Beberapa hari lalu, muncul sebuah pernyataan polemis dari mulut seorang pendeta bernama Saifuddin Ibrahim. Ia menyarankan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas agar mengevaluasi kurikulum sekolah berbasis Islam dan Pesantren untuk mencegah orang-orang terhindar dari paham radikalisme. Pesannya memang baik, namun bukan di situ letak kontroversinya. Saya kutipkan, begini kata beliau di media sosial:
“Jangan hanya sekedar mengatur suara adzan, atur juga kurikulum yang ada di madrasah tsanawiyah, aliyah, sampai perguruan tinggi. Karena sumber kekacauan itu adalah dari kurikulum yang tidak benar. Bahkan kurikulum-kurikulum di pesantren, pak. Jangan takut untuk dirombak!”
“Bapak periksa! Ganti guru-gurunya! Karena pesantren itu melahirkan kaum radikal semua. Seperti saya ini, dulu radikal. Karena saya belajar di pesantren. Saya mengajar di pesantren Zaitun Indramayu. Itu pusat teroris itu, pak. Tapi teroris yang kelas berdasi ya di pesantren az-Zaitun. Saya gurunya dan saya mengerti.”
“Bahkan kalau perlu pak, 300 ayat yang menjadi pemicu hidup intoleran, pemicu hidup radikal, dan membenci orang lain karena beda agama itu diskip, atau direvisi, atau dihapuskan dari al-Qur’an Indonesia. ini sangat berbahaya sekali.”
Sebenarnya, pak pendeta masih melanjutkan kata-katanya. Ia berujar bahwa pemerintah China berani menghapus ayat-ayat al-Qur’an versi China sehingga tidak ada satupun Muslim Uyghur yang menjadi teroris di sana.
Saya respon yang terakhir dulu. Memang benar bahwa China memiliki rencana untuk menyusun ulang Injil, Alquran, dan semua teks suci agama besar lain di Cina. Seperti yang diwartakan oleh Tempo, agenda pemerintah tersebut bertujuan untuk menyelaraskan semua nilai-nilai agama dengan ideologi komunisme dan sosialisme di China. Namun, bapak pendeta yang terhormat, bukan seperti itu cara praktik keberagamaan kita.
Saya yakin, bukan hanya Islam saja yang marah ketika kitab sucinya diotak atik, namun juga agama lain, Kristen dengan Injilnya misalnya.
Kembali ke pernyataan pak pendeta, ia mengatakan bahwa semua pesantren menelurkan sosok-sosok fundamental. Memang benar bahwa kurikulum mungkin perlu direvisi untuk memperbaiki kegiatan belajar mengajar, namun untuk mengatakan ‘semua pesantren’, tunggu dulu. Saifuddin Ibrahim sedang menyamaratakan semua pesantren di Indonesia. Hal itu tentu sebuah kerancuan berpikir. Memang benar bahwa kasus terorisme dan pelaku teror di Indonesia belum sepenuhnya terselesaikan. Namun, bukan berarti semua sumber instansi keislaman dikambinghitamkan, dong.
Saifuddin Ibrahim mengaku bahwa ia pernah menjadi pelajar dan pengajar di salah satu pesantren besar Indonesia. Pengalaman itu ia gunakan untuk men-generalisir pesantren. Inilah akibatnya terlalu lama hidup di lingkungan yang homogen. Nyatanya, mayoritas pesantren di Indonesia berafiliasi pada Nahdlatul Ulama (NU), dan NU tidak mengajarkan radikalisme, apalagi terrorisme.
Puncaknya adalah, ia menyarankan Menteri Agama untuk merevisi 300 ayat al-Qur’an. Saya masih mafhum jika beliau menyarankan Gus Yaqut untuk merevisi terjemah atau tafsir al-Qur’an versi Kementerian Agama. Namun, merevisi ayat? Bagaimana bisa pernyataan ini keluar dari figur pendeta yang katanya pernah belajar di pesantren.
Saya hendak berbaik sangka. Barangkali yang dimaksud pendeta adalah terjemahan ayat al-Qur’an. Ia hanya terpeleset, atau sekedar kurang menyebutkan saja. Namun, tetap saja sulit. Apalagi si pendeta pernah terjerat kasus penistaan agama pada tahun 2017. Ia dituntut karena telah menista Nabi Muhammad. Artinya, ia memang memiliki sentimen tersendiri terhadap Islam.
Yang perlu dipahami oleh Saifuddin Ibrahim adalah, bahwa ayat-ayat al-Qur’an sangatlah sakral bagi umat Muslim karena ia merupakan rangkaian kalam dari yang Maha Pencipta Alam Semesta diturunkan kepada utusannya yang luhur, Rasulullah Muhammad. Ayat-ayat al-Qur’an bersifat tetap, konstan, dan pasti. Tafsir-tafsir terhadapnya lah yang berubah.
Oleh karena itu, yang dipermasalahkan bukan ayat-ayatnya, melainkan praktik penafsiran atas ayat-ayat itu. Misalnya begini, al-Qur’an memang mengandung ayat-ayat yang dijadikan justifikasi oleh para kelompok radikal sebagai pembenaran terhadap kekerasan dan teror yang mereka lakukan. Semua umat Muslim tahu bahwa al-Qur’an, secara implisit, mengandung anjuran berperang dan membunuh orang kafir, misalnya QS. at-Taubah: 29, QS. at-Tahrim: 9, dan QS. an-Nisa’: 89.
Ayat-ayat tersebut mungkin merupakan sebagian dari 300 ayat yang disarankan Saifuddin Ibrahim untuk dihapus Menag. Memang benar, bahwa tiga ayat tersebut memang lazim digunakan oleh kaum radikal untuk menyatakan bahwa Allah memang memerintahkan umat Islam untuk memerangi kaum non-Islam. Tapi itu kan tidak berarti bahwa hanya ada satu tafsiran terhadap ayat-ayat itu.
Bagi orang-orang yang kritis, terbuka, dan moderat, ayat-ayat tersebut harus dibaca dalam konteks peperangan sahabat Nabi Muhammad semasa hidup dengan kaum kafir yang zalim terhadap umat Islam. Yang diperangi adalah mereka yang ingin menghancurkan Islam, bukan semua umat non-Islam. Jadi kalaupun ada persoalan tentang al-Qur’an, itu adalah bukan soal ayat-ayatnya. Melainkan tafsir ayat-ayatnya.
Nyatanya, umat NU membaca al-Qur’an yang sama dengan para kaum radikal. Mereka membaca ayat yang sama dan surat yang sama. Tapi nyatanya, umat NU tidak membaca ayat-ayat itu sebagai perintah memerangi non-Muslim. Jika Saifuddin ingin memberi saran, berilah saran agar Kementerian Agama mengembangkan penafsiran al-Qur’an yang moderat dan kontekstual.
Salam hormat bapak pendeta.
Wallahua’lam bisshowab…