Memasjidkan Kafe ala Husein Jafar al-Hadar

Memasjidkan Kafe ala Husein Jafar al-Hadar

Lahir dari marga Al-Hadar, Husein Jafar tidak berhenti pada sebutan “Yik” atau “Habib”. Dia melampaui semuanya, memasjidkan kafe tempat nongkrong anak muda.

Memasjidkan Kafe ala Husein Jafar al-Hadar

Lazimnya kita tahu bahwa nama para keturunan Nabi Muhammad biasanya diikuti dengan sebutan Habib, atau Sayyid. Sosok yang dicintai, atau tuan yang dimuliakan. Tidak lain ini adalah bentuk kecintaan para Muslim terhadap sosok Nabi Muhammad SAW.

Dari sudut pandang sufistik, Muslim meyakini bahwa cahaya Muhammad adalah sumber segala penciptaan. Dan cahaya itu menurun pula melalui darah daging Siti (Sayyidati) Fatimah, Sayyid Hasan dan Husein beserta keturunannya sampai saat ini. Selama Muslim di dunia percaya nur Muhammad itu menurun dan mendarah daging, selama itu pula panggilan Habib dan Sayyid akan terus menempel menyanding nama para keturunannya.

Akan tetapi, lain halnya pengalaman pemuda asal Bondowoso, Husein Jafar. Marga Al-Hadar yang melekat pada namanya tidak berhenti hanya pada sebutan “Yik” semasa kecil, yang kemudian menjadi Habib kala dewasa. Husein melampaui semuanya.

Muhammadun Sayyidul kawnaini wa-tsaqalaini. Qasidah Burdah mengatakan demikian. Nabi Muhammad adalah Nabi dua semesta, nabi dua alam. Jika pemaknaan konvensional merujuk “kawnaini wa-tsaqalain” kepada alam jin dan manusia, atau dunia dan akherat, pengalaman Husein Jafar membuat kita mengerti bahwa umat Kanjeng Nabi juga tersebar di dua alam: jagat nyata dan digital.

Di jagat nyata saja umat Kanjeng Nabi banyak yang mbeling. Di jagat digital, lebih banyak lagi. Para umat digital ini, yang kebanyakan mungkin tidak pernah mengenyam bangku madrasah atau pesantren (atau sebenarnya santri tapi bersembunyi), tidak punya beban moral tersendiri di hadapan gelar habib. Di jagat maya, akun twitter @Husein_Jafar yang bercentang biru sama saja dengan akun manusia lainnya. Sehingga tidak hanya “Habib” atau “Sayyid”, sematan panggilan kepada Husein Jafar selaku keturunan nabi menjadi sangat ekspresif selayaknya teman sebaya.

Melampaui sebutan Habib, nama Husein Jafar sering disandingkan dengan sebutan the protector of Pemuda Tersesat, the light of the darkness, the guardian, the Skin Armor level 3, adalah beberapa di antara sematan panggilan kepada Husein Jafar, melampaui gelar Habib. Saya tidak begitu familiar dengan game online, namun saya yakin panggilan ini datang dari para umat Kanjeng Nabi sektor gamers, yang akrab dengan Mobile Legends atau Players Unknown Battle Ground (PUBG), atau Free Fire dan semacamnya. Terlebih lagi, Husein Jafar juga memiliki sesi Habib Gaming sendiri dengan “santri” klangenannya, Tretan Muslim.

Generasi K-Pop wave tidak mau ketinggalan. Mereka memanggilnya dengan “Hyung Habib”, panggilan khas Korea untuk kakak laki-laki.

Protector, skin armor, guardian, atau istilah semacamnya merupakan permainan tanda simbolik terhadap kekuatan perlindungan dan bertahan dari serangan yang dimiliki oleh suatu karakter game. Ibarat dunia ini adalah medan tempur game untuk meraih akherat, maka Kanjeng Nabi dan anak turunnya lah yang memiliki alat tempur level infinity bernama syafaat di hari akhir nanti.

(Anda sekalian yang barangkali pernah kebobolan pulsa ratusan ribu karena anak main game, ya ini lah yang mereka cari. Semakin tinggi kemampuan perlindungan skin armor, biasanya makin mahal – dan tak jarang pulsa orang tua jadi ongkosnya.)

Belum pernah saya menemui seorang Habib diberi panggilan unik semacam ini. Seperti gelar Kiai, panggilan ini tidak begitu jelas siapa yang mencetuskan, tumbuh dan menjalar secara organik, tahu-tahu sudah menjadi kelaziman bahwa ada sekelompok besar manusia telah bersepakat mengakui keilmuan dan kebijaksanaan seseorang.

Saya membayangkan, generasi gamers online inilah yang Kanjeng Nabi titipkan untuk diurus oleh Husein Jafar. Mereka generasi yang bebas dari pagar primordialisme teologis ala santri (bahwa Habib harus dimuliakan dan dijunjung tinggi). Yang mereka harapkan dari seorang Habib bukanlah orang tua berjenggot berjubah bergamis yang berteriak-teriak memimpin jamaah atau laskar. Yang mereka harapkan adalah Habib yang mengenakan kemeja, bersepatu sneakers, dan duduk sama rendah sebagai seorang teman.

Maka tidak jarang muncul pertanyaan-pertanyaan aneh (dan cenderung konyol) di kolom komentar Pemuda Tersesat: “Apakah pintu surga ditarik atau didorong?” “Kalau tidak ada air, apakah boleh kita mengganti mandi besar dengan mandi bola?” dan pertanyaan imajinatif “tersesat” lainnya, semisal: “Bib, bolehkah punya istri karakter anime?”

Kenapa Husein Jafar betah untuk mengurus umat seperti itu? Kenapa dia mau repot-repot menjadi protector komika dengan jokes “tepi jurang” berisiko ala Coki Pardede-Tretan Muslim?

Pada bulan Maulid Nabi yang mulia ini, saya berkesempatan membersamai Husein Jafar dalam sebuah acara di Kafe Basabasi, jaringan kafe milik Edi AH Iyubenu yang juga pemilik penerbit Diva Press. Husein menceritakan, betapa Nabi Muhammad memiliki kebesaran hati yang amat luas. Seorang manusia indah seperti Muhammad, yang diberi kemuliaan dimi’rajkan untuk berjumpa dengan Allah SWT Sang Maha Indah, sudi turun kembali ke bumi untuk menuntun umat macam kita – yang tidak ada indah-indahnya. Apa namanya kalau bukan saking welas-asihnya Kanjeng Nabi kepada umat manusia?

“Kalau saya jadi Kanjeng Nabi, saya tidak sudi turun lagi ke bumi. Ngapain? Sudah bertemu Yang Maha Indah, masak mau turun lagi ketemu umat yang kaya begini.” Kata Husein Jafar. Baginya, menjadi protector of pemuda tersesat adalah manifestasi rahman dan rahim Kanjeng Nabi untuk menebar rahmat bagi seluruh alam.

Saya kira ini lah jalan Husein Jafar. Baginya, menebar kemaslahatan tidak harus dengan berjubah atau melulu berdakwah di majelis Maulid yang megah dan indah. Tidak terbuai dengan privilege punya DNA seorang Habib yang dimuliakan banyak orang. Melampaui gelar Habib, dia sadar tidak kalah penting bagi seorang keturunan nabi untuk menebar kemanfaatan kepada mereka yang kadang terlupakan oleh para dai dan penceramah.

Baginya, kafe bukanlah semata-mata tempat hura-hura. Anak nongkrong kafe adalah umat Kanjeng Nabi Muhammad juga yang perlu untuk disapa, dan diajak meraih pahala.

“Saya yakin kalian yang ada di sini datang tidak dengan niatan ibadah. Mungkin niat kalian cuma nongkrong di kafe, haha hihi dengan teman-teman. Tapi di tengah nongkrong kalian, ternyata kalian betah, ikhlas untuk ngobrolin Kanjeng Nabi. Ini kalian sebenarnya pelan-pelan sedang mencuri pahala. Pelan-pelan kita sedang memasjidkan Kafe!”

*) Artikel ini adalah hasil kerja sama islami.co dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.