Penyandang Disabilitas Daksa dan “Tuna Cinta”, Tapi Ia Jadi Ulama Terkemuka

Penyandang Disabilitas Daksa dan “Tuna Cinta”, Tapi Ia Jadi Ulama Terkemuka

Sebagai ulama terkemuka, ia “tuna cinta” bukan karena tidak ada yang mencintai atau karena disabilitas daksa.

Penyandang Disabilitas Daksa dan “Tuna Cinta”, Tapi Ia Jadi Ulama Terkemuka
ilustrasi (Foto: British library)

Saat masih kecil, ia terkenal sebagai anak yang nakal, cukup normal untuk ukuran anak kecil. Tapi Mahmud, nama anak kecil ini, memang di luar batas kenakalan anak-anak yang lain. Ia memiliki peliharaan burung, kakinya ditali dan ditarik-tarik hingga putus.

Begitulah kisah yang dinukil Syamsuddin al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir al-A’lam tentang Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Amr, yang kelak saat besar ia menjadi ulama terkemukan dan terkenal dengan sebutan Abul Qasim al-Zamakhsyari.

Pengkaji tafsir pasti kenal dengan nama al-Zamakhsyari ini. Ia merupakan salah satu mufassir yang memiliki karya hebat dan terkenal hingga sekarang. Kitab tafsirnya dikatakan sebagai kitab tafsir yang sangat kompeten dalam bidang sastra. Walaupun kitabnya memiliki kecenderungan pada madzhab kalam tertentu, yakni mu’tazilah, namun kehebatan tafsirnya dalam bidang bahasa dan sastra tidak lagi diperdebatkan.

Nama lengkapnya Abu al-Qasim Muhammad bin Umar az-Zamakhsyari al-Khawarizmi. Beliau juga dijuluki dengan Fakhru Khawarizm, yakni kebanggaan orang khawarizmi atas ketinggian ilmu bahasa yang beliau miliki.

Az-Zamakhsyari lahir di Zamakhsyari pada bulan rajab tahun 467 H dan wafat pada malam Arafah di Jurjaniyah Khawarizm pada tahun 538 H.

Kisah al-Zamakhsyari kecil yang nakal dengan memainkan tali di kaki burung hingga kaki burung itu putus membuat ibunya marah besar. Dalam riwayat al-Dzahabi dari guru-gurunya yang juga bersumber langsung dari al-Zamakhsyari dijelaskan betapa marahnya sang ibu hingga ibunya mendoakan sesuatu yang buruk terjadi kepadanya.

“Semoga Allah memutus kakimu sebagaimana kamu memutus kaki burung itu,” hardik sang Ibu.

Doa sang Ibu itu dianggap al-Zamakhsyari sebagai salah satu biang ‘cacat’ kakinya. Suatu hari saat ia bepergian untuk menuntut ilmu ke Bukhara, kota asal Imam al-Bukhari, ia terjatuh dari kendaraannya. Alhasil, kakinya patah hingga membuatnya harus berjalan dengan bersandar pada tongkat kayu.

Walaupun ia ditakdirkan untuk menjadi penyandang disabilitas daksa, ia tetap semangat untuk menuntut ilmu. Al-Zamakhsyari masih semangat untuk melakukan rihlah (perjalanan) ke beberapa tempat untuk menuntut ilmu. Di antaranya, Khurasan dan Baghdad. Bahkan ia sering keluar masuk kota Baghdad hanya untuk bertemu dengan para guru besar di sana.

Dengan keterbatasannya, ia masih semangat menanmbah wawasan dan kemampuan intelektualnya. Ia berguru ilmu bahasa, nahwu, dan sastra di kota Khawarizm bersama Abu Mudhar Mahmud bin Jarir ad-Dhabbi al-Asbihani dan al-Khawarizmi, seorang ilmuan yang ahli dalam bidang bahasa, nahwu, sastra dan kedokteran.

Tak cukup sampai di situ, ‘penderitaan’ al-Zamakhsyari juga menjadi seorang jomlo (jomblo) seumur hidup (walaupun, mungkin, ia sendiri tidak menjadikan hal tersebut sebagai penderitaan). Nama al-Zamakhsyari masuk dalam kategori al-Ulama al-Uzzab (ulama jomlo) versi Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam bukunya, al-Ulama’ al-Uzzab alladzina Yuatssiruna al-Ilm ala al-Zawaj (Para ulama yang melajang karena lebih mementingkan ilmu dari pada menikah).

Bukan karena melarang mencintai atau dicintai, serta juga bukan karena mengharamkan pernikahan. Kecintaannya kepada ilmu mengalahkan cintanya kepada lawan jenis. Inilah salah satu kehebatan al-Zamakhsyari, dengan keterbatasannya sebagai penyandang disabilitas daksa, juga “tuna cinta” (jika boleh disebut demikian), tidak menghalangi cita-citanya untuk menuntut ilmu, berkarya dan menjadi ulama besar dan terkemuka.

Sebagai orang yang non-Arab, beliau tergolong sebagai orang yang ahli di bidang bahasa Arab. Bahkan menurut seorang sastrawan yang bernama Abu al-Yumn Zaid bin al-Hasan al-Kindi, Zamakhsyari adalah orang non-Arab yang paling mengerti bahasa Arab pada masanya.

Selama hidupnya, beliau telah menulis sekitar lima puluh karya. Lima puluh karya ini lah yang menjadi putra-putrinya karena beliau sama sekali tidak pernah menikah. Selain al-Kassyaf ada beberapa karya lain seperti al-Faiq fi Gharibil Hadis dan Nukatul A’rab fi Gharibil I’rab, sebuah kitab i’rabul Qur’an dan puluhan karya lainnya. (AN)

Wallahu a’lam.