Sejak tahun 2000 setelah diperjuangkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sang pendekar pluralisme garda depan itu, warga Tionghoa hingga kini setidaknya telah merayakan Imlek secara terbuka selama kurang lebih 18 tahun. Diskriminasi terhadap warga Tionghoa dan pelarangan berbagai hal yang “berbau” Tionghoa (baca: tradisi dan budaya Tionghoa) yang dilakukan Rezim Orde Baru memang tidak beradab dan ahistoris. Mengapa? Karena sudah sejak dulu, ada kaitan erat antara Nusantara dan Tionghoa. Tionghoa dan Nusantara telah bersatu padu.
Kita mungkin sudah tak asing lagi dengan Pahlawan Nasional Laksamana Muda John Lie yang merupakan warga Tionghoa yang gagah berani. Jasanya bagi bangsa dan negara, terutama dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tak diragukan lagi. Kita tentu juga telah akrab dengan nama Laksamana Cheng Hoo, penjelajah laut dan samudera (bahariwan) terbesar sepanjang sejarah. Dia adalah salah satu penyebar agama Islam di Nusantara dengan cara yang damai.
Cheng Hoo tidak mengajak atau apalagi mendesak dan memaksa siapa pun warga Nusantara untuk memeluk Islam, melainkan memberi teladan moral dan perilaku yang luhur. Dengan cara itu, banyak orang tertarik kepada sosok Cheng Hoo lantas dengan sukarela memeluk agama Islam. Cara-cara damai dan “demokratis” yang ditempuh Cheng Hoo untuk menyebarkan agama layak menjadi panutan bagi siapa pun yang ingin menularkan nilai-nilai dan ajaran yang bajik dan bijak.
Indahnya Toleransi dan Berbagi
Jika sejarah dicermati, ada kaitan historis yang erat antara Tionghoa dan Islam. Banyak tokoh legendaris Islam Nusantara yang punya kaitan erat dengan Tionghoa atau bahkan punya garis keturunan Tionghoa, termasuk Gus Dur. Selain itu, beberapa masjid di tanah air yang cukup indah dan megah juga ada yang memakai arsitektur Cina sebagai salah satu ciri khasnya, sebut saja misalnya Masjid Agung Palembang, Sumatera Selatan, yang atapnya mirip kelenteng. Juga ada Masjid Cheng Hoo di Surabaya dan Jakabaring, Palembang, yang memakai arsitektur Cina yang khas dan unik.
Itulah mengapa bisa dimaklumi jika toleransi antara etnis Tionghoa yang mayoritas memeluk agama Konghucu dengan para pemeluk agama Islam di Nusantara sedemikian indah. Ini juga yang menjadi salah satu spirit Imlek yang penting: toleransi, perdamaian, kebahagiaan, dan cinta kasih.
Buka puasa di hari-hari tertentu selama bulan Ramadhan di beberapa Kelenteng, misalnya, menjadi salah satu bentuk toleransi beragama dan menghormati umat Islam yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa yang mayoritas memeluk agama Konghucu. Bahkan, tradisi ini sudah dilakukan cukup lama seperti terjadi di Kelenteng Hok Swie Bio, Bojonegoro, Jawa Timur; Kelenteng Cokroaminoto Surabaya; dan Kelenteng Talang, Cirebon.
“Betapa indahnya toleransi, betapa mulianya saling berbagi” tak hanya dalam ranah sosial, melainkan juga dalam ranah iman, ibadah, dan telogi. Inilah salah satu spirit Imlek yang penting. Dan, jika berbicara tentang Imlek memang tak relevan lagi memperdebatkan apakah ini merupakan tradisi atau budaya Tiongohoa ataukah hari raya keagamaan umat Konghucu? Keduanya nyaris tak terpisahkan.
Pada mulanya, Imlek memang merupakan tradisi dan budaya kaum Tionghoa sebagai perayaan tahun baru Cina, namun karena selalu ada prosesi persembahyangan sebelum, selama, dan sesudah hari “H”, maka Imlek pada dasarnya merupakan hari raya keagamaan umat Konghucu juga. Untuk itu, sangat relevan memperbincangkan semangat toleransi, kebersamaan, persaudaraan, dan saling berbagi yang dilakukan para pemeluk Konghucu via Kelenteng kepada umat Islam yang menunaikan puasa Ramadhan tadi.
Semangat berbagi saat Imlek juga tercermin dari tradisi angpao yang diberikan oleh yang tua kepada yang muda, dari yang punya kepada yang kurang berpunya, dan dari yang kuat kepada yang lemah, dan seterusnya.
Kebajikan, Keadilan, dan Kebijaksanaan
Selain toleransi sebagaimana diurai didepan, hal-hal yang baik dan mulia lainnya seperti kemakmuran, panjang umur, keselamatan, kedamaian, dan kebahagiaan yang tercermin pada sajian dan hidangan khas Imlek merupakan harapan, cita-cita sekaligus doa yang dipanjatkan oleh masyarakat Tionghoa yang sedang bersuka cita. Untuk itu, “Gong Xi Fa Cai” yang berarti “Selamat dan Semoga Banyak Rezeki” menjadi ucapan yang lazim saat perayaan Imlek.
Rezeki yang melimpah dan berkah menjadi salah satu harapan kaum Tionghoa yang merayakan Imlek. Selain dengan doa yang tulus saat Imlek, rezeki yang melimpah dan berkah hanya bisa diraih, antara lain, dengan etos masyarakat Tionghoa yang sangat dominan dan penting, yaitu kerja keras, hemat, dan pantang menyerah. Tigal hal ini sudah sepantasnya dan seharusnya menjadi bagian dari etos masyarakat Nusantara juga.
Imlek merupakah hari besar masyarakat Tionghoa yang dirayakan oleh masyarakat Cina di berbagai belahan dunia. Dan, sejak tahun 2002, Imlek resmi dijadikan sebagai hari libur nasional. Kemudian, sejak tahun 2006, agama Konghucu diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia selain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Pemeluk Konghucu pun boleh mencantumkan agama Konghucu dalam KTP, kemudian pernikahan dalam ajaran dan tradisi agama Konghucu pun diakui oleh negara dalam catatan sipil.
Dalam semangat toleransi dan menghargai keragaman sebagai bagian dari siprit Imlek yang penting sudah seyogyanya bangsa dan negara ini tak hanya mengakui enam agama formal itu, melainkan juga agama-agama, tradisi, dan budaya lain yang sangat banyak di Nusantara. Agama, tradisi, dan budaya di Nusantara ini sedemikian banyaknya dan menjadi “kekayaan” bangsa sebagai bagian dari nilai-nilai dan ajaran (lokal) yang penuh kebajikan dan kebijakan.
Sudah saatnya negara dan bangsa ini mengakui sedemikian banyaknya agama, tradisi, dan budaya masyarakat Nusantara yang melimpah dan boleh mencantumkannya dalam KTP sesuai keyakinan paling pribadi yang dipeluknya. Siapa pun sah memeluk keyakinan apapun dan tak ada seorang pun yang mampu ataupun boleh memberangus keyakinan yang paling pribadi tersebut. Siapa pun berhak memeluk dan mengekspresikan keyakinannya, sejauh itu tidak merugikan orang lain, tidak mengganggu hak (asasi) orang lain, serta tidak berbuat jahat atau melakukan kriminal.
Sampai di sini, saat Imlek tiba, layaklah bagi siapa pun, terutama masyarakat Tionghoa, untuk kembali menyegarkan dan memperbaharui spiritnya dan merenungkan kembali (secara terus-menerus) beberapa hal baik dan mulia dalam ajaran Konghucu, yaitu “Sepenuh Iman Menjunjung Kebajikan” (Cheng Juan Jie De) dan “Sepenuh Iman Menempuh Jalan Suci” (Cheng Xing Da Dao). Juga mengamalkan lima sifat kekekalan yang luhur, yaitu Cinta Kasih (Ren), Kebenaran dan Keadilan (Yi), Kebijaksanaan (Zhi), Dapat Dipercaya (Xin), dan Keberanian (Yong).
Selamat Tahun Baru Imlek 2569, Xin Nian Kuai Le. Sing Cung Kyi Hi. Gong Xi Fa Cai.[]
*) M. Arief Hakim adalah Penghayat Religiositas dan Spiritualitas, Ketua Yayasan Hati Nurani Bangsa (YHNB).