Mahmud bin Umar bin Muhammad al-Zamakhsyari (467-538 H.) adalah salah satu tokoh ulama yang dalam fikih bermadzhab hanafi. Banyak para ulama di zamannya mengakui ketinggian ilmu beliau. Salah satu karyanya yang fenomenal “tafsir al kasyaf” hingga kini masih menjadi rujukan dalam disiplin tafsir al Qur’an. Mula-mula beliau menganut paham mu’tazilah, bahkan menjadi ikon utama madzhab teologi yang digagas oleh Washil bin Atha’ ini. Hingga pada akhirnya beliau menanggalkan paham mu’tazilah untuk kemudian menganut paham assawad al-a’dzam, Ahlus Sunnah wal jamaah. Berikut kisah beliau “bertaubat” dari paham mu’tazilahnya.
Al-Zamakhsyari yang kala itu merupakan salah satu tokoh pembesar Mu’tazilah datang menemui seorang Qadhi kota Mekah yang secara teologi menganut madzhab Ahlussunnah wal Jamaah untuk melamar puterinya.
Pada mulanya lamaran al-Zamakhsyari ditolak mentah-mentah oleh Sang Qadhi. Namun setelah gadis pujaan al-Zamaksyari mengetahui, ia memohon kepada ayahandanya agar menerima lamaran tersebut. Atas desakan dari puterinya Sang Qadhi pun mengabulkan permintaan puterinya dan bersedia menikahkannya dengan al-Zamakhsyari.
Singkat cerita, setelah akad nikah berlangsung tibalah malam pertama bagi kedua mempelai ini. Sang istri mengatakan kepada suaminya, “ Duhai Suamiku pujaan hatiku…sesungguhnya malam pertama ini adalah salah satu kenikmatan terbesar bagi pasangan suami isteri di dunia. Aku harap di malam yang indah ini engkau melakukannya denganku sebanyak tujuh puluh kali”. Pinta sang istri. Demikian premis pembuka (muqaddimah shughra) sang istri dalam rangka menggiring opini untuk melemahkan paham teologi suaminya.
Al-Zamakhsyari merasa keberatan dengan permintaan istrinya tersebut. Ia menilai permintaan isterinya ini sungguh terlampau berat. Ia pun menyatakan ketidaksanggupannya melayani istrinya berhubungan intim sebanyak itu. Hampir tidak ditemukan laki-laki seperkasa apapun yang mampu melakukan hubungan pasangan suami istri sebanyak permintaan istrinya yang tak wajar tersebut.
Mengetahui reaksi suaminya yang tampak kewalahan, sang istri justru kembali menyerang suaminya dengan pertanyaan yang semakin memojokkan madzhab teologi yang dianut sang suami.
“Bukankah engkau mengatakan bahwa manusia mampu menciptakan perbuatannya sendiri? Sekarang aku beri dua pilihan. Kita bercinta sebanyak tujuh puluh kali atau engkau cabut dan bertaubat atas pendapatmu itu!”, desak sang istri.
“ Iya, Aku akan bertaubat dari pendapatku itu!”, ujar al-Zamakhsyari menyerah.
Sejak saat itu, al-Zamakhsyari bertaubat dari madzhab Mu’tazilah untuk kemudian memeluk paham Ahlussunnah Wal Jamaah. Beberapa saat kemudian, istri al-Zamakhsyari mempersaksikan di hadapan keluarganya bahwa suaminya telah keluar dari paham Mu’tazilah. Istri al-Zamakhsyari telah berhasil mengelabui suaminya dan membuatnya tidak berkutik. Seorang istri yang cerdas yang mampu mematahkan argumentasi dan paham teologi suaminya.
Sebagaimana diketahui dalam kajian teologi, bahwa menurut Mu’tazilah, manusia mampu menciptakan aktivitasnya sendiri yang bersifat ikhtiyariyyah (diusahakan). Berbeda dengan Ahlussunnah wal Jamaah yang menyatakan bahwa perbuatan hamba baik yang bersifat ikhtiyariyyah ataupun idltirariyyah (tidak disengaja) adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan hamba. Dialog al-Zamakhsyari dengan istrinya di atas merupakan salah satu bukti keterbatasan seorang manusia. Ia tidak punya daya sedikitpun untuk menciptakan perbuatannya. Baik dan buruknya perbuatan manusia pada hakikatnya Allah yang menciptakan. Meski manusia juga diwajibkan untuk ikhtiyar.
Sumber bacaan:
(Fawaid Mukhtarah, hal. 102-103 dan Tadzkirunnas, hal. 299)
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Kediri