Membicarakan Islam di Indonesia tak lepas dari diskusi seputar orang-orang Arab Hadrami, yang mungkin sebagian dari mereka kita kenal sebagai kalangan habaib (habaib, salah satu bentuk plural dari kata habib). Dakwah Islam di negeri ini diwarnai dengan pengajaran, perjuangan serta gagasan dari mereka, baik yang penuh wawasan keilmuan, bahkan sampai yang mungkin kontroversial bagi kita.
Eskalasi sosial kalangan habaib di Indonesia terhitung cukup meyakinkan. Majelis taklim dan maulid binaan para habib semakin menjamur, mereka banyak tampil sebagai pengajar atau muballigh.
Sebuah artikel di Indonesia at Melbourne menyebutkan bahwa perpolitikan Jakarta yang memicu Aksi Bela Islam, membuat posisi kalangan habaib, khususnya habaib ibukota cukup disorot. Salah satu sosok habib yang diperbincangkan, siapa lagi jika bukan Habib Rizieq bin Syihab, yang menjadi “Imam Besar FPI” dan turut menginisiasi Aksi Bela Islam dengan ragam jilid dan nomornya.
Habib Rizieq kian kesohor, dan sepakat atau tidak, banyak masyarakat muslim tak terkecuali sesama habib, mengikuti jejak beliau. Pamor Habib Rizieq Shihab menanjak dengan posisinya sebagai pimpinan organisasi FPI (Front Pembela Islam) pasca reformasi. Pendekatan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar yang digunakan organisasi ini, dengan segala kontroversinya, semakin meluas di berbagai daerah di Indonesia.
Habib Rizieq seakan “menepikan” pengaruh habib-habib lain di Jakarta yang memilih pendekatan berbeda dengan cara FPI dan Habib Rizieq, dalam menyampaikan Islam pada masyarakat.
Meninjau beragamnya habaib di Indonesia, apakah para habib ini semacam berkontestasi dalam rangka meningkatkan pengaruh? Mengapa para habib memilih berbeda pendekatan dalam dakwah?
Menarik melihat bagaimana dinamika kaum habaib yang sedang naik daun di Indonesia ini akan menjadi model panutan muslim Indonesia di masa-masa mendatang. Padahal habaib dan kalangan Arab Hadrami di Indonesia ini tidak tunggal dalam sikap dakwah dan model perjuangan.
Pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Kalangan habib di Indonesia, atau secara umum kalangan Arab Hadramaut, memiliki sejarah panjang sehingga sampai di Indonesia. Leluhur mereka memilih hijrah ke Asia Tenggara, sebagaimana dicatat Frode F. Jacobsen, meliputi tujuan dakwah dan perdagangan, serta menjauhkan diri dari krisis ekonomi dan konflik masyarakat. Sebagai daerah yang cukup kondusif dari segi jalur tempuh, Asia Tenggara menjadi pilihan.
Kaum dari daerah Yaman ini, ternyata tidak hanya para habib – sebagaimana yang kita kenal. Mereka memiliki sistem sosial yang merupakan kombinasi unik, sebagaimana dikutip Jacobsen, dari segi nasab, status, ekonomi, pendidikan dan profesi.
Setidaknya ada empat golongan yaitu kalangan habib dan sayyid, strata tertinggi, yang nasabnya bersambung ke Rasulullah, kebanyakan berprofesi sebagai pendakwah karena kepakarannya dalam agama; kemudian para ulama lain, yang nasabnya tidak bersambung kepada Rasulullah, disebut kalangan syeikh; serta para saudagar dan rakyat biasa, yaitu kalangan qabail.
Sistem sosial ini tetap terbawa dalam arus migrasi mereka di Indonesia. Kaum habib dan sayyid, yang banyak menjadi pemimpin rombongan dari Yaman karena status sosialnya plus keilmuannya, segera mendapat tempat dalam persebaran Islam di Nusantara.
Pengaruh habaib sebagai pendakwah tidak terbantahkan. Mereka dekat dengan pemerintahan kolonial dan penguasa lokal seperti para sultan dan raja-raja, sehingga para habib ini kian disegani.
Perlu diketahui bahwa Pemerintahan Belanda membagi masyarakat Indonesia menjadi tiga golongan untuk urusan administratif dan penempatan wilayah: kaum Eropa, kaum Asia, dan warga pribumi (inlander). Pembagian ini membuat orang Arab Hadrami, sebagai kaum Asia pendatang sebagaimana kalangan Cina, mulanya cukup susah untuk masuk berdakwah di kalangan warga pribumi.
Para habib ini mulanya memilih untuk cenderung tidak politis. Selain membawa ajaran syariat Islam, mereka juga memperkenalkan tarekat Alawiyah – yang melekat menjadi identitas kalangan sayyid Hadrami. Ismail Fajrie Alatas mencatat dalam Ba’alawi Becoming Indonesians, melalui sistem tarekat sebagai identitas inilah, mereka mendakwahkan ajaran Islam, berinteraksi dengan para ulama lokal.
Bentuk interaksi ini misalnya adalah peringatan maulid Nabi. Tradisi maulid ini penting bagi kalangan Ba’alawi – kalangan habib konon merujuk pada datuk mereka ‘Alawi, cucu dari Ahmad bin Isa al Muhajir, sosok yang babat alas kaum sayyid di Hadramaut. Melalui maulid ini, ajaran Alawiyyin, serta teladan sikap mereka kepada sang kakek – Nabi Muhammad – diajarkan kepada khalayak luas.
Kalangan habib yang dulu hadir di Hindia Belanda sebagai pendatang, mulanya memiliki sejenis kegamangan: di satu sisi, mereka mesti mempertahankan identitas sebagai kalangan Arab Hadramaut yang terpandang. Tapi di sisi lain, mereka berbenturan dengan budaya dan keharusan mereka melebur dalam keindonesiaan, yang menjadi tempat hidup mereka. Demikian kurang lebih dicatat oleh Jacobsen.
Dalam kegamangan itu, ide Islam reformis dan nasionalisme yang marak di berbagai belahan dunia, yang juga turut mempengaruhi pemuda keturunan Arab di Indonesia, perlahan menyurutkan kiprah dan sorotan terhadap tarekat Alawiyah.
Sebagian orang Arab Hadrami ini, salah satunya Ahmad Soorkati, mendirikan organisasi Al Irsyad. Ia konon tidak tercatat dari kalangan habib, yang silsilahnya sambung pada Nabi. Organisasi ini menjadi wadah aspirasi warga Arab, baik dari kalangan sayyid atau non-sayyid yang menandai bahwa kalangan non-habib pun sudah jauh lebih makmur dan terdidik.
Orang-orang Arab reformis ini menyatakan: sudah tiada lagi darah murni habib, yang ada kini hanyalah peranakan (muwallad). Pernyataan ini cukup menjanjikan, dan tampak semacam adu pengaruh di antara keturunan Arab Hadrami. Kesetaraan antar orang Arab adalah salah satu isu yang paling disuarakan.
Dalam arus nasionalisme, orang-orang Arab Hadrami juga mendirikan PAI (Perhimpunan Arab Indonesia) yang berusaha menyertakan kaum Arab dalam pergerakan nasional, menjadi suatu partai. Dengan semakin giatnya kalangan Arab Hadrami ini mendudukkan peran mereka sebagai bangsa Indonesia, para sesepuh Alawiyin yang menempuh jalur dakwah non-politis mulai terkesampingkan.
Era baru diawali oleh trio dari Kwitang: Habib Ali Al Habsyi, Habib Salim bin Jindan, serta Habib Ali Alatas. Beliau bertiga memberi warna baru dalam identitas dan teladan kaum habaib dalam sejarah Indonesia.
Habib Ali Al Habsyi dan Habib Ali Alatas membuka majelis taklim dengan rujukan kitab-kitab dari negeri Hadramaut, sebut saja Nashaihud Diniyyah karya Habib Abdullah bin Alawi al Haddad. Kwitang menjadi pusat keislaman Betawi bahkan seantero Indonesia, dan banyak orang berguru di Majelis Kwitang ini. Acara pembacaan kasidah dan syair maulid juga rutin diadakan. Begitupun Habib Salim bin Jindan, menjadikan kajian dan ijazah hadis sebagai ciri khas majelis beliau.
Namun bukan berarti orang-orang ini tidak terlibat dalam usaha-usaha merawat nasionalisme. Pada masa awal pasca kemerdekaan, para habib ini berada dalam arus dalam usaha-usaha perjuangan merawat kemerdekaan dengan turut mendidik dan membekali ilmu agama bagi para pejuang.
Hal yang menarik adalah beberapa penerus atau murid-murid dari majelis ini, pada masa mendatang menempuh jalur politik, berbeda dengan tren yang disuguhkan oleh trio habib dari Kwitang di atas. Partai-partai tertentu yang menjalin kedekatan dengan para habib untuk menggaet massa dan dinilai perlu menjadi penasehat. Kalangan habib, termasuk keturunan Arab Hadrami lainnya, kembali eksis – bahkan semakin diminati masyarakat luas.
Namun tak sedikit pula kaum habib yang tetap memilih non-partisan di berbagai daerah di Indonesia. Mereka tetap memegang identitas tarekat Alawiyah sebagai simbol masyarakat Hadramaut di Indonesia.
Selain lewat jalur politik, perbesanan antar habaib juga dipandang penting untuk merawat nasab dan tingginya posisi di antara sesama habib, keturunan Arab, atau masyarakat muslim. Klan-klan terpandang seperti Assegaf, Al Habsyi, Al Attas, dan di beberapa daerah seperti Al Kaf, Bil Faqih dan marga lainnya, bisa memperkuat jejaring dakwah serta status sosial.
Kalangan habib yang setia dengan tarekat atau identitas Alawiyin ini, membuat gagasan Islam mereka susah tidak muncul secara semarak ke permukaan. FPI yang dipimpin seorang habib pun akhirnya lebih menjadi sorotan.
Dengan demikian, “adu pengaruh” orang-orang Arab Hadrami, khususnya kaum habaib di Indonesia saat ini tidak lepas dari kondisi ekonomi, pendidikan, serta keterlibatan politik yang mereka ambil. Hal itu bergulir hingga era sekarang. Di satu sisi, mungkin ada orang-orang Arab dan para habib di berbagai daerah yang menggunakan pendekatan dakwah yang lunak, ada juga yang cenderung keras. Tapi yang jelas: dengan menguatnya gairah Islam masyarakat saat ini, para habib mendapat tempat terhormat sebagai panutan beragama.
Bicara pengaruh, mungkin soal ini bisa Anda cermati: bagaimana Majelis Rasulullah yang dulu kesohor ke pelosok Nusantara lewat dakwah al maghfurlah Habib Munzir Al Musawa, kini tampak kalah semarak dengan komando Habib Rizieq dan Habib Bahar bin Smith. Wallahu a’lam.