“Tak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu dengan baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu-Gus Dur,” konflik di india
Konflik di India antara mayoritas dan minoritas akhirnya terjadi, belum lama ini. Hal ini dipicu serangan terhadap kelompok Muslim penolak Undang-Undang Citizienship Amendement Bill (CAB) oleh kelompok Hindu pendukung UU tersebut dan itu berada di tengah kunjungan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Akankah hal serupa terjadi di Indonesia?
Di kita, konflik juga terjadi. Mulai dari Poso hingga Aceh. Dan di situ selalu ada negara di baliknya. Hal tersebut pun meninggalkan luka kemanusiaan yang tak berkesudahan. Nampaknya, kita perlu menarik sejumlah sejarah yang sempat terjadi. Dahulu, agama dunia datang silih berganti. Satu menggantikan yang lain, dengan kata lain pola amalgamasi. Baik dengan sesama impor, maupun antara agama impor dengan tradisi agama lokal. konflik di India
Pola hubungan antar agama di masa lalu, sangat dipengaruhi oleh politik stelsel dan politik keagamaan pemerintah kolonial. Masing-masing dibiarkan dalam sebuah gubungan antitesis, persaingan. Syakwasangka dan sikap ignoran ditunjang demi kepentingan politik kolonial. Pemerintah kolonial melakukan politik keagamaan yang hanya bersumbu pada dogma dan bukan pada etika. Bahkan pada ajaran yang berlaku, bukan menitikberatkan pada prilaku.
Akibatnya, kehidupan agama bercorak tertutup dan kehilangan inspirasi yang segar bagi umat dan masyarakat untuk menuntut perbaikan nasib. Pada saat itu, agama boleh menjadi apa saja, asalkan tidak menjadi agama pembebasan.
Oleh elit penguasa kolonial, komunikasi antar agama dikendalikan sedemikan rupa. Sehingga, tidak berjalan secara bebas dan terbuka. Sejak abad 19, agama-agama muncul dalam sebuah fase formatig yang ditandai oleh upaya untuk merumuskan ajaran-ajaran dan pendidikan yang dirasa cicik dengan tantangan yang muncul saat itu. Terjalinnya hubungan dengan pusat-pusat keagamaan di luar negeri menyebabkan munculnya gerakan purifikasi agama. Ortodoksi menjadi ciri yang meninjol sebagai contoh pada saat itu, kekristenan menjadi terlalu berat, begitu pula Islam lebih berkiblat pada tanah Arab, Hindu ke India, Buddha ke Srilanka atau Thailand.
Proses purifikasi ini seringpula dimuati oleh masalah-masalah luar ke dalam negeri. Pada gilirannya problem-problem diimpor tersebut bisa menjadi problem yang menetap dan sukar dicari jalan keluarnya. Daftar panjang perang agama bisa ditambah dengan konflik-konflik di zaman modern. Misalnya, stigma sejarah yang pahit tentang perang salib turut terungkit juga di Indonesia. Dendam sejarah, kebencian, serta permusuhan bisa muncul kembali manakala cerita tentang perang yang berjalan selama berabad-abad itu dibaca dalam konteks pemahaman yang salah.
Begitu pula perang yanhg terjadi antara golongan Protestan dan Katolik di sejarah Eropa bisa pula menimbulkan trauma yang sama serta menimbulkan kembali prasangka keagamaan yang negatif. Daftar panjang perang agama, bisa ditambah dengan konflik-konflik di zaman modern, sebagaimana yang terjadi di Irlandia Utara, Libanon, Israel, Bosnia dan lain sebagainya. Dalam hal ini agama bisa berperan sebagai minyak di atas nyala api yang membakar.
Alangkah panas nyala itu dan bakal mematikan sekian banuak manusia di panggung sejarah. Ditambah dengan suara-suara pesimis terhadap fenomena agama bahkan menyimpulkan, manakala agama berperan dalam konflik dan peperangan. Maka sulit orang keluar dari sana tanpa luka rohani yang mendalam.
Belajar dari luka sejarah yang terus bergores dalam kehidupan manusia layaknya menusia dapat mengambil ikhtibar. Bahwa, sudah saatnya nilai-nilai mengajari cinta, persaudaraan, persamaan dan berbagai sifat mulia launnya dihidupkan di tengah masyarakat.
Manusia harus bisa menerima keberagaman sebagai sesuatu yang bukan untuk dipertentangkan. Harus pula menyadari bahwa kekerasan apapun alasannya hanya mendatangkan mudharat, kerugian mencakup miril dan materil. konflik di india
Akhirnya, masih mungkinkah membalut luka sejarah selama ini dengan perban cinta dan damai? Ataukah memang naluri manusia akan terus doyan pertikaian? Jawabannya berpulang ke masing-masing individu dan kelompok sosial dari manusia sendiri. Sebab, tidak ada yang bisa mengubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang akan mengubahnya.