Seorang menjadi ustadz, setelah belajar atau nyantri itu terbilang biasa. Pun seorang menjadi dokter, setelah kuliah di bidang ilmu kedokteran, itu juga terbilang biasa.
Namun, yang unik “seorang anak muda menjadi ustadz dalam kajian hadis, sekaligus berprofesi sebagai dokter” ini terbilang luar biasa. Pasalnya, saat ini sulit sekali mencari orang yang paham akan kitab kuning, khatam akan disiplin ilmu agama, sekaligus menguasai literatur ilmu alam; fisika, anatomi, kimia, dan biologi.
Nah sosok unik itu ada dalam diri Ustadz Iqbal Syauqi. Pria Asal Malang ini juga berprofesi sebagai seorang dokter, sekaligus ustadz lulusan Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences.
Tim redaksi Islami.co berhasil mewawancarai santri asal Ponpes Nurul Ulum, Malang ini. Ia menjelaskan kilas balik hidupnya yang tertarik pada dunia medis, dan juga tertarik tentang ilmu agama Islam. Tak lupa juga, Ustadz Syauqi memberikan tips buat anak muda untuk semangat belajar agama, dan jangan melupakan sains dan teknologi. Pasalnya, era saat ini, sains dan teknologi merupakan suatu keniscayaan bagi dunia, terutama Indonesia.
Anda inikan Seoarng Ustadz, sekaligus Dokter. Kenapa Anda tertarik belajar agama dalam hal ini belajar ilmu hadist di Darus Sunnah, Ciputat, sekaligus belajar sains dengan kuliah di jurusan Ilmu Kedokteran?
Saya itu pendatang di Ciputat. Saya berasal dari Malang. Sebelum kuliah, saya sekolah Madrasah Tsanawiyah , kemudian melanjutkan ke sekolah Aliyyah selama 6 tahun. Setelah tamat dari sekolah Aliyyah, saya kemudian mendapatkan beasiswa Santri Berprestasi dari Kementrian Agama RI. Dalam pilihan beasiswa tersebut, saya memilih Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Saya suka belajar ilmu kedokteran, secara umumnya setelah masuk perkuliahan di UIN Jakarta. Akan tetapi saya harus akui, sejak sedari dahulu, sejak zaman sekolah MTs dan Aliyyah saya sudah berancana untuk mengambil jurusan yang ada Ilmu Pengetahuan Alam. Dalam masa remaja di Aliyyah, saya sudah membathin inikan tidak mungkin semua jadi ustadz, ya sebagian harus jadi profesi lain. Kebetulan saya senang dengan ilmu eksak. Nah kebetulan juga saya suka pelajaran Biologi, Fisika, dan Kimia. Dan niat sejak Aliyah untuk jurusan bukan hanya agama, tetapi berjuang mendapatkan beasiswa.
Dulu Anda di Pesantren belajar kitab kuning juga?
Iya. Saya belajar kitab kuning di Nurul Ulum Kota Malang. Ponpes saya sama seperti pondok salaf pada umumnya yang ada sekolahnya.
Yang menarik kemudian adalah Anda Kuliah di Jurusan Kedokteran, Kemudian juga Nyantri di Darus Sunnah belajar ilmu hadis dan agama lainnya. Bagaimana kronologinya?
Setelah diterima di UIN Jakarta, saya terlebih dahulu diasramakan di Asrama Kertamukti selama 1 tahun. Setelah itu saya berniat mencari tempat tinggal yang ada tempat ngajinya. Walau bagaimana pun say aini dulu seorang santri. Dan tempatnya tidak jauh dari kuliah. Kemudian saya menemukan Darus Sunnah yang tidak jauh dari fakultas Kedokteran tempat saya kuliah.
Di Darus Sunnah itu menarik, pasalnya saya notabenanya tidak dari santri yang membaca kitab kuningnya bagus banget seperti santri dari pondok pesantren besar lainnya. Saya melihat Darus Sunnah pelajarannya kuat sekali tentang ilmu hadis. Pun akhirnya saya diterima di sana, dan menjadi santri. Saya beruntung di sana menimbu ilmu hadits. Pasalnya, kita belajar Kutub Sittah langsung, dan juga kitab-kitab lain. Pendek kata, saya belajar ilmu hadis dengan baik.
Selama belajar ilmu kedokteran, sekaligus ilmu hadis dan ilmu studi keislaman lain di Darus Sunnah, apakah ada kesulitan? Dan bagaimana Anda mengatasinya?
Saya mengikuti belajar di dua kampus tersebut sampai selesai— Pendidikan kodekteran UIN Jakarta sampai profesi dan Darus-Sunnah sampai tugas akhir. Meskipun saya harus akui, kadang-kadang mengimbangi keduanya agak sulit. Pun kadang keteteran. Tapi saya mengikuti sampai sarjana. Yang pasti lagi, dalam proses belajar itu kadang ada juga rasa lelah.
Pada sisi lain, belajar di dua bidang studi itu, terlebih kedokterankan beban belajarnya cukup banyak. Belajar anatomi, psiologi, belajar materi cukup ribet. Itu semua membutuhkan sumbangan tenaga lebih. Dan untuk menyelesaikan belajar di dua tempat itu saya harus membagi waktu.
Apakah ada kesulitan lain, misalnya memahami materi ilmu hadis dan ilmu kedokteran selama proses belajar?
Kalau materi dalam kuliah itukan sifatnya didengar dulu, diserap dulu sambal berjalan akan paham sendiri. Saya orangnya seperti itu. Semua materi saya dengarkan. Saya catat, dan nanti akan paham sendiri. Misalnya belajar tentang musthalah hadis, pada awalnya mungkin kurang memahami, tetapi seiring waktu akan paham dengan sendirinya. Tentu diikuti dengan usaha lain, misalnya membaca dan menyimak dari teman dan ustadz yang lain.
Hal itu juga saya terapkan selama belajar kedokteran. Saya dengarkan dan pahami terlebih dahulu, maka akan mengerti nanti. Terlebih dalam mendiaknosa penyakit dan memberikan obat ya. Jadi untuk memahami materi, tidak harus waktu itu, akan paham seiring waktu.
Pada sisi lain saya ada usaha membaca kitab hadist, untuk lebih memahamkan dalam belajar hadis di Darus Sunnah. Pun saya juga sering berdiskusi dengan teman-teman lain. Diskusi dengan senior juga membantu, untuk pemahaman.
Adakah motivasi lain yang membuat Anda semangat belajar sains, misalnya dari ayat-ayat Al-Qur’an dan fenomena alam semesta?
Movitasi dari literatur, saya tidak ya. Tapi pemahaman saya, agama termasuk Islam ya sangat membantu dalam hal memetakan dan membaca masyarakat. Sehingga ilmu sains inikan selalu berkembang, dan ketika didekati secara kaku akan membuat tidak kondusif. Nah saya kira semangat agama sebagai sprit, itulah yang memberikan motivasi dalam belajar sains. Pun agama sebagai pedoman, juga turut andil dalam memberikan motivasi.
Apakah Anda ada mengidolakan dari ilmuwan muslim klasik dan kontemporer?
Kalau idola yang terpaut jauh, seperti Ibnu Sina, Al Farabi, Al Kindi, saya kira itu sudah terlalu retrorikal ya. Saya kira idola yang dekat-dekat aja. Itupun saya akan sulit mencari idola. Prinsip saya, saya akan mencari apa yang baik dari orang. Yang bisa saya tiru akan saya tiru. Jadi tidak tunggal idolanya.
Ada pandangan belakangan yang menyebut agama dan sains tidak bisa bersatu. Harus pisah. Layaknya air dan minyak. Bagaimana tanggapan anda terkait hubungan agama dan sains?
Ini dari sudut pandang pribadi saya. Jika tidak sama dengan pemahaman orang lain ataupun cendikiawan lain silahkan saja ya. Pandangan saya, agama sebagai perangkat untuk memahami konteks dan realitas. Sedangkan, sains ini sebagai alat untuk mengikuti perkembangan zaman. Manfaat sains itu nyata sekali. Sains ini sudah benar. Sudah berada dalam jalur yang benar. Untuk perkembangannya.
Sedangkan untuk yang agama, jika dipahami untuk dicari semangatnya iya, tapi kalau terlalu cocokologi—ini terjadi bagi banyak orang, semata-mata mencoba mencocokkan ayat ini dengan fenomena alam—kemudian mengklaim kebenaran Islam, itu terlalu terburu-buru. Agama juga bisa sebagai basisi moral, misalnya agama Islam mengajarkan untuk tekun belajar, iya itu masuk dalam hal ini. Misal dalam surah al Alaq diminta untuk belajar dan membaca. Kemudian untuk memerhatikan alam, itu masuk ya. Semangat agama di dalam hal ini. Allah berfirman dalam Ali Imran ayat 190-191;
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
Artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.”
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya:
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”
Pada sisi lain, dunia ini diperuntukkan bagi orang-orang yang berpikir. Cara berpikirnya ini bukan saja berkaca pada tekstual semata, tetapi mengikuti metodologi rasional dan ilmiah sains. Dan itu akan berkembang seiring zaman. Dalam hal ini antara agama dan sains itu sudah punya ril masing-masing.
Kita bisa melihat di ilmuwan klasih, Ibnu Sina misalnya, menggunakan spririt agama untuk membuka tabir sains. Tetapi tetap metodologinya sainstifik sesuai zaman itu. Pun Ibnu Sina seorang yang rasional sekali. Termasuk Abdus Salam juga termasuk orang yang demikian, Islam menjadi spirit untuk berkembang. Yang menggunakan metodologi ilmiah khas fisika. Mengikuti tradisi ilmiah yang saintifik.
Nah fungsi agama dalam hal ini sebagai semangat dan spirit. Sains dan agama memiliki metodologi masing-masing. Agama dan sains bukan dalam ranah yang saya sebut cocokologi. Yang tidak dilakukanbanyak orang yang ingin mengislamkan ilmu, terlebih dalam ranah tekstual saja. Kalau semangatnya yang diambil itu bagus. Misalnya di Al-Qur’an dijelaskan tentang tumbuh dan kembang janin. Ada dalam Al-Qur’an, nah semangat itu yang kita ambil. Pelajari dan kembangkan dalam tataran sains.
Sains itu sifatnya selalu berkembang. Adapun agama, yang sifatnya teologis, itukan doctrinal dan sifatnya keyakinan. Maka tidak akan masuk jika agama itu dijadikan landasan akan kebenaran sains. Ini akan panjang diskusinya.
Berikan tips untuk pada ada muda untuk semangat belajar sains dan agama?
Hemat saya tips, pelajari dulu semua, apa yang ada kesempatan untuk mempelajarinya, selama ada waktu dan kemauan. Nah bagi yang sudah memulai belajar, pasti akan merasa ada tanggungjawab untuk menyelesaikan. Untuk belajar, pelajari semua dan pahami, meskipun tidak paham waktu itu, seiring waktu akan paham sendiri. Pun bisa memulai belajar sains dan agama dengan otodidak. Kendatipun pelan-pelan. Silahkan baca-baca dan berdiskusi dengan yang lain. Pun bisa juga dengan membagi waktu. Yang belajar dua ilmu itu, harus mampu membagi waktu, terlebih yang studi formal.