
Siang itu, saat liburan Imlek tiba, seorang Ibu warga keturunan Tionghoa dan anak gadisnya duduk khusyu` berdoa disamping makam Gusdur, Ibu itu menangis tersedu, “Karena Gus Dur, saat ini kita bisa merayakan Imlek…” kata Ibu itu pada anak gadisnya, (Cerita lengkapnya di sini),
Gus Dur sangat berarti bagi orang Tionghoa keturunan, bagaimana tidak, beribadah dan merayakan hari rayanya didepan umum dan segala keterbatasan beragama mereka alami sejak lama, sejak adanya hantu menakutkan bernama Intruksi Presiden (Inpres) No 14/1967.
Sejak saat itu, orang Tionghoa merayakan hari rayanya didalam rumah, tidak ada kemeriahan, sembunyi-sembunyi dan sangat menyedihkan.
Namun gelap itu sirna, hantu menakutkan itu sudah pergi, sejak beliau menjadi Presiden RI.
Gus Dur menganulir Inpres No. 14/1967 dengan menerbitkan Inpres No. 6/2000, sejak saat itulah orang Tionghoa kembali bebas menjalankan kepercayaan sekaligus ragam budayanya yang sangat indah. Inpres yang keluar pada tanggal 17 Januari tersebut membawa suka cita yang amat sangat bagi orang Tionghoa, di tahun itu Imlek dirayakan secara megah di Museum Fatahillah Jakarta.
Hilang sudah penderitaan mereka selama bertahun lamanya, bahkan setahun kemudian, dengan Keppres No. 19/2001 Gus Dur meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif. Dan untuk berterimakasih atas semua ide dan gerakan Inklusifnya dalam keberagamaan, 10 Maret 2004, bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie, masyarakat Tionghoa di Semarang menyematkan julukan “Bapak Tionghoa” kepada Gus Dur.
Saat ini, beliau memang sudah tiada, namun semangatnya pada pluralitas dan kemanusiaan masih bersama kita, bersama Indonesia selamanya, tak ada lagi makna peyoratif, “Wong China” seperti dahulu kala saat Orba.
Kini mereka orang Tionghoa, sama seperti orang Jawa, Orang Sulawesi dan lain sebagainya, kita adalah orang Indonesia, begitu Gus Dur sangat bersemngat menjelaskannya. Saat ini kita bisa menikmati ragam indah budaya saudara kita orang Tionghoa, ornamen Mall sudah ramai menyambut Imlek, lampion, liongsamsi juga ramai menari meliuk indah dalam perayaan Imlek di berbagai kota di Indonesia.
Gus Dur tak hanya mengembalikan hak dasar orang Tionghoa dalam meyakini kepercayaannya, namun ia juga telah “Merekatkan” hubungan Masyarakat Muslim dengan orang-orang Tionghoa, disadari atau tidak, akibat dikotomi dan stigmasiasi terhadap orang-orang Tionghoa pada masa Orde baru.
Mau tidak mau juga berimbas pada sentimen agama, banyak masyarakat Muslim yang menjaga jarak, bukan hanya soal ras, melainkan soal kepercayaan yang dipeluknya berbeda.
Para orang tua di kampung saya dahulu sering mewanti-wanti anakanya untuk tidak bermain bersama anak orang tionghoa pemilik toko kelontong, “Jangan main sama dia, apalagi kerumahnya, nanti kamu dikasi makan Babi”.
Namun Gus Dur menghapus semua itu, Muslim dan Masyarakat Tionghoa keturunan kita telah bergadeng erat dalam indah keberagamaan, jika saat ini masih ada sentimen keagamaan pada orang tionghoa oleh kelompok Muslim.
Percayalah, mereka memang kelompok yang ingin merusak damai dan toleran bangsa ini.
Beberapa tahun lalu lalu, di Kunming, Ibu Kota Provinsi Yunnan, China, digelar Olimpiade Internasional bahasa Mandarin, pesertanya hampir dari seluruh dunia, rata-rata pesertanya adalah para Huaqiao (Warga keturunan Tionghoa), namun Indonesia mengirimkan wakilnya dan satu-satunya nya yang bukan warga katurunan adalah Salman Alfarisi, seorang Santri dari PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
IA bersama siswi SMA Xinzhong Surabaya bernama Charis Theodore. Tahun sebelumnya, ajang kompetisi Chinese Bridge antar SMA di Jakarta pada 19–20 April, juara satunya adalah Amirul Islam, salah satu santri LPI Maktab Nubdzatul Bayan (Maktuba) Al-Majidiyah Palduding, Plakpak, Pagantenan, Pamekasan.
Hal ini membuktikan, bahwa kini, sitgmatisasi dan dikotomi yang pada saat Orba lalu, di mana sekolah-sekolah dengan pengantar bahasa mandari ditutup, radio yang menyiarkan lagu berbahasa mandarin ditutup, dan bahkan dikotomi sentimen agama dilakukan dengan sangat sistematis, hingga muncul kebencian pada orang-orang Tionghoa, sudah hilang.
Bahasa Mandarin sudah diajarkan dibanyak sekolah, bahkan dalam Pesantren itu sendiri, Salman Alfarisi dan Amirul Islam adalah contoh kecil bagaimana Muslim dan orang-orang Tionghoa sudah tidak membicarakan sekat ras dan perbadaan agama.
Bahasa Mandarin sudah menjadi bahasa dunia, pentingnya belajar basa Mandarin adalah untuk masa depan anak-anak kita menhadapi persaingan dunia, adalah sebuah kesadaran diatas memudarnya dikotomi dan stigmatisasi warga Tionghoa pada saat zaman Orba.
Kita tidak bisa membayangkan jika Gusdur tidak mencabut Inpres itu, sekolah-sekolah masih dilarang belajar bahasa Mandarin ditengah pesatnya gerak arus Globalisasi, sangat mengerikan.
Akhiron, Terimakasih Gus, dan selamat mempersiapakan Imlek dan Cap Go Meh untuk saudara-saudaraku yang merayakan, fú lù shòu, semoga kebahagian, kesejahteraan dan kemakmuran bagi kita semua.