Oppenheimer, Einstein, dan Pesan Kemanusiaan

Oppenheimer, Einstein, dan Pesan Kemanusiaan

Oppenheimer, Einstein, dan Pesan Kemanusiaan

Albert Einstein pernah menyatakan bahwa ambisi orang baik dan cerdas ada batasnya. Dalam ending film “Opperheimer” terkandung pesan spiritual yang secara implisit dinyatakan Einstein, bahwa segala hal yang dicapai oleh kekuatan otak manusia, tak boleh dilakukan sekehendak hatinya. Hal ini mengandung arti, bahwa kejahatan manusia bersumber dari kebodohan dan kedangkalan berpikir, karena orang-orang bodoh selalu saja tidak mengenal batas-batas kewajaran.

Selama berminggu-minggu, “Oppenheimer” terus meramaikan jagat sineas Indonesia dan dunia. Karya terbaru Christopher Nolan itu mengisahkan nasib ilmuwan Oppenheimer (Cillian Murphy) ketika peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Ia sempat dielu-elukan bagaikan sosok pahlawan, namun kemudian, karena kepentingan politik Amerika Serikat, ia pun dituding telah bersekutu dengan komunisme (Uni Sovyet).

Tergambar jelas dalam film tersebut, bagaimana sidang tertutup FBI dilaksanakan untuk menyingkirkan Oppenheimer agar tidak lagi memiliki pengaruh politik. Rencana itu diinisiasi oleh Lewis Strauss (Robert Downey Jr.) karena ia punya dendam pribadi terhadap fisikawan teoretis tersebut.

Dekadensi moral di lingkungan pejabat tinggi pemerintahan AS, membuat rencana Strauss untuk menjatuhkan citra Oppenheimer berjalan mulus. Ia pun menuduhnya telah menghasut Einstein agar menolak kesepakatan untuk memuluskan rencana ekspor radiosotop. Dalam sidang tertutup, Oppenheimer dikhianati oleh sejumlah rekan yang memberi kesaksian, termasuk oleh ilmuwan Edward Teller (Benny Safdie). Sampai kemudian, oleh kekuatan elit politik, Edward sendiri akhirnya dituding sebagai mata-mata Sovyet karena memiliki rekam-jejak sebagai kolega Oppenheimer di masa lalu.

Tudingan itu terus merembet kepada kerabat dan saudara Oppenheimer yang dianggap bersekongkol dengan komunisme. Seorang rekan ilmuwan, Isaac Rabi berusaha membela Oppenheimer bahwa dirinya dan keluarganya tak ada sangkut-paut dengan pemerintahan Sovyet, namun kemudian izin keamanan Oppenheimer sudah dicabut, sehingga citranya di mata publik semakin tercemar.

Oppenheimer dan keluarganya, kemudian pindah ke daerah pinggiran kota dan menjadi warganegara biasa. Namun, karena dedikasinya yang tinggi di dunia keilmuwan, Presiden Lyndon B. Johnson akhirnya memberi penghargaan Enrico Fermi Award untuk Oppenheimer, sebagai gestur rehabilitasi politik di tahun 1963.

 

Potret buram Manhattan

Kontroversi film “Oppenheimer” di berbagai media lokal dan internasional, bukan saja terletak pada kualitas dan orisinalitas sejarah. Christopher Nolan sebagai sutradara sekaligus penulis skenario memikul tanggung jawab besar laiknya sosok akademisi dan sejarawan. Sebagian besar adegan dan alur cerita memang diambil langsung dari buku Kai Bird dan Martin J Sherwi, American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J Robert Oppenheimer, namun demikian Nolan juga melengkapinya dengan sumber-sumber sejarah kontemporer lainnya.

Percakapan di tepi danau antara Oppenheimer dan Albert Einstein (Tom Conti) di Princeton (1946) sangat menarik, karena menyangkut hal-hal yang bersifat metafisis dan spiritual. Ledakan cahaya putih yang sunyi berdampak begitu lama, sehingga fisikawan Italia, Emilio Segrè mengaku takut bahwa ledakan tersebut dapat membakar atmosfer, dan dengan demikian menghabisi peradaban makhluk hidup di muka bumi.

Pengakuan Presiden AS, Harry Truman bahwa “tangannya berlumuran darah” mengindikasikan bahwa hakikat dari paradigma Perang Dingin yang digembar-gemborkan Amerika sebagai “sudah berakhir”, pada hakikatnya terus berjalan dan esensinya tetap valid hingga saat ini. Deklarasi tentang usainya Perang Dingin yang telah disepakati, seakan hanya retorika politis belaka. Film “Opperheimer” sekaligus menohok para pemain dan petualang politik di negeri ini, yang sebenarnya tak lepas dari mata rantai obsesi yang bersifat primitif, khususnya antara induk semang (negeri adikuasa) bersama abdi-abdi lokalnya, termasuk Indonesia.

Yang dikhawatirkan oleh Oppenheimer adalah sel-sel paradigma Perang Dingin yang tetap utuh dan kukuh dalam skala masif, menjangkiti pemikiran dan imajinasi seluruh manusia. Jadi, tidak menutup kemungkinan, meskipun mayoritas rakyat Amerika mendukung pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, dalam benak mereka akan terus-menerus dihantui oleh kehancuran seperti apa yang dulu mereka olok-olok sebagai “halusinasi Oppenheimer”.

 

Nuklir dan kehancuran

Sejak tahun 1939, Oppenheimer menyadari bahwa kemajuan visi nuklir untuk membuat bom tak terelakkan. Selang enam tahun kemudian, dia meyakini bahwa bom itu bakal membuat perang nuklir tak terhindarkan, kecuali jika kekuatannya yang mengerikan dapat ditunjukkan kepada dunia sebelum perang dunia berakhir. “Mereka tidak akan takut sampai mereka memahaminya,” ujarnya kemudian, “dan mereka tidak akan memahaminya sampai mereka benar-benar menggunakannya.”

Apa pun yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki adalah sejarah kehancuran peradaban manusia, namun ancaman keberadaan senjata nuklir masih menghantui kehidupan kita semua. Kesadaran itu terekam jelas dalam pernyataan Oppenheimer yang mengutip petuah dari Bhagavad Gita, “Saat ini, saya menjelma Sang Maut, dan perusak dunia ini.”

Terlepas dari teori yang dikemukakan Presiden Truman (globe of fire), keyakinan sudah muncul pada diri Oppenheimer, khususnya ketika cahaya putih berbentuk jamur itu memancar, karyanya dapat mengubah dunia secara radikal. Tetapi, percakapannya dengan Einstein bahwa “kita sudah sampai ke sana” mengandung kata-kata bersayap, yang dapat diartikan bahwa suatu hari nanti, dunia ini bisa hancur karena kecerdasan dan ulah tangan-tangan manusia sendiri.

Di sisi lain, Christopher Nolan selaku sutradara menggambarkan secara visual, betapa mudahnya memantik adegan puluhan rudal terbang dan melesat ke berbagai titik bumi, yang dapat mengakibatkan kematian seluruh manusia di permukaan bumi ini.

Anjuran yang dikemukakan Albert Einstein tak ubahnya sebagai “amr ma’ruf”, atau peringatan dini kepada seluruh bangsa-bangsa dunia, bahwa hendaknya, tidak setiap apa yang mampu dicapai oleh kecerdasan otak, dapat dilakukan sekehendak hatinya. Untuk itu, harus ada pertimbangan nurani dan akal sehat, dan bagi siapa pun yang melanggarnya, mesti akan dihakimi oleh imajinasinya sendiri. (AN)