Kisah dan Pengaruh Buya Hamka, Jadi Imam Salat Jenazah Bung Karno Meski Beda Pandangan Politik

Kisah dan Pengaruh Buya Hamka, Jadi Imam Salat Jenazah Bung Karno Meski Beda Pandangan Politik

Sosok Buya Hamka yang kini kisanya dijadikan biopik dengan Vino G Bastian sebagai artisnya. Berikut ini merupakan kisah hidupnya dan berkaitan dengan Bung Karno dan politik

Kisah dan Pengaruh Buya Hamka, Jadi Imam Salat Jenazah Bung Karno Meski Beda Pandangan Politik
Karim Oei bersama Buya Hamka dan Bung karno

Nama lengkapnya Abdul Karim Amrullah Datuk Indomo atau lebih dikenal dengan nama Buya hamka. Sosok multidimensi yang abadi dengan karya, keulamaan dan jejak pengaruhnya dalam sejarah Islam di Indonesia di era kontemporer. Sosoknya pun kini difilmkan dengan tajuk Buya Hamka (Fajar Bustomo, Falcon Pictures 2023) dan artis Vino G Bastian didapuk jadi sosok Buya Hamka.

Sejarah mencatat, Buya Hamka adalah orang yang menjadi imam salat jenazah ketika Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970. Meskipun, keduanya

Padahal, Bung Karno dan Buya Hamka sempat berselisih paham begitu keras hingga mengakibatkan Buya Hamka dipenjara Pada 1962. Ini lantaran kiprah politiknya di Masyumi dan dituduh ikut pemberontakan PRRI.

Rusydi Hamka, putra Buya Hamka, mengisahkan dalam memoar Pribadi dan Martabat Buya Hamka (2020) bagaimana ayahnya dihormati oleh Bung Karno.

Bahkan, dikisahkan ia tidak menaruh dendam sama sekali meskipun ayahnya dijebloskan ke penjara oleh Bung Karno karena beda politik. Termasuk ketika efek itu membuat hidupnya jadi susah, mata pencahariannya hilang dan dilucuti segala hak sosial-politiknya, Buya memaafkannnya.

“Wasiat Bung Karno diminta mengimami salat jenazah Bung Karno bila kelak meninggal. Dan, permintaan itu pun dipenuhi ayah tanpa banyak bertanya. Bahkan, ketika mendengar Bung Karno wafat, segera berangkat ke Wisma Yaso untuk bertakziah,” tulisnya.

Sepanjang hidupnya, sosok Buya Hamka menjadi abadi dalam sejarah dan benak bangsa Indonesia sebagai ulama, sastrawan, jurnalis, mubaligh, ahli tafsir dan pengayom umat.

 Jejak Pendidikan dan Perjuangan

Profil Buya Hamka sendiri lekat dengan dunia ulama.

Ia lahir di Tanah Sirah, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908. Hamka merupakan nama pena, singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.

Hamka berasal dari keluarga ulama. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah atau biasa dipanggil Haji Rasul, pembaru Islam di Minangkabau. Sedari kecil, ia sudah dididik agama.

Pada 1915, Hamka masuk ke Sekolah Desa, di mana ia belajar pengetahuan umum. Sementara pada sore harinya, ia ikut pendidikan agama di Diniyah School, yang dirintis oleh Zainuddin Labay El Yunusy.

Pada 1918, Hamka berhenti dari Sekolah Desa dan masuk ke Thawalib atau organisasi Islam paling awal di Indonesia dan berpengaruh di Sumatera. Dikisahkan, Hamka gemar ke perpustakaan yang dikelola gurunya, Afiq Amon, dari situ pula ketertarikan Hamka untuk berjejalah bermula.

Lantas, ia pun melangkahkan kaki ke Pulau Jawa Pada 1924. Di sinilah, kisahnya dan petualangannya sebagai ulama dan jurnalis bermula.

Di Jawa, ia tinggal di Yogyakarta bersama pamannya, Amrullah Ja’far, yang mengenalkannya pada gerakan Islam seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam.

Hamka juga berguru pada banyak tokoh dan ulama berpengaruh seperti Bagoes Hadikoesoemo, Tjokroaminoto, Abdul Rozak Fachruddin, dan Suryopranoto, serta di Bandung dan bertemu dengan tokoh-tokoh Masyumi, seperti Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir.

Pada 1927, untuk memperluas pengetahuan agamanya dan mendalami bahasa Arab, sekaligus beribadah haji. Ia juga bertemu dengan Agus Salim, seorang ulama dan tokoh Indonesia yang memintanya untuk kembali ke tanah air.

Ketika masa revolusi berkecamuk, Buya Hamka, juga ikut menjadi ‘api’ dalam pergerakan dengan khutbah-khutbahnya. Ia digambarkan sebagai seorang jurnalis yang ikut bergerilya, sebagai penghubung ulama-pejuang.

Saat usai kemerdekaan, ia ditugaskan oleh KH Wahid Hasyim, Menteri Agama pertama dari NU, untuk mengajar di pelbagai kampus. Namun itu saja tidak cukup, gairahnya untuk terus bersama umat membuatnya juga ikut terjun ke politik dengan gabung Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Pada 1955 Buya Hamka terpilih sebagai anggota Dewan Konsituante dan keras mengkritik Soekarno lewat adu gagasan, khusnya terkait pandangan terkait Islam dan nasionalisme yang menjadi bahan perdebatan para pemimpin zaman itu.

Ketika Orde Lama tumbung dan Soeharto naik, ia tetap aktif mengurusi umat dan menulis di pelbagai media. Hamka juga keliling untuk menjalin hubungan internasional dengan dunia-dunia Islam dan dikenal luas sebagai ulama modernis asal Indonesia yang berpengaruh.

Pada 26 Juli 1975, ia terpilih jadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama dan menjadi penasihat PP Muhammadiyah hingga ia berpuang.

Baca juga: Novel Buya Hamka dan Kepiawaian Sang Penulis Memotret Kultur Masyarakat Sumatera Barat

Abadi dengan Ilmu dan Karya

 

Hamka sudah menulis di pelbagai surat kabar dan jadi koresponden di banyak media saat itu. Ia juga memimpin majalah Pedoman Masyarakat yang begitu berpenngaruh. Ia juga menulis banyak tentang Islam dan kehidupan sehari-sehari.

Pada 1928, Hamka diangkat sebagai redaktur majalah Kemajuan Zaman yang didasarkan pada hasil mufakat Muhammadiyah di Padang Panjang.

Ia juga menulis banyak cerita dan novel. Sebagai sastrawan ia begitu produktif dan disegani. Karya-karyanya menembus lintas pembaca dan tidak hanya muslim, bahkan abadi hingga kini. Ia bahkan menulis sebuah tafsir Al-Qur’an ketika di penjara dan dikenal dengan Tafsir Al-Azha.

Dua novelnya yang terkenal, Di Bawah Lindungan Ka’bah, yang terinspirasi dari perjalanannya ke Makkah pada 1927, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk yang melambungkan namanya. Bahkan, jauh setelah wafat, dua karya itu juga difilmkan dan dinikmati khalayak masa kini, khususnya anak-anak muda.

Tak kurang, Buya Hamka telah melahirkan 84 judul buku dalam hidupnya, antara lain:

  • Di Bawah Lindungan Ka’bah
  • Tenggelamnya Kapal van der Wijck
  • Merantau ke Deli
  • Kedudukan Perempuan dalam Islam dll

Belum lagi pengaruhnya dalam pendidikan Islam dan modernisasi masih terus dikaji dan diperbincangkan hingga kini. Namanya juga terpatri sebagai universitas, sekolah, hinggga masjid seperti Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran yang dianggap sebagai ‘rumah’ bagi pemikiran Buya Hamka.

Sosok Itu Berpulang

Di jelang masa hidupnya, Buya Hamka terpengaruh ajaran tasawuf. Buku Tasawuf Modern yang ia gagas menunjukkan sisi akan bagaimana ia memandang realitas hidup dan keagamaan, sebuah konsep yang abadi hingga kini dan mempengaruhi banyak muslim di Indoensia.

Setelah banyak bersumbangsih untuk Indonesia, baik dalam bidang politik, sastra, dan keagamaan, Buya Hamka wafat pada 24 Juli 1981 pada usia 73 tahun. Beliau dikebumikan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta.

Untuk mengenang jasanya bagi Indonesia, Buya Hamka ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 7 November 2011. Sosok yang ulama yang pengaruhnya abadi hingga kini.

*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Kompas.tv dengan judul Jejak dan Pengaruh Buya Hamka: Ulama dan Ahli Tafsir yang Sastrawan