Melacak Perdebatan Jilbab dalam Sejarah Islam

Melacak Perdebatan Jilbab dalam Sejarah Islam

Ini merupakan ragam perdebatan Jilbab dalam sejarah Islam

Melacak Perdebatan Jilbab dalam Sejarah Islam

Perdebatan mengenai jilbab telah berlangsung lama. Tampaknya isu tersebut akan terus berlangsung seiring proses pelestarian pendapat para mufassir terdahulu maupun kehadiran interpretasi baru cendekia kontemporer. Sayangnya, perdebatan ini lebih banyak berbicara tentang hukum memakai jilbab, bukan pada detail-detail fungsi, etika dan estetika (keindahan) penggunaan jilbab. Karena itu, jilbab sering dijadikan simbol dan standar keimanan seseorang.

Kata jilbâb memiliki kata plural jalâbib, bermakna baju kurung yang lonngar yang menutupi seluruh tubuh (al-Mu’jam al-Wasîth). Kata jilbâb, di dunia Arab dikenal dengan istilah jalabiyah, kemungkinan dipopulerkan dan dilegitimasi QS. Al-Ahzâb: 59, yang dikatakan sebagai ayat jilbab karena satu-satunya ayat yang menyinggung masalah tersebut.

Sementara dalam Lisân al-Arab, konsep jilbab meripakan konsep yang kabur. Ia bisa bermakna sebagai lembar pakaian mulai dari kemeja dalam untuk perempuan (chemis) yang sederhana sampai dengan pengertian jilbab panjang. Dari sini, dapat ditarik kesimpulan jilbab memiliki fungsi sebagai alat penutup anggota tubuh atau penutup bagi aurat yang menurut Imam al-Qurthuby. Aurat merupakan sesuatu dari anggota tubuh manusia yang membuat malu bila dipandang atau dipandang buruk untuk diperlihatkan.

Seruan penggunaan jilbab berikut konsep hijab tidak banyak dibicarakan secara detai; dalam dua sumber hukum paten dalam Islam, al-Qur’an dan hadits. Ayat-ayat yang lazim dijadikan dasar keharusan jilbab adalah QS. Al-Ahzab: 59 dan al-Nur: 31. Menurut Ibn Rusyd, tokoh Islam klasik abad pertengahan (1126-1198 M) dan al-Syaukani, pengarang kitab Nail al-Authâr, ayat yang tertera dalam surat al-Nur itu banyak dijadikan rujukan dasar hukum batasan aurat perempuan. Perbedaan pendapat kemudian muncul karena ada perbedaan antar ulama dalam frasa illa ma dzhara minha. Sebagian ulama menafsirkan sebagai sesuatu yang terbuka dengan tidak sengaja, dan karena itu semua badan tak terkecuali wajah dan telapak tangan merupakan aurat.

Pemahaman ini diikuti oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Sementara Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menafsirkan kalimat tersebut sebagai wajah dan telapak tangan dan akrenanya selain wajah dan telapak tangan merupakan aurat (Husein Muhammad, Fikih Perempuan).

Berbeda dengan Imam al-Qurtubi. Dalam al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, ia masih mempertanyakan frase kalimat tersebut. Bagi beliau yang dimaksud adalah yang berlaku dalam kebudayaan Arab atau tergantung pada kebudayaan masing-masing. Hal senada juga dikatakan al-Zamakhsari dalam tafsir al-Kasysyâf, kalimat yang dimaksud adalah sesuatu yang bisa nampak menurut adat setempat. Jadi, kewajiban menutup aurat bergantung pada bagian mana tubuh perempuan dianggap tabu oleh masyarakat tertentu.

Dari dua surat yang disebutkan di atas sebenarnya tidak menjelaskan tentang anjuran memakai jilbab, tetapi lebih pada kewajiban berpakaian yang berfungsi menutup aurat dan anjuran bahwa pesan pakaian takwa itulah yang paling baik.

Dalam tradisi Arab pr-Islam, kaum perempuan biasa mengenakan pakaian dengan berbagai bentuk atau mode (Abdul Hali Abu Syuqqah, Tahrîr al-Mar’ah). Kedatangan Islam dengan semangat pembebasan pada masyarakat yang masih mengenal tradisi perbudakan dan anggapan terhadap kaum perempuan sebagai manusia lemah cukup memberikan sumbangan besar dalam meminimalisir kekerasan terhadap perempuan. Selain itu juga agar mudah dikenal.

Dari pendapat yang lain, dua ayat di atas turun setelah peristiwa fitnah terhadap Aisyah yang dilakukan oleh Ibnu Saba’ dan para pengikutnya dan kaum munafik Madinah. Peristiwa di mana Aisyah dituduh berbuat serong. Dalam peristiwa itu sesungguhnya Aisyah berada di pihak yang benar karena ia tidak berbukti melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya (Ulumul Qur’an/5/VI/1996). Mungkin sejarah ini menjadi alasan bagi para penguasa Dunia Islam untuk memojokkan kaum perempuan dalam dunia politik dengan mengangkat isu hijab untuk membatasi ruang gerak perempuan.

Dari sekelumit uraian di atas, yang berbicara mengenai dasar hukum yang berkaitan dengan jilbab, tidak ditemukan secara gamblang dasar hukum bahwa jilbab adalah penutup aurat yang sifatnya wajib, sehingga para ulama madzhab menginterpretasikannya dengan kecenderungan masing-masing yang sangat mungkin berkaitan langsung dengan realitas kehidupan yang tengah berkembang. Dengan demikian, adalah sesuatu yang tidak bisa dinafikan bahwa realitas yang ada ikut menentukan interpretasi ulaa terhadap teks-teks terkait.

Hal ini bisa kita lihat manakala ulama membolehkan muka, telapak tangan, telapak kaki atau lengan perempuan merdeka untuk dibuka karena alasan keperluan, merepotkan ataupun memberatkan. Tapi idak demikian halnya dengan aurat perempuan hamba sahaya. Anehnya, alasan yang sama juga diberikan ketika para ulama menyatakan bahwa kepala, leher, lengan, kaki, bahkan seluruh tubuh perempuan hamba sahaya keuali antara pusar dan lutut adalah bukan aurat.

Secara tekstual, perintah menutup aurat memang datang dari agama, tetapi batasan mengenai aurat ditentukan melalui pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan dalam segala aspek. Untuk itu, dalam menentukan batas aurat, baik untuk laki-laki maupun perempuan diperlukan mekanisme tertentu yang akomodatif dan responsif terhadap segala nilai yang berkembang di masyarakat. Tentunya dalam kehidupan masyarakat yang telah dapat menghargai nilai-nilai kemanusiaan tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, ras, suku dan sebagainya.

Penggunaan jilbab tentu tidak dimaksudkan untuk memasung pikiran dan kreativitas serta membatasi gerak dan kesempatan pemakaianya untuk berkompetisi di gelanggang publik. Sebaliknya dengan jilbab, rasa percaya diri harus tetap dapat ditumbuhkan. Kendati demikian, seyogyanya bagi para pemakai jilbab tidak terjebak pada ambivalensi: urusan keakhiratan di dalam jilbab dan urusan keduniawian di luar jilbab. Kaena pencitraan jilbab semakin lama semakin merugikan permepuan.

Jika perempuan yang memakai jilbab dianggap sebagai perempuan baik-baik, perempuan yang menjaga martabatnya, perempuan yang menjaga rumahnya, singkatnya “al-mar’ah al-shâlihah“, hal itu dikarenakan jilbab telah lahir sebagai simbol keimanan dan bukti ketaatan pemakainya, yang akhirnya memapankan domestikasi terhadap perempuan. Sebaliknya, bagi yang tidak memakai “pakaian takwa” itu dianggap tidak mematuhi ajaran agama.

Persoalan jilbab juga sarat dengan muatan politis. Seperti pada saar rezim Nasionalis-Sekular, saat Kemal Attaturk berkuasa di Turki, simbol-simbol dan identitas lokal diperkuat. Seluruh identitas asing harus ditanggalkan, termasuk penggunaan jilbab dan bahasa Arab. Sebaliknya manakala rezim konservatif berkuasa, isu pertama yang muncul adalah reislamisasi kaum perempuan. Seruan untuk memakain jilbab terus menerus digalakkan oleh rezim Ayatullah Khomeini di Iran dan Ziaul Haq di Pakistan (Ulumul Qur’an/5/VI/1996).

Di Indonesia, diskursus jilbab semakin menarik untuk diperhatikan akrena fenomena jilbab tampil sebagai simbol yang sarat dengan makna. Seperti makna teologi sebagai pakaian Muslim, makna hukum fikih sebagai penutup aurat atau pakaian shalat, makna ideologi sebagai akder muslimah yang tangguh, makna ekonomi sebagai salah satu komoditi ekspor Timur-Tengah yang prospektif, makna sosio-kultural sebagai pakaian dalam situasi keruhanian seperti ke pengajian, ke acara ta’ziyah, ke kuburan, acara keagamaan lainnya bahkan untuk fashion show yang pada akhirnya jilbab tampil dengan warna beragam dan tak lebih sebagai aksesoris. Tinggal kita memilih apakah berjilbab hanya sebagai simbolisme bukti ketakwaan, atau untuk perlindungan diri, atau hanya sebagai style yang secara sadar kita nyaman mengekspresikannya.

Sungguh ironis, bila usaha reinterpretasi terhadap jilbab dijustifikasi sebagai upaya mengangkangi syari’ah. Telaah kritis tersebut dituduh sebagai pemenuhan hawa nafsu bagi mereka yang memiliki pandangan lain atas diskursus ini. Sesungguhnya perbedaan pandangan tersebut justru lahir karena pembaca nash memiliki gaya tersendiri dalam menelusuri bacaannya.

Lebih lanjut, upaya sharing wacana (baca: informasi) dihembuskan sebagai isu propaganda yang mewakili golongan tertentu. Dengan demikian, paling tidakkita dapat mempertimbangkan secara arif sejauh mana urgensitas simbol dalam realitas sosial. []

Sebelumnya pernah termuat di Syir’ah 03