Barangkali akan terlalu mengkerdilkan Indonesia jika representasi negara dengan gugusan pulau terbanyak di dunia ini hanya dilihat dari warung kopi. Tetapi harus diakui bahwa pesebaran warung kopi di Indonesia memang sangat melimpah.
Bahkan kalau ada perumpamaan tentang sebuah ruang (publik) penyedia fasilitas toilet gratis yang mudah diakses setelah masjid dan pom bensin, maka itu adalah warung kopi. Di Yogyakarta, misalnya, Anda bisa sangat mudah mencari warung kopi, semudah menemukan klitih kampus tempat orang menimba ilmu pengetahuan.
Ada warung kopi yang peruntukkannya adalah kelas pekerja atau kelas pelajar. Karena itulah ia bernama warung kopi. Kalau untuk pengabdi leissure class, namanya adalah Coffee Shop. Tetapi secara substansi pada dasarnya keduanya adalah sama saja. Di dalamnya terhampar manusia dari beragam kelas, beragam aktivitas. Ada yang sebatas nongkrong, ada juga yang mengerjakan tugas. Ada yang berdiskusi, ada pula yang mencari nafkah, baik sebagai pekerja freelance, pengamen, atau gugusan karyawan warung kopi itu sendiri.
Utamanya di Indonesia, ada variabel yang patut dipertimbangkan jika kita berbicara eksistensi warung kopi di sebuah bangsa yang agama menjadi perdebatan penting dalam merumuskan dasar negara. “Ngopi” ternyata memiliki kaitan dengan tradisi para mistikus yang dipercaya memiliki kedekatan khusus dengan Tuhan. Masyarakat Muslim menyebutnya sebagai sufi.
Kopi dan sufi merupakan dua elemen penting dalam sejarah peradaban Islam. Saking krusialnya perkara kopi, seorang sufi seperti Syekh Ihsan Jampes menulis kitab berjudul Irsyadul Ikhwan fi Syurbil Qohwah wa Addukhon. Di dalamnya terbentang berbagai manfaat kopi bagi tubuh manusia.
Selain itu, beberapa literatur menyebut bilamana awal mula munculnya teknologi pembuatan kopi terkait erat dengan kreativitas para sufi. Bagi para sufi, kopi diyakini sebagai penambah stamina agar kinerja manusia semakin prima. Kopi juga dipercaya sebagai obat untuk berbagai penyakit, selain berfungsi sebagai alat bantu untuk bersembahyang, seperti berdzikir sepanjang malam yang lazim dipraktikan oleh pengikut sufisme.
Pada perkembangannya, kopi sebagai komoditi ternyata turut dikonsumsi oleh banyak orang. Apalagi sejak kopi terakomodasi dalam budaya populer, representasi ngopi seringkali tampil sebagai aktivitas bernada produktif, baik yang termediasi dalam semesta film layar lebar, lagu, FTV, iklan pariwara, wa akhwatuha.
Sebuah riset terbaru yang digarap oleh tim dari Universitas Paramadina menunjukkan jika aktivitas mengkonsumsi kopi telah menjadi gaya hidup bagi masyarakat di Indonesia. Tidak saja disponsori oleh masifnya pertumbuhan gerai kopi di berbagai kota (baik merek lokal maupun internasional), tetapi gaya hidup ngopi ini juga ditopang oleh watak masyarakat kita yang mewarisi semangat komunal.
Selain itu, persaingan antar warung kopi menyebabkan pergeseran strategi para pemilik modal, dari yang semula hanya menawarkan produk kini mereka juga menonjolkan aspek pelayanan untuk menarik lebih banyak pelanggan.
Maka, kata “ngopi” hari ini bisa memiliki makna konotasi yang bukan saja merujuk pada aktivitas penghilang dahaga atau penyuplai pahala, tapi bisa juga menjadi sebuah aktivitas profan setamsil bertemu kerabat, mengkonsumsi hiburan, mengakses wifi, serta menjadi wadah untuk mengikuti tren.
Yang menarik, di tengah menjamurnya warung kopi milik perusahaan asing nyatanya masyarakat Indonesia lebih doyan nongkrong di warung kopi milik pemodal lokal.
Apakah ini ada kaitannya dengan nasionalisme?
Bisa jadi.
“Hasil studi kami menunjukkan banyak faktor yang menyebabkan masyarakat Indonesia lebih puas dan loyal terhadap gerai kopi lokal. Dari berbagai variabel yang kami analisis, faktor-faktor yang memegang pengaruh mencakup kualitas pelayanan, status sosial, dan esteem (harga diri) – yang di dalamnya mengandung elemen-elemen seperti pelarian, estetika, serta hiburan,” jelas riset yang melibatkan 420 responden dari berbagai daerah di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara ini.
Tetapi itu saja ternyata tidak cukup. Sekali lagi, agama tetap menjadi panglima utama dalam menentukan keputusan sebagian orang memilih warung kopi. Medio 2018, misalnya, Ustadz Abdus Shomad (UAS) memberi fatwa bahwa para pembeli kopi di Starbucks terancam akan masuk neraka karena dianggap mendukung LGBT.
Selain UAS, Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym juga turut memberi respon yang tak kalah galak terkait dugaan Starbucks mendukung LGBT. Aa Gym menyebut jika konsumen Starbucks turut menanggung dosa lazimnya pelaku LGBT.
Sejurus kemudian, pekik boikot terhadap coffee shop yang harga termurah secangkir kopinya adalah setara dengan satu porsi nasi padang itu mewarnai percakapan publik.
Sebagian umat mungkin saja terpengaruh oleh bahasa geram itu. Tetapi yang menarik, pihak Starbucks justru mengklaim bahwa pernyataan sikap sebagian pendakwah yang tumbuh dan besar di ruang media itu tidak memberi dampak signifikan. Umumnya pengunjung yang datang ke gerai Starbucks ternyata tidak menanggapi secara serius aksi pemboikotan tersebut.
Maka, setrategi subversi untuk memenangkan kontestasi ruang bernama warung kopi menjadi tidak relevan. Apalagi dalam konsteks wacana keagamaan, warung kopi justru menghamparkan kemungkinan untuk diisi sekaligus diperebutkan melalui medium bahasa.
Sama seperti konsep ruang bernama “kota”, ada “Sleman Sembada”, “Bantul Projotamansari”, “Klaten Bersinar”, “Wonosobo Asri”, masing-masing kota memiliki tagline dan landasan filosofisnya sendiri. Juga, saya kira tidak ada nama kota di Indonesia yang diikuti dengan bahasa subversif. Meski terdapat “Balikpapan Kota Beriman”, bukan berarti ada daerah tertentu yang diikuti julukan “Kota Ateis”, kendati secara akronim bisa mengandung kepanjangan Aman, Tenteram, Islami.
Begitupun dengan warung kopi. Semakin umat Muslim Indonesia resisten terhadap kenyataan zaman yang serba terbuka, semakin mereka justru akan terlihat kerdil dengan sendirinya.
Di titik ini, apa yang dilakukan oleh pendakwah kaum pemuda tersesat, Habib Husein Ja’far Al-Hadar, sebetulnya bisa menjadi angin segar bagi masa depan warung kopi yang lebih ramah terhadap realitas keberagaman dan era keterbukaan.
Tahun 2021 di sebuah warung kopi bernama Kafe Basabasi, umpamanya, Habib Husein menegaskan bilamana warung kopi bukan semata tempat hura-hura. Sebaliknya, di dalam warung kopi juga terdapat umat Nabi Muhammad SAW yang perlu untuk disapa, dan bila memungkinkan diajak untuk menjemput pahala.
“Ya kalau belum bisa mengajak orang nongkrong berangkat ke masjid, setidaknya kita ‘masjidkan’ tempat mereka nongkrong,” kata Habib Husein.
Baca Juga, Moderasi Beragama ala Pengusaha yang Punya 8 Penjuru Kafe di Jogja
Di Yogyakarta sendiri mulai banyak warung kopi yang berkesadaran laiknya masjid. Ada warung kopi yang memajang quote para ilmuan Islam, seolah ingin menggugah umat Muslim agar kembali mengawal peradaban lewat ilmu pengetahuan. Juga, ada Coffee Shop yang mendekorasi dindingnya dengan sabda-sabda Nabi Muhammad yang telah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Inggris.
Selain itu, ada pula warung kopi yang tiap bulan Maulid memberi pelanggannya promo besar-besaran. Ada pula warung kopi yang bisa bertransaksi cukup dengan membaca sholawat kepada Nabi Muhammad. Dan lain sebagainya. Dan lain sebagainya.