaannya,” baiknya apa yang menjadi kritik itu sudah sewajarnya menjadi bahan untuk refleksi dan merubah keadaan. Rasa-rasanya, sering kita jumpai malah ada pemimpin yang malah terkesan menolak dan menutup diri dari kritikan.

 

Lalu post-power syndrom, penyakit pasca kuasa ini seperti digambarkan di atas, biasanya ketika kehilangan jabatan atau sudah tidak menjabat lagi, dia berlaku aneh. Ada masa transisi disana, dari mulai fasilitas dan kemewahan yang ada hingga jabatan yang diberikan. Mantan penguasa seringkali terjebak dalam nostalgia dan euforia masa lalu, merasa kehilangan kontrol dan pengaruh yang pernah mereka nikmati.

 

Dalam hal ini Cak Nur agar tidak melulut terpenjara dan tertawan oleh situasinya. Cak Nur berpesan, untuk pentingnya waspada. Menjaga jarak dari persoalan yang mengitari kita agar mampu melihat satu keadaan dan kondisi secara objektif.

 

Cak Nur menggambarkan, hal demikian senapas dengan ibadah sholat, saat bertakbir itu artinya meninggalkan segala urusan, mengambil jarak dengan berbagai persoalan dan berfokus pada Tuhan semesta. Dalam momen itu, kita diminta untuk diberi petunjuk atas jalan yang benar. Meminta bimbingan Tuhan.

Pada akhirnya, sekali lagi penyakit-penyakit kekuasan di atas itu dapat menjangkiti siapa saja tanpa terkecuali, semua manusia mempunyai kelemahan itu. Sebab menurut Cak Nur, dalam al-Quran sudah berfirman, “Kalla bal tuhibbuna al-a’jilah, watadzaruna al-akhirah” (Ingatlah hai manusia, kamu itu lebih tertarik kepada apa yang terlihat di mata, apa yang dialami segera, tapi yang akhirat kamu abaikan,” Surah Al-Qiyamah (75), ayat 20.