Wafatnya K.H Maimoen Zubair meninggalkan duka terdalam bagi santri-santri Al-Anwar Sarang, Rembang. Biasanya, hampir setiap hari mereka mengaji bersama Mbah Moen, sapaan akrab para santri kepada K.H Maimoen Zubair.
Salah satu santri yang merasakan duka terdalam adalah Nikmatus Sofyanah, santri putri pondok pesantren Al-Anwar. Nikma mengaku bahwa Mbah Moen sebelum meninggal terlebih dahulu memberikan isyarat-isyarat akan kepergian beliau.
“Dawuh terakhir Mbah Maimoen yang saya ingat saat mengaji kitab Tanbighun Mughtarrin, “Aku tulung didongakno iso nemoni Gusti Allah dino Seloso. Mergo roto-roto wong alim iku kapundut dino Seloso. Bapakku, simbahku, lan ulama-ulama akeh sing kapundut dino Seloso (Saya minta tolong untuk didoakan agar wafat pada hari Selasa, karena rata-rata meninggalnya orang alim itu pada hari Selasa. Ayah, kakek, dan para ulama banyak yang wafat pada hari Selasa),” kisah Nikma kepada Islamidotco.
Nikma juga bercerita kesan-kesannya saat mengaji bersama Mbah Moen. Ia mengaku bahwa Mbah Moen adalah sosok yang humoris namun mudah menangis. Dalam menjelaskan materi dalam kitab terkadang beliau memberika humor-humor segar, namun juga terkadang mudah menangis saat mengisahkan Rasulullah dan orang-orang saleh.
“Beliau juga sosok yang humoris. Sering sekali ditengah-tengah pengajian beliau bercanda namun sering juga menangis,” lanjut Nikmah.
Salah satu pesan penting yang paling ia ingat dari Mbah Moen adalah teladan agar hidup sederhana namun mengetahui banyak hal.
Saat ditanya terkait kitab terakhir yang dikaji Mbah Moen bersama para santri sebelum meninggal, Nikmah menyebutkan kitab karya al-Ghazali yang berjudul Ushuluddin al-Arbain.
Berbeda dengan Nikmah, Umar Multazam, santri pondok putra Al-Anwar mengaku bahwa Mbah Moen adalah sosok yang sangat ikhlas dalam mengabdi dan mengajar santri-santrinya. Umar mengaku bahwa Mbah Moen hampir tidak pernah libur mengajar ngaji walaupun beliau sedang capek.
“Beliau tidak pernah libur ngaji. Walaupun beliau sayah (capek), beliau tetap menyempatkan untuk ngaji bersama santri-santri,” ujar Umar yang juga mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir STAI Al-Anwar ini.
Umar menyebutkan hal penting yang selalu ia ingat dari Mbah Moen, yaitu beliau memuliakan semua orang tanpa pandang bulu.
“Kalau beliau tindakan (bepergian) bersama supir abdi ndalem beliau, beliau memulyakan supir tersebut. Jika Kiai (Mbah Moen) makan di rumah makan, supirnya juga harus ikut makan di rumah makan. (Jika Mbah Moen) tidurnya di hotel, supirnya juga disuruh tidur dihotel,” ungkapnya.
Wafatnya K.H Maimoen Zubair pada Selasa, 6 Agustus 2019 ini tidak hanya menjadi duka bagi murid-muridnya saja, tetapi juga bagi seluruh umat Islam Indonesia. Pesan-pesan ramahnya akan selalu dirindukan dan tak akan tergantikan.
“Mautul alim, mautul alam (matinya orang yang alim adalah matinya alam),” begitulah kata pepatah Arab. Semoga suatu saat nanti akan muncul “Mbah Moen-Mbah Moen” yang lain, ulama yang cinta Indonesia dan menguatkan nasionalismenya dengan kaedah-kaedah fikih dan ushul fikih yang dihafalnya. Amin