Adalah Muhammad Afif (23 tahun), santri asal Bogor yang kini menjadi mahasiswa Islamic International University Malaysia (IIUM). Sejak awal memperkenalkan diri di KBRI Kuala Lumpur, saya langsung tertarik dengan kisah perjalanan studinya. Kisah itu berawal dari masa setelah ia lulus dari pesantren Assalam Sukabumi, 2015. Lima tahun yang lalu.
Berbekal dengan informasi dari pondok dan juga suport dari kakaknya yang sedang studi di al-Ahgaff Yaman, Afif mencoba mendaftarkan diri di IIUM. Selain itu juga mendaftar dan ikut seleksi beasiswa. Berbagai persiapan, pemberkasan, dan ujian seleksi ia lalui. Dan akhirnya ia dinyatakan lolos seleksi. Diterima di Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Heritage, salah satu fakultas favorit di IIUM.
Dari penuturannya, saya pahami bahwa perjuangannya tidak berhenti pada tahapan di atas. Untuk mahasiswa asing, IIUM menerapkan standar bahasa yang ketat. Mahasiswa baru tidak diperkenankan mengambil kuliah jika kompetensi bahasa Arab dan Inggris belum sesuai batas minimal. Tidak lain karena perkuliahan akan disampaikan hanya dengan dua bahasa tersebut. Sebagai alumni pesantren, penguasaan bahasa Arab Afif sudah mencukupi. Hanya saja, ujian IELTS bahasa Inggrisnya masih mentok di skor 4. Padahal skor minimal IIUM untuk S1 adalah 6. Oleh karena itu, hampir 7 bulan, Afif harus berjibaku masuk di program penguatan bahasa.
Hanya saja, usahanya itu tidak sia-sia. Kini ia tidak hanya mengambil satu program studi saja, tetapi juga tercatat sebagai mahasiswa “double degree”. Yakni prodi Fiqh dan Ushul Fiqh yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Arab dan prodi Ilmu Politik dengan pengantar bahasa Inggris. Kisah Afif ini adalah satu di antara beberapa kisah kegigihan perjuangan santri Indonesia. Di kesempatan yang sama, saya juga menyimak penuturan Syintia, santri pondok pesantren putri Hidayatul Mubtadiat Lirboyo Kediri.
Santri asal Cirebon itu, setelah tamat dari Lirboyo tahun 2011, mencoba mengejar beasiswa studi ke Yaman dan Mesir. Pemberkasan dan tahapan seleksi diikuti dengan baik. Saat pengumuman, kedua-duanya dinyatakan lolos. Dengan beberapa pertimbangan, Yaman dipilih. Di tahun 2016, selepas lulus S1 dari Yaman, ia melanjutkan S2 di IIUM dalam kajian Ushul Fiqh. Kini, dalam beberapa bulan terakhir, santri putri yang juga suka ngopi itu sedang menyiapkan sidang tesisnya. Ia berharap segera selesai dan kembali ke Indonesia untuk berbagi ilmu dan pengalamannya.
Bertemu dan mendengar kisah-kisah ini, saya semakin terteguhkan. Bahwa santri adalah salah satu bagian penting untuk melihat sejarah Indonesia ke depannya. Luas-sempitnya cara pandang mereka akan menentukan wajah Islam Indonesia. Apakah akan semakin kencang membawa keadaban publik dan mampu menebar rahmat bagi sesama, atau mungkin malah sebaliknya?
Sejarah yang akan menjawabnya.