Seorang pemuda berusia 24 tahun menjadi pelaku bom bunuh diri. Sebuah peristiwa yang membuat siapa saja bertanya-tanya, “Apa sebenarnya yang terjadi?” Apakah agama begitu mudah digunakan sebagai pembenaran atas perilaku yang tidak beradab?
Menurut keterangan beberapa media, si pelaku sudah sekian tahun tidak lagi kembali ke keluarganya pasca menikah. Ia berprofesi sebagai tukang ojek online. Juga seorang YouTuber dan aktif di media sosial. Yang menjadi miris adalah si pelaku merupakan aktivis remaja masjid.
Bayangan saya lalu kembali ke sepuluh tahun silam ketika masih menimba ilmu di pondok pesantren. Ketika liburan tiba, saya yang berasal dari kampung yang cukup jauh selalu mengunjungi rumah teman yang lokasinya tak jauh dari pesantren. Hampir semua teman-teman saya merupakan aktivis remaja masjid di kampung masing-masing.
Ketika malam Jumat tiba, teman saya selalu mengajak untuk dzibaan atau bersalawat dan membaca sejarah Nabi. Para pemuda dan masyarakat sekitar berkumpul. Setelah dzibaan selesai, para pemuda dan masyarakat makan bersama. Satu wadah nasi berisi telur, mie, dan tempe dimakan oleh lima hingga tujuh orang.
Potret kehidupan bergama yang komunal seperti itu terekam jelas dalam pengalaman hidup saya sehingga Islam yang saya kenal adalah Islam yang begitu menggembirakan. Nyaris tidak pernah ada pembahasan yang menjurus pada kisah-kisah mengerikan, apalagi menjemput surga dengan cara meledakkan diri. Satu-satunya pembahasan mengerikan barangkali jika kami membaca kisah-kisah siksa neraka melalui komik yang dibeli dari pedagang keliling.
Peristiwa tersebut memantik perbincangan mengenai deradikalisasi agama, sebuah istilah yang cukup ambigu. Deradikalisasi merujuk pada sebuah perilaku radikal, yang juga pengertiannya diperdebatkan. Apa indikator seseorang disebut sebagai radikal? Apa pula implikasi seseorang jika ia disebut sebagai radikal?
Kata radikalisme sama dengan kata komunis yang lebih mengarah pada praktik politis alih-alih ideologis. Karena politik, kata ini sangat mudah digunakan untuk kepentingan memilah-milah satu golongan dengan yang lain. Di masyarakat misalnya, muncul tuduhan jika tidak mau bersalaman adalah golongan radikal. Bercadar disebut radikal.
Padahal di pesantren saya boro-boro bersalaman. Bertemu saja sulit. Jika bukan mahrom-nya, pertemuan dibatasi dengan kain sekat yang membuat lawan bicara hanya bisa diidentifikasi melalui suara. Tetapi apakah itu praktik radikal? Sekali lagi kata radikal memang perlu diperdebatkan.
Di titik tertentu kita bisa membenarkan sikap radikal seseorang dalam beragama. Artinya, kita menghormati pilihan orang untuk tidak bersalaman dan menggunakan atribut-atribut tertentu. Yang jelas semua setuju bahwa yang tidak diperbolehkan adalah bersikap membahayakan orang lain atas dasar apapun, termasuk agama. Perbuatan membahayakan ini disebut sebagai ekstrem dan pelakunya disebut ekstremis.
Persekusi, pengusiran, diskriminasi, hingga pembunuhan merupakan tindakan ekstrem yang tidak dapat dibenarkan. Agama manapun, apalagi Islam, tidak pernah mengajarkan orang untuk berperilaku ekstrem. Sebab Islam memiliki konsep universalitas di mana semua makhluk hidup adalah ciptaan Allah SWT yang harus dirawat dan dijaga. Bukankah menghina ciptaan Allah juga merupakan bentuk penghinaan terhadap-Nya?
Akhir-akhir ini kita memang dibuat bingung. Di tengah naiknya semangat berislam di kalangan muda, ada kelompok-kelompok tertentu yang menampilkan perilaku merusak citra Islam dengan menebar teror terhadap orang yang berbeda.
Lebih menyedihkan lagi, kita seolah-olah cuci tangan bahwa aksi teror tidak terkait dengan agama. Oke, kita tentu setuju bahwa agama tidak mengajarkan kebencian. Tetapi ada sekian banyak orang menyeru untuk memusuhi yang berbeda di mimbar-mimbar suci agama.
Padanya kita cenderung hanya mendiamkan sampai ada pemuda salah paham yang kemudian memiliki paham yang salah terkait ajaran agama. Ia kemudian menebar teror, mulai dari yang paling soft dengan cara mengafirkan orang lain hingga cara yang sangat ekstrem dengan melakukan penghilangan nyawa.
Jika sudah demikian kita tidak bisa lepas tangan. Terorisme merupakan rangkaian panjang dari proses doktrinasi. Ia lahir dari eksklusivisme beragama yang dibungkus dengan kebencian terhadap yang berbeda dan terus dipupuk dari waktu ke waktu.
Untuk menghentikannya tiada cara lain kecuali terus menyerukan kebaikan. Kita yakinkan bahwa agama adalah jalan untuk bahagia dengan menebar rahmat bagi sesama makhluk Allah SWT.
Wallahu a’lam.