Al-Insaniyah qabla al-Tadayyun, kemanusiaan sebelum keberagamaan. Begitu adagium monumental Habib Ali al-Jufri, ulama besar asal Yaman. Bagaimana maksudnya?
Menjaga kerukunan antar umat manusia adalah hal yang lebih prinsip dibanding kesalehan pribadi pada Tuhan. Hal ini bukan tanpa landasan dalil naqli, melainkan berpijak pada hadis tentang sebuah pertanyaan lelaki kepada Nabi Muhammad Saw. berikut:
“Dalam rangka apa engkau diutus, wahai Nabi?” Nabi menjawab, “Aku diutus untuk menyambung tali kekerabatan, mencegah pertumpahan darah, jalan-jalan menjadi aman, merobohkan berhala-berhala, menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya.”
Poin-poin prinsip motivasi diutusnya Nabi tersusun apik sebagaimana urutan dalam hadis di atas. Tiga poin pertama menebar kesejahteraan dan keamanan bagi umat manusia, dan dua poin terakhir adalah misi tegaknya panji tauhid (mengesakan Tuhan).
Lalu, bagaimana mungkin menegakkan panji tauhid disebut belakangan oleh Nabi, padahal itu adalah pondasi jejeg-nya Islam? Sebagaimana dikatakan, awwalu wajibin ma’rifatullah, kewajiban pertama adalah mengenal Allah.
Menjawab ini, Habib Ali al-Jufri setidaknya memberikan dua alasan.
Pertama, Islam tidak dibangun atas keterpaksaan. Sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah [2]: 256, laa ikraaha fiddiin (Tidak ada paksaan dalam agama).
Potongan ayat tersebut menunjukkan bahwa Islam menjunjung tinggi kebebasan memilih (al-Ikhtiyar al-Hurriyah). Memang benar, karena apapun yang dibangun atas motivasi keterpaksaan akan menjadi tumpul dan tak menyisakan kesan apapun. Misalnya, dalam sebuah taklif (pembebanan hukum), seseorang bebas dari sanksi hukum bila ia melanggar hukum karena dipaksa.
Dengan memahami ini, dapat disimpulkan bahwa kebebasan tidak dicapai tanpa keselamatan jiwa, keamanan publik, dan keharmonisan umat.
Kedua, kuatnya iman membutuhkan ketenangan hati. Sementara itu, ketenangan hati mustahil terwujud tanpa tiga hal yang disebutkan pada bagian awal hadis. Dengan demikian, untuk membentuk kekuatan iman hingga menyauri dua poin terakhir dalam hadis perlu mewujudkan nilai kemanusiaan terlebih dahulu, yang tercermin dalam tiga poin bagian awal hadis.
Pesan kemanusiaan lainnya yang lebih populer disampaikan Sahabat Anas bin Malik. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw. Bersabda, “Iman seseorang belum sempurna hingga ia senang melihat orang lain juga merasakan hal yang ia senangi.”
Lebih jelas ketimbang hadis sebelumnya, dalam hadis ini keharmonisan antar saudara seiman dikaitkan langsung dengan tingkat keimanan seseorang. Jika kita masih ill feel saat melihat tetangga beli sepeda listrik, sementara kita masih mengimpikan untuk punya itu, maka ketahuilah bahwa keimanan kita masih berada di tingkatan lato-lato, terbentur ke atas ke bawah. Seperti itulah pengajaran Nabi akan nilai kemanusiaan yang berkaitan erat dengan iman.
Pernah juga, ada salah seorang sahabat meminta izin pada Nabi agar diperbolehkan berzina, “Nabi, izinkan aku berzina.”
Permintaan kepada Nabi yang terkesan lancang itu membuat sahabat yang lain nyaris saja melumatnya. Namun, Nabi justru mencegahnya dan menyuruh sahabat tadi mendekat. Kemudian, Nabi bertanya kepadanya, “Apakah kamu senang hal itu terjadi pada saudarimu?”
Dengan spontan ia menjawab, “Tidak, Nabi.”
“Kalau pada putrimu?” Nabi kembali bertanya.
“Tidak, Nabi.” Sahabat itu menjawab.
“Atau terjadi pada istrimu?” Nabi melanjutkan pertanyaannya.
Begitu seterusnya Nabi menyebutkan kerabat perempuan lainnya. Sang sahabat pun tidak merubah jawabannya, ia tetap menjawab “Tidak”. Akhirnya, sang sahabat tersadar dengan sendirinya setelah mendengarkan nasehat-nasehat lembut dari Nabi.
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa pengajaran agama tidak melulu tentang ibadah personal yang dilakukan secara egois, yakni mengabaikan sisi kemanusiaan. Ada yang lebih penting dari itu, yakni menjaga keharmonisan antar sesama agar tidak terjadi hal-hal yang membuat tidak nyaman saat menyembah-Nya. Bukankah kita dianjurkan memutus shalat untuk menolong orang yang hendak tenggelam?
Dengan ini kita paham bahwa justru Islam menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, di samping nilai atau panduan yang berhubungan dengan keberagamaan. Dan itulah maksud dari “Kemanusiaan sebelum keberagamaan”. Wallahu a’lam. [NH]