Bahasa Indonesia menyerap kata thaghut menjadi tagut dengan pemaknaan yang tidak jauh dari penafsiran al-Quran. KBBI memaknai tagut dengan tiga opsi makna; yang menyuruh orang berbuat jahat; yang disembah orang tetapi bukan Tuhan, berhala; apa saja yang disembah selain Allah SWT. Makna kedua dan ketiga masuk dalam satu kategori, dapat diartikan sama oleh kaum Muslim. Dapat dikatakan bahwa KBBI hanya mengakomodir dua makna dari sekian makna kata thaghut dalam Al-Qur’an.
Model pemaknaan kata tagut yang kedua dan ketiga dalam KBBI pun senada dengan narasi kaum ekstrimis. Aman Abdurrahman misalnya, yang dalam bukunya dengan tegas mentagutkan NKRI, ia dapat dengan leluasa menyebut negara sebagai tagut dengan terlebih dahulu menganggap negara menuhankan dirinya. Manusia dengan logika yang masih sehat tentu tidak akan menyebut negara sebagai tuhan. Para ekstrimis kekeuh menganggap negara menuhankan diri demi tujuan mereka untuk mentagutkannya.
Aman Abdurrahman pun mengutip QS. Al-Nisa’ ayat 60 yang menurutnya adalah landasan bahwa berhukum kepada selain Allah sama dengan menyembah tagut sekaligus kafir. Pak Aman bukannya ngawur dalam memaknai Al-Qur’an, lebih dari itu penafsirannya brutal membabi buta tanpa dasar yang jelas.
Pemaknaan pak Aman berbanding terbalik dengan apa yang telah ditulis para ulama mufasir. Para ulama sepakat bahwa sumber hukum Islam ada empat yakni Al-Qur’an, hadis, ijma‘, dan qiyas. Dua terakhir mengandaikan adanya upaya manusia dalam melakukan istinbat hukum. Terlebih mengenai ayat ini sebelumnya didahului dengan ayat yang menerangkan perihal kewajiban untuk juga taat kepada ulil amri, tidak sedikit ulama yang menyatakan bahwa makna ulil amri adalah pemerintah.
Kembali pada ayat 60 surat al-Nisa dalam kitab Mafatih al-Ghaib disebutkan berbagai versi sebab turunnya ayat ini. Riwayat pertama menyebut bahwa seorang lelaki dari kaum munafik berselisih dengan seorang Yahudi. Orang Yahudi tersebut mengusulkan Nabi saw sebagai penengah, sementara orang munafik mengajukan nama Ka’ab bin Asyraf sebagai hakim. Hal ini karena Nabi SAW menghukumi sesuatu dengan benar dan sama sekali tidak menerima suap. Adapun Ka’ab bin Asyraf dikenal gemar menerima suap. Orang Yahudi berada pada pihak yang benar sementara si munafik di pihak batil. Oleh karenanya orang Yahudi tersebut menghendaki untuk berhukum kepada Nabi SAW sementara si munafik ingin Ka’ab bin Asyraf sebagai hakim.
Orang Yahudi bersikeras dengan ucapannya. Jadilah mereka berdua pergi menuju Nabi SAW. Beliau memberi putusan hukum yang memenangkan orang Yahudi atas si munafik. Tidak terima akan hal ini si Munafik mengajak lawan hukumnya untuk bersama menuju Abi Bakr. Namun Abu Bakr menghukumi seperti yang ditetapkan Nabi SAW, si munafik pun tidak terima lagi. Ia mengusulkan Umar sebagai hakim, keduanya pun berangkat menuju Umar. Orang Yahudi tersebut memberitahukan kepada Umar bahwasanya Nabi SAW dan Abu Bakr telah memberi putusan hukum untuk mereka berdua sementara si Munafik tidak rela dengan keputusan keduanya tersebut.
Umar mengonfirmasi pernyataan orang Yahudi tersebut kepada si munafik, ia pun tidak membantahnya. Umar berkata agar mereka berdua bersabar sejenak menunggu beliau masuk ke dalam rumah untuk menentukan putusan. Di dalam rumah beliau mengabil pedangnya kemudian keluar menuju keduanya. Beliau pun memukul si munafik dengan pedangnya sampai-sampai orang Yahudi tercekat lantas lari pontang-panting.
Keluarga si munafik pun melaporkan Umar kepada Nabi SAW. Beliau meminta Umar bersedia diqishash, dipukul layaknya ia memukul si munafik. Sebelum itu Umar mengadu kepada Nabi SAW bahwasanya si munafik telah menolak hukum beliau. Malaikat Jibril pun turun seraya mengabarkan bahwasanya al-Faruq telah membedakan antara yang hak dengan yang batil. Nabi SAW pun bersabda kepada Umar: engkau adalah al-Faruq. Pada riwayat ini al-Razi menegaskan bahwa tagut tidak lain adalah Ka’ab bin Asyraf.
Riwayat yang kedua perihal turunnya ayat ini yakni mengenai masuk Islamnya sekelompok Yahudi dan nifaqnya sebagian kelompok lain. Adalah bani Quraizhah dan Nadhir pada zaman jahiliyah ketika seorang dari klan Quraizhah membunuh seorang dari klan Nadhir maka ia dihukum mati serta membayar diat sebesar 100 ton kurma. Sementara ketika seorang dari klan Nadhir membunuh anggota klan Quraizhah maka ia tidak dihukum mati dan hanya membayar diat sebesar 60 ton kurma. Bani Nadhir pada saat itu lebih mulia dan menjadi pemuka suku Aus, sementara bani Quraizhah adalah pemuka suku Khazraj.
Ketika Nabi SAW telah hijrah ke Madinah, seorang anggota bani Nadhir membunuh seorang Quraizhah sehingga kedua kubu bersitegang. Bani Nadhir menegaskan mereka tidak dikenakan qishash dan akan membayar 60 ton kurma seperti sebelum-sebelumnya. Suku Khazraj pun menegaskan bahwa hukum itu adalah produk jahiliyah sementara semenjak kedatangan Nabi saw semuanya setara di mata hukum, tidak ada yang lebih kebal.
Bani Nadhir menolak pernyataan tersebut, orang-orang munafik pun berkehendak untuk pergi pada Abi Burdah si dukun. Sementara kaum Muslim mengusulkan agar mereka pergi menuju Nabi SAW. Kaum munafik tetap menolak seraya meminta si dukun untuk memberi putusan hukum di antara mereka. Maka turunlah ayat ini. Rasulullah SAW pun menyeru kepada si dukun untuk masuk Islam, ia pun berislam. Riwayat ini dari al-Suddi. Pada riwayat ini al-Razi menegaskan bahwa tagut di sini adalah dukun.
Riwayat ketiga menyebutkan pendapat al-Hasan bahwasanya seorang lelaki Muslim memiliki hak atas seorang lelaki munafik. Si munafik tersebut berkehendak mengajaknya kepada berhala seperti halnya kaum jahiliyah ketika menyelesaikan masalah hukum. Seorang lelaki berdiri untuk mengungkapkan kebatilan yang dikehendaki berhala. Sehingga tagut adalah lelaki tersebut.
Riwayat keempat menyatakan bahwasanya mereka orang-orang jahiliyah berhukum kepada berhala-berhala. Mode mereka adalah dengan melempar undian di hadapan berhala, apa yang keluar dari undian tersebut maka mereka memutuskan dengannya. Maka pada riwayat ini tagut adalah berhala tersebut.
Al-Razi juga menyatakan bahwa maksud kalam ayat ini adalah sebagian orang menghendaki untuk berhukum kepada sebagian pembuat kemungkaran dan sama sekali tidak ingin berhukum kepada Nabi saw. Hal yang perlu diketahui perihal konteks masa Nabi SAW, bahwa beliau adalah simbol keadilan dan kesetaraan dalam memutuskan hukum. Oleh karenanya tidak menghendaki berhukum kepada beliau sama dengan sengaja menyelisihi keadilan itu sendiri.
Kembali pada pernyataan pak Aman yang meyakini bahwa sumber hukum hanya Allah dan manusia tidak berhak menghukumi sesuatu. Menurutnya manusia yang membuat hukum sendiri adalah sosok yang menuhankan dirinya. Sementara pada ayat ini dan ayat sebelumnya dinyatakan selain kepada Allah juga diperintahkan untuk mentaati Rasulullah dan ulil amri. Ayat ini sendiri seperti yang dikatakan al-Razi menggambarkan bagaimana konteks masyarakat pada masa Nabi SAW menjalankan hukum, termasuk Rasulullah saw pribadi ketika menetapkan hukum.
Dengan pernyataannya pak Aman bukan hanya menyelisihi apa yang dimaksudkan oleh ayat ini melainkan juga menjadikan hukum Islam seolah tidak menganggap setara umat beragama lain dalam hukum. Lebih dari itu pernyataannya juga menegasikan nilai Islam yang menjunjung tinggi permufakatan yang mengacu pada keadilan. Berbeda jika memang terbukti bahwa permufakatan para elit cenderung menguntungkan diri sendiri, maka umat wajib melakukan kritik. Pengajuan kritik pun harus sesuai dengan konstitusi atau hukum yang berlaku. Bukan dengan cara kerusuhan, pemberontakan, lebih-lebih aksi teror. Menghormati hukum yang adil sama dengan mengamalkan kandungan dari ayat 60 surat al-Nisa.