Bagaimana masa depan gagasan negara Islam? Hal itulah yang melatar belakangi diskusi pada hari Selasa (12/20) yang diselenggarakan INFID bersama Yayasan LKiS sebagai upaya membuka ruang bertukar pikiran, pengalaman dan pengetahuan mengenai ancaman ekstremisme berbasis agama yang termuat di dalam buku The Illusion of an Islamic State. Buku ini berisi bab-bab terpilih dari buku “Ilusi Negara Islam” yang diterbitkan di tahun 2009 dan diedit oleh KH Abdurrahman Wahid. Penerbitan buku ini menjadi penting untuk menyebarkan gagasan pemikir agama moderat di Indonesia kepada khalayak yang lebih luas.
Meskipun, harus diakui, Indonesia memiliki catatan panjang mengenai intoleransi, diskriminasi dan kekerasan berbasis agama, ada banyak pihak yang mengapresiasi kemampuan Indonesia, sebagai negara muslim terbesar di dunia, untuk tetap merawat demokrasi, melalui praktik agama yang moderat.
Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebagai kelompok pro-khilafah, yang dilakukan oleh pemerintah, berdampak besar pada menyempitnya berbagai akses organisasi tersebut. Kendati dibubarkan, menurut Peneliti CRCS UGM, Iqbal Ahnaf , ideologi dan gerakannya masih dapat dengan mudah kita temukan di ruang-ruang publik. Strategi yang digunakan lebih subtil, tanpa menggunakan istilah eksplisit seperti “khilafah” atau “negara Islam”. Saat ini penyebaran gagasan dan provokasi di media sosial jauh lebih marak.
“Mereka tidak membawa bendera organisasi. Mereka juga menggunakan istilah lebih ramah seperti gerakan untuk mengaji, mencintai al-quran, gerakan tolong-menolong, kemanusiaan dan kekeluargaan,” tambahnya.
Narasi diskriminasi, viktimisasi yang berujung pada solusi pendirian khilafah merupakan oase bagi kebutuhan mental seseorang. Melalui narasi itu, rekrutmen dilakukan, ruang eksklusif dibentuk dan ideologisasi bisa berjalan.
Nurshadrina Khaira Dhania atau kerap disapa Dhania, yang sempat singgah di Syria untuk bergabung bersama ISIS pada pada tahun 2015 – 2017 menyampaikan bahwa narasi-narasi tersebut telah meyakinkan ia dan keluarganya untuk berangkat. Ia mengandaikan, jika ada narasi alternatif yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya, serta dapat diakses dengan mudah oleh anak muda, mungkin akan melonggarkan narasi tunggal yang ia pahami dari media sosial dan buku-buku pada saat itu.
Debbie juga menambahkan bahwa kelompok agama moderat harus bisa mengambil peran untuk menjadi tempat berdiskusi, bertanya, belajar agama bagi anak muda dan masyarakat, “Kelompok moderat harus bisa lebih terbuka aksesnya sehingga bisa disentuh oleh anak-anak muda yang merupakan religious-seekers.”
Iqbal menambahkan bahwa saat ini yang menjadi tugas pemerintah dan masyarakat adalah membuka ruang narasi alternatif sebesar-besarnya, tidak hanya dari pendekatan agama, tetapi juga non-agama, seperti seni. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mengaktivasi sekolah untuk bisa membuka ruang perjumpaan. Tidak membatasi ruang berekspresi warga, termasuk perempuan, juga penting, untuk memunculkan narasi-narasi pluralisme dan kegamaan yang inklusif.
Menurut Debbie Affiyanti dari Universitas Muhammadiyah Jakarta justru akses pendidikan menjadi krusial.“Akses pendidikan yang berkualitas harus diberikan kepada perempuan. Ruang untuk berdebat dan berpikir kritis juga harus diperbanyak. Anak-anak muda harus diberikan kesempatan untuk mengasah diri dan empowering anak muda lainnya.”
Dhania berharap akan ada lebih banyak ruang diskusi dan pengetahuan mengenai literasi digital, terutama di masa pandemi ini. Momen ini juga menjadi sasaran empuk bagi kelompok tersebut untuk mengeksploitasi krisis sebagai sebuah kegagalan sistem.
“Padahal, krisis tersebut bukan disebabkan oleh agama, tetapi hal lain,” tambah Iqbal.
Saat ini upaya-upaya baik sudah banyak bermunculan. Pemerintah harus memperkuat gerakan warga. Dengan demikian insiatif-inisiatif ini bisa berpadu menjadi sebuah gerakan kewargaan untuk menekan gagasan-gagasan ekstremisme-kekerasan dan memperkuat moderasi beragama.
Acara ini sendiri menghadirkan Nurshadrina Khaira Dhania, seorang anak muda korban propaganda ISIS yang berhasil kembali ke Indonesia. Selain Dhania, turut hadir dua orang akademisi dari CRCS UGM, Iqbal Ahnaf dan dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Debbie Affiyanti yang memaparkan mengenai asal-usul, gagasan dan strategi dari kelompok ekstremis dalam mendirikan Negara Islam, serta persoalan keterlibatan perempuan yang semakin aktif. Sebagai moderator, hadir juga Sakdiyah Makruf, stand-up comedian sekaligus BBC 100 Women 2018.
INFID bersama Yayasan LKiS menerbitkan buku The Illusion of Islamic State versi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan memuat bagian baru, yaitu epilog dari Komisioner Komnas Perempuan periode 2014 – 2019, Riri Khariroh yang membahas posisi dan peran perempuan di dalam ekstremisme-kekerasan di Indonesia belakangan ini.