Dalam artikelnya di surat kabar Pandji Islam (1940), Soekarno pernah menjelaskan tantang kilas-balik sejarah Turki, sambil menyindir beberapa cendekiawan yang karya-karyanya dinilai provokatif dalam menyerang pergerakan Turki Muda yang diprakarsai Mustafa Kemal Attaturk.
Dinamika pemikiran di kalangan para bapak bangsa semakin terasa, terutama ketika Soekarno menulis artikel berjudul, “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara?” Dalam artikel tersebut, secara terang-terangan Soekarno memaparkan, “Orang yang tidak datang menyelidiki sendiri keadaan di Turki itu, atau tidak membuat studi sendiri yang luas dan dalam, dari buku-buku mengenai Turki, ia tidak mempunyai hak untuk menjatuhkan vonis atas negeri Turki di hadapan publik.“
Artikel Soekarno diserang habis-habisan oleh seorang cendikiawan yang menamakan dirinya Ahmad Muchlis (nama inisial), yang kemudian melahirkan perdebatan sengit dalam sejarah literasi Indonesia. Ia menilai Soekarno terlalu serius memihak ide-ide sekularisme. Padahal, Soekarno hanya menjelaskan secara historis, bagaimana pergerakan Turki Muda yang berhasil menyingkirkan pendudukan Sekutu di satu sisi, tetapi di sisi lain memilih sekularisme sebagai pijakan hidup berbangsa dan bernegara.
Dengan legawa dan rendah hati, Soekarno menyampaikan bahwa kajian dan ulasannya tentang kelahiran Republik Turki, yang pada masa itu dikenal sebagai “Turki Muda” tak lain merupakan bahan pemikiran yang perlu dipertimbangkan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Perdebatan terus meruncing. Dalam tulisan-tulisannya itu, Soekarno merujuk dari sekitar 20 buku di perpustakaan pribadinya tentang revolusi Turki hingga kelahiran Turki Muda. Sebelumnya, selama masa pengasingannya di Ende, Soekarno banyak mendalami corak pemikiran Islam di Nusantara, sambil mengadakan hubungan surat-menyurat dengan A. Hassan di daerah Bandung. Korespondensi dari kedua pemikir Islam yang jenius ini terangkum dalam buku “Surat-surat dari Ende”, yang setelah lengsernya Orde Baru kembali naik-cetak dan mudah didapatkan di toko-toko buku.
Melalui korespondensi dengan A. Hassan tersebut, kita bisa memahami mengapa pemikiran Soekarno sulit mencapai titik temu dengan beberapa cendikiawan muslim yang gampang mengacu pada doktrin-doktrin Islam politik. Polemik dengan Mohamad Natsir yang selanjutnya memimpin partai Masyumi, sampai saat ini masih dirasakan benang-benang merahnya, bila kita mengklasifikasi tokoh-tokoh pemikiran Islam di Indonesia. Memang sulit untuk dipertemukan dalam kesatuan yang harmoni, manakala yang satu berpijak pada perspektif sejarah Islam, sedangkan yang lainnya mengacu pada doktrin-doktrin Islam politik.
Tetapi, kita patut bersyukur memperoleh banyak manfaat dari hikmah kebijaksanaan, selama para cendikiawan itu sanggup menahan diri, tidak terjebak pada intelektualisme yang membangun pembenaran pada format sejarahnya sendiri. Terlebih mereka yang senang ber-wishfulthinking, lalu memprovokasi amarah massa untuk melegitimasi agama sebagai tunggangan politik.
Terkait dengan ini, Republik Turki memang sudah lama menjadi bahan perbincangan para aktivis pergerakan, termasuk para intelektual muslim, jauh sebelum polemik tahun 1940-an di negeri ini. Bersamaan dengan kebangkitan Mesir, serta pembebasan Turki dari tentara Sekutu, para nasionalis Turki turut serta menyambut kebangkitan nasionalisme kita, serta mengobarkan semangat para aktivis pergerakan di Indonesia.
Hal ini bukan berarti Indonesia mesti dijadikan negara dengan asas sekularisme an sich. Saat itu, Soekarno menegaskan bahwa polemik dalam wacana dan opini sekitar tahun 1940-an selayaknya menjadi bahan studi untuk mencari identitas dan format keindonesiaan kita.
Kompleksitas Islam di Turki
Memang sangat kompleks menggambarkan wajah Islam di Turki, sebagaimana novel realisme karya Orhan Pamuk, “Istanbul” yang menggambarkan peristiwa kudeta dan intrik politik di Ibukota Turki. Tokoh-tokoh dalam novel tersebut, diselimuti berbagai gerakan separatisme dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan. Suasana kota Istanbul yang mirip situasi Jakarta menjelang lengsernya penguasa Orde Baru, digambarkan secara apik dan menarik oleh sastrawan peraih nobel 2006 tersebut. Friksi-friksi Islam politik, polemik ideologis antara sekularisme dan Islam radikalis, ditambah dengan separatisme Kurdistan, memunculkan faksi militer yang membangun kekuatannya sendiri.
Novel Pamuk yang memakai gaya bahasa banal, memang tidak bicara secara eksplisit tentang pemihakan pada ideologi tertentu. Ia hanya bicara soal manusia yang harus menjalani kodrat kemanusiaannya. Pada dasarnya, faksi-faksi militer yang dikritik dalam “Istanbul”, tak lain karena mereka telah melenceng dari tugas kemanusiaannya yang hakiki. Mereka tidak loyal membantu pemerintah pada saat pemerintah membangun tansformasi perubahan, serta mendukung pergerakan untuk pembebasan negeri-negeri Asia-Afrika dari penjajahan. Di sisi lain, para militer yang ambisius itu justru membangun agenda terselubung untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. (baca: Liber Amicorum 100 Tahun Bung Karno, Hasta Mitra, Jakarta 2001)
Pada karya-karya Orhan Pamuk, pertemuan antara timur dan barat, Islam dan sekularisme, adalah gambaran yang paling mencolok. Tentu saja corak Islam yang ditampilkan tak lain dari budaya dan peradaban Islam tradisional, sejenis dengan karya-karya sastra Timur Tengah lainnya seperti Najib Mahfudz, Taha Husein, Nawal el-Sadawi dan seterusnya.
Begitupun yang menjadi kritikan Attaturk adalah Islam konservatif yang dianggap sebagai penghambat kemajuan, sebagaimana debat-debat pemikiran Islam modern yang diprakarsai seorang filsuf dari Mesir, Syakib Arsalan melalui bukunya yang mendunia, “Limadza ta’akharal muslimun wataqaddama ghairuhum?” (Kenapa umat Islam terbelakang, sementara yang lainnya mengalami kemajuan?)
Tetapi, ketika Presiden Erdogan menumpaskan upaya-upaya kudeta beberapa waktu lalu (2016), dengan cekatan ia menampilkan diri selaku Sultan Mahmud II, di mana patung-patungnya segera didirikan sebagai simbol kemenangan atas penaklukkan Romawi Timur. Di zaman sebelum masehi, wilayah Turki dikenal sebagai Byzantium. Kemudian, di bawah kekhalifahan Utsmaniyah (1453 M) ia dikenal sebagai Konstantinopel. Kejayaan Islam klasik justru dimanfaatkan Erdogan sebagai upaya mengikis perlawanan yang merongrong pemerintahan yang sah. Baginya, persatuan dan kesatuan bangsa Turki mutlak harus diperjuangkan, meskipun terpaksa mengorbankan ratusan “tentara pembangkang” yang harus dijebloskan ke dalam penjara.
Proses Pemindahan Ibukota
Ada dua kota besar di Turki yang menjadi pusat perhatian masyarakat setelah usainya Perang Dunia I, yakni Istanbul dan Ankara. Satu kota lainnya yang bernama Erzurum telah menjadi bagian dari kekuasaan negeri Rusia. Situasi politik internasional, sangat memengaruhi keputusan Mustafa Kemal Ataturk untuk memindahkan ibukota negara dari Istanbul ke Ankara.
Perjanjian Lausanne (1923) yang diprakarsai kalangan nasionalis, dan didukung penuh oleh Attaturk, memosisikan Ankara sebagai tempat paling strategis untuk menjadi ibukota Turki. Kota Istanbul, yang masih di bawah kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman), tetap bertahan sebagai negara di bawah pemerintahan tersendiri.
Sementara itu, Attaturk yang didukung kekuatan kaum muda nasionalis berpusat di Kota Ankara. Sejak tahun 1918, Attaturk konsisten untuk terus menciptakan identitas nasional baru Turki, kemudian berupaya mendekonstruksi rezim lama (Ottoman) serta membangun sebuah negara bangsa (nation-state) yang baru.
Pada 15 Juli 2016 lalu, gerakan kudeta militer di Turki berhasil diredam di sekitar alun-alun Taksim, Kota Istanbul. Dengan cekatan Erdogan membuka sejarah masa lalu tentang kekhalifahan Utsmani, demi untuk melegitimasi kekuasaannya di satu sisi, tetapi di sisi lain bisa dibenarkan jika dimaksudkan untuk menjaga stabilitas persatuan dan kesatuan rakyat Turki.
Dari perspektif lain, tidak sedikit intelektual Barat yang mengonotasikan perlakuan Erdogan dalam menumpaskan pemberontakan, sehaluan dengan kekuasaan Dinasti Habsburg di Eropa Tengah yang meligitimasi simbol-simbol agama ortodoks, sambil membentangkan bendera-bendera kejayaan Kristen Katolik di Roma.
Ketika Kemal Attaturk memutuskan pemindahan ibukota ke Ankara, seakan ia ingin memutus ikatan antara zaman Ottoman dan Republik Turki. Pemindahan ibukota itu didasari oleh beberapa alasan yang berkaitan dengan degradasi moral pemerintahan secara internal, yang oleh Kemal Attaturk disebut “Sickman of Europe”. Ia terang-terangan menghendaki Turki sebagai negara yang berdaulat, percaya diri, demokratis, modern, dan sekuler.
Kekhalifahan Utsmaniyah telah digerogoti mentalitas monarkis yang berakar kuat di Istanbul, dan didominasi oleh para birokrat dan militerisme rezim Ottoman. Ia tidak ingin memanfaatkan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik dan kekuasaan, juga tak mau melegitimasi agama sebagai “senjata” untuk melawan kekuatan pembaharu yang diprakarsai angkatan muda.
Masa lalu adalah Masa Kini
Kemal Attaturk seakan sudah memprediksi apa yang akan digambarkan dalam novel “Istanbul” karya Orhan Pamuk sekian puluh tahun kemudian. Ia adalah kota yang indah, meskipun keindahan itu tetaplah hanya menjadi catatan sejarah kejayaan masa lalu. Sedangkan Ankara, didesain untuk menjadi bagian dari masa depan Turki yang diimpikan sebagai negara dan bangsa modern.
Sebagai upaya untuk mengakhiri masa lalu, pada tanggal 3 Maret 1924, melalui Majelis Nasional Agung, Attaturk memutuskan untuk memberhentikan Abdul Majid II sebagai khalifah, kemudian membubarkan kekhalifahan yang sudah berumur 600 tahun, serta mengubah struktural kebudayaan Turki.
Kerendahan hati dan jiwa besar Kemal Attaturk, tetap dalam posisi menghargai kota Istanbul yang telah banyak berjasa dalam membawa Turki memasuki masa depan. Masa lalu sangat berjasa untuk menemukan masa kini dan masa yang akan datang. Attaturk ingin menjadikan bangsa Turki setara dengan bangsa Eropa secara sosial, pendidikan, dan kultural. Ia ingin menjadikan Turki sebagai bagian dari komunitas internasional bangsa-bangsa modern.
Kebesaran kekhalifahan Utsmaniyah sangat berguna sebagai kaca benggala bagi masa depan Turki. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan kemajuan negara bangsa, Attaturk justru mengutip apa yang dinyatakan Abraham Lincoln (1809-1865), “Kalau kita tidak merencanakan masa depan karena kita hidup di zaman sekarang, maka kita akan terperangkap dalam jebakan masa lalu.”
Ibukota Turki akhirnya berpindah menuju Ankara, meninggalkan Istanbul dengan seluruh kebesarannya di masa lalu. Mustafa Kemal Attaturk sebagai bapak bangsa, perintis, dan pendiri Republik Turki meninggal pada 10 November 1938 di Istana Dolmabahce, Istanbul. Kemudian, ia dimakamkan di Ankara pada 21 November 1938, sebagai ibukota baru Turki. ***