Dalam sejarah Islam terdapat kelompok yang disebut “khawarij”. Secara literal istilah ini bermakna “orang-orang yang keluar”. Dinamakan demikian karena kelompok ini menganggap pemerintahan pada masanya telah keluar dari ajaran Islam, yakni para penguasa tidak memberlakukan hukum-hukum Allah.
Khawarij mulai muncul ketika Ali bin Thalib menerima kesepakatan damai atau tahkim dalam perang Shiffin, perang bersaudara antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan pada 37 H. Khawarij menganggap semua yang terlibat di dalam tahkim sebagai orang-orang yang melakukan dosa besar, bahkan kufur, hingga kemudian memilih jalan keluar dari barisan Ali maupun Mu‘awiyah.
Kelompok yang dilabeli “Khawarij” menerima sebutan ini, namun baginya bermakna “orang yang keluar rumah untuk hijrah di jalan Allah” dengan berdasarkan pada QS. An-Nisa 100. Sebagian di antara mereka juga ada yang menamakan dirinya dengan “asy-syirah” yang berarti “orang-orang yang berkorban”. Baginya mereka adalah “orang-orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari ridla Allah” sebagaimana keterangan dalam QS. Al-Baqarah 207.
Sebutan lainnya yaitu “Haruriyah” dengan mengacu pada nama tempat yang pertama kali digunakan untuk memulai pergerakannya, yakni Harura`, wilayah di dekat Kuffah. Selain itu kelompok ini juga menggunakan nama “Mahkamah” dengan berdasarkan pada paham keislamannya yang meyakini bahwa tidak boleh ada hukum kecuali hukum Allah (la hukma illa lillah).
Beberapa sebutan di atas pada dasarnya menggambarkan sikap keberagamaan orang-orang Khawarij yang merasa bahwa dirinya orang yang paling benar dalam menangkap firman Allah, kelompok lain keliru, bahkan kufur. Khawarij sedari awal sejarahnya selalu memusuhi para pemimpin umat Islam yang berbeda dengannya, karena menganggap para pemimpin itu tidak menerapkan hukum-hukum Allah.
Abdussalam bin Barjis Alu ‘Abdil Karim (w. 2004) dalam karyanya, Munashahah al-Imam Wahb bin Munabbih li Rajul Ta`atstsar bi Madzhab al-Khawarij (Nasihat Wahb bin Munabbih kepada orang yang terpengaruh paham Khawarij) menyimpulkan bahwa Khawarij pada masa itu memiliki 2 ciri utama.
Pertama; tidak membayar zakat kepada orang-orang yang mengurus persoalan umat Islam atau pemerintah dengan dasar mereka menganggap para pemerintah kufur karena tidak menjalankan hukum-hukum Allah dan tidak mengalokasikan zakat dengan tepat. Tepat menurut Khawarij maksudnya diberikan kepada kelompok mereka.
Kedua; Tidak memintakan ampunan kepada Allah terhadap orang yang tidak menyetujui pendapatnya, karena bagi Khawarij orang yang memiliki paham keagamaan berbeda dengannya berarti telah kufur kepada Allah. Khawarij selalu memutlakkan pendapat, seakan-akan hanya pendapatnya yang paling sesuai dengan maksud Allah, yang lain keliru. Baginya, menentang atau berbeda dengan pendapatnya sama dengan keluar dari hukum-hukum Allah. (2002: 5).
Merasa paling benar sendiri dalam berislam serta memutlakkan paham keagamaan yang sebenarnya bersifat relatif dalam sejarah Islam bagian dari duri dalam daging. Fenomena seperti ini dalam perjalanan sejarah kerap muncul dengan beragam nama atau bahkan tidak menggunakan nama sama sekali. Apa yang disebut dengan “radikalisme agama” pada masa sekarang adalah bukti nyata dari keberlanjutan fenomena Khawarij yang harus diwaspadai.