Polemik tentang haram atau tidaknya mengucapkan Selamat natal kepada umat Nasrani hingga hari ini masih menjadi polemik. Dua kubu yang berseberangan terus mengutarakan argumentasinya untuk membangun opini publik tentang boleh atau tidaknya mengucapkan Selamat natal.
Polemik pengucapan Selamat Natal sejatinya baru muncul ketika ada ucapan dari Buya Hamka, yang pada masa itu menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), dianggap telah melarang untuk mengucapkan Selamat natal kepada umat Nasrani. Argumentasi ini kemudian dijadikan rujukan bagi kelompok yang menolak atau mengharamkan mengucapkan Selamat natal.
Namun, dari internal MUI sendiri, sebagaimana yang diucapkan oleh Kiai Ma’ruf Amin dalam beberapa kesempatan, telah mengatakan bahwa MUI sedari awal tidak pernah melarang umat Islam untuk mengucapkan Selamat Natal “merry christmas” kepada umat Nasrani. Kiai Ma’ruf lebih menekankan urusan pengucapan Selamat natal kepada masing-masing individu.
Pernyataan tentang haramnya mengucapkan Selamat Natal dari MUI di masa Buya Hamka tidaklah benar. Buya Hamka tidak melarang umat Islam untuk mengucapkan Selamat Natal kepada umat Nasrani. Buya hanya melarang untuk mengikuti seluruh proses misa ketika Natal karena hal ini sudah masuk dalam ranah teologi. Pernyataan ini disampaikan juga oleh anak cucunya, Irfan Hamka.
Pernyataan yang sama juga diberikan oleh Mujiburrahman, Rektor UIN Antasari Banjarmasin, mengutarakan sejarah polemik pernyataan tersebut. Dalam pernyataannya, sebagaimana dikutip dalam facebooknya Prof. Azyumardi Azra, bahwa pada tahun 70-an Buya Hamka tidak menjawab persoalan mengucapkan Selamat Natal secara langsung di radio karena keterbatasan waktu. Buya Hamka kemudian menjelaskan dalam Panji Masyarakat, sebuah majalah yang diasuh oleh Prof. Azyumardi sendiri yang dikutip oleh Mujiburrahman, yang mengatakan bahwa:
Dalam jawabannya, Hamka menjelaskan bahwa dibolehkan bagi muslim untuk mengucapkan “Selamat Natal” kepada tetangga-tetangga Kristen sebagai bentuk ekspresi toleransi, namun umat Islam tidak boleh ikut berpartisipasi dalam perayaannya. Beliau (Buya Hamka) membandingkan mengucapkan Natal dengan mengucapkan Idul Fitri kepada rekan-rekan muslimnya, tapi tidak pernah berpartisipasi dalam shalat Idul Fitri di masjid atau lapangan.
Pernyataan Buya Hamka di atas sudah jelas bahwa yang tidak diperbolehkan adalah perihal mengikuti ibadah misa pada saat Natal. Secara tegas, Buya Hamka telah memberikan batasan tentang keterlibatan umat muslim pada saat Natal. Buya melarang umat Islam untuk mengikuti misa karena hal itu sudah pada ranah teologi. Namun, bukan berarti larangan seperti itu digeneralisir kepada ucapan Selamat Natal.
Pernyataan Buya tersebut pada awalnya untuk memperingatkan Menteri Agama yang saat itu dianggap ‘terlalu jauh’ ketika mengikuti proses Natal. Buya memperingatkan untuk tidak mengikuti “Natal bersama” umat Kristen. Maksud dari Natal bersama adalah mengikuti seluruh prosesi Natal, mulai dari misa, menyalakan lilin, dan prosesi lainnya. Pernyataan ini juga disampaikan oleh cucunya, Irfan Hamka, karena masih banyak yang mencamtumkan nama kakeknya ketika ada larangan mengucapkan Selamat Natal.
Irfan Hamka tidak menginginkan nama kakeknya digunakan sebagai legitimasi untuk melarang orang mengucapkan Selamat Natal. Dari perspektif perilaku pun hal itu tidak sesuai dengan kepribadian Buya Hamka beserta keluarganya. Istri Buya sendiri setiap Natal masak rending untuk tetangga-tetangganya, dan tradisi ini masih dijalankan hingga Ibu Irfan, anak ketujuh Buya Hamka.
Jadi, pernyataan cucu Buya Hamka di atas meluruskan tentang pernyataan kakeknya yang dimaksud melarang adalah mengikuti seluruh rangkaian prosesi misa Natal, bukan dalam arti mengucapkannya. MUI sendiri hingga hari ini tidak pernah melarang untuk mengucapkan Selamat Natal kepada umat Nasrani..
Sebagai penutup, pernyataan Din Syamsudin dan Kiai Ma’ruf Amin, selaku mantan ketua MUI, memberikan pernyataan tegas tentang tidak ada fatwa MUI yang melarang mengucapkan Selamat Natal. Bagi umat Islam, silahkan saja mengucapkan Selamat Natal kepada teman-teman dan tetangga yang beragama Kristen karena itu merupakan salah satu bentuk toleransi. Wallahhu a’lam.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.