Bagaimana Hukum Taat Kepada Pemimpin?

Bagaimana Hukum Taat Kepada Pemimpin?

Bagaimana Hukum Taat Kepada Pemimpin?
Credit: IG Presiden Jokowi

Bagaimanapun juga sebuah negara membutuhkan seorang pemimpin yang dipatuhi oleh rakyatnya. Proses pemilihan pemimpin dalam Islam ini merupakan perkara ijtihadi dan tidak ada bentuk baku yang disepakati dalam syariat. Teks yang menjelaskan bagaimana proses pemilihan pemimpin itu dilaksanakan memang ada. Demikian juga dengan teks kriteria pemimpin serta pemilihnya, kita bisa menemukannya dalam banyak teks turats. Namun, perjalanan pemilihan pemimpin dalam wilayah tarikh (sejarah) dan peradaban umat Islam, tidak ditemui adanya satu kesepakatan.

Tarikh al-khulafa’ al-rasyidin dengan tarikh khalifah setelahnya, nampak menunjukkan ketidaksepadanan atau ketidaksamaan. Ketidaksamaan ini, nampak dari sisi pembagian tugas dan peran masing-masing pemimpin dalam konteks negara. Masa setelah Muamiyah ibn Abi Sufyan dari Dinasti Umayyah dikenal sebagai masa monarki absolut, yaitu sistem kerajaan murni yang jauh membedakannya dari masa sebelumnya.  Ini salah satu fakta yang tak bisa ditolak oleh para sarjana muslim manapun.

Dari kesekian perbedaan model dalam proses pemilihan pemimpin, satu yang disepakati oleh syariat adalah bahwa taat pada pemimpin hukumnya adalah wajib berdasarkan nash. Meskipun sifat ketaatan ini bukanlah bersifat mutlak, akan tetapi nash yang menyatakan wajibnya ketaatan itu setidaknya menjadi jaminan bagi terbitnya otoritas negara dan pemimpin negara. Hingga ada sebuah teks pernyataan dari ulama bahwa ketidaktaatan pada pemimpin negara, adalah rawan menjadi sebab bagi mati suu al-khatimah bagi pelakunya. Nash yang menyatakan wajibnya ketaatan itu tertuang dalam Firman Allah SWT, Surat al-Nisa ayat 59:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. Al-Nisa’ [4] : 59)

Di dalam Tafsir al-Thabari (w. 310 H) dinukil sebuah hadis riwayat tafsir yang menjelaskan ayat di atas, sebagai berikut:

عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من أطاعني فقد أطاع الله، ومن أطاع أميري فقد أطاعني، ومن عصاني فقد عصى الله، ومن عصى أميري فقد عصاني

Artinya:

“Dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barang siapa mentaatiku, maka ia taat pada Allah. Barangsiapa taat pada Amir utusanku, maka ia mentaatiku. Dan barang siapa membangkang dari perintahku, maka ia sama dengan membangkang dari perintah Allah. Dan barang siapa membangkang dari Amir utusanku, maka sungguh ia telah membangkang dariku.”(Jami’u al-Bayan fi Ta’wil ay al-Qur’an, halaman 495)

Memang para ulama’ mengalami perbedaan pendapat mengenai maksud dari ulil amri di atas. Namun pendapat yang terkuat adalah menunjuk kepada pengertian umara’ yaitu pemimpin negara (Jami’u al-Bayan fi Ta’wil ay al-Qur’an, halaman 495).

Adanya ikhtilaf di kalangan ulama ini menandakan bahwa ketaatan kepada ulil amri ini memang tidak bersifat mutlak. Akan tetapi bila ditinjau dari hadis yang menyatakan di atas, bahwa hadis itu diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara berulang dari jalur sanad yang berbeda serta diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab shahihnya, maka sifat ketaatan ini tetap dipandang sebagai legitimasi dari syariat sehingga wajib pula melaksanakannya, dalam pengertian terbatas (muqayyad). Keterbatasan ini dibatasi oleh sebuah hadis yang lain dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu:

لا طاعةَ لأحدٍ فِي مَعْصِية الله، إِنما الطّاعة فِي المعروف

Artinya:

“Tidak ada ketaatan bagi seseorang dalam bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (Faidlu al-Qadir Syarah al-Jami’i al-Shaghir, Juz VI, halaman 432).

Di dalam kitab yang sama, juga disebutkan bahwa:

(لا طاعة لأحد) من المخلوقين كائناً منْ كان، ولو أباً أو أما أو زوجاً (في معصية الله)، بل كل حق وإن عظم ساقط إذا جاء حق الله، (إنما الطاعة في المعروف) أي: فيما رضيه الشارع واستحسنه، وهذا صريح في أنه لا طاعة في محرم فهو مقيد للأخبار المطلقة

Artinya:

“(Tidak ada ketaatan pada seseorang) di antara makhluk lainnya, siapapun dia, baik bapak, atau ibu atau suami (dalam berbuat maksiat kepada Allah). Semua hak yang berhubungan dengan anak adam menjadi gugur ketika datang hak Allah. (Sesungguhnya ketaatan itu dalam mengajak berbuat yang ma’ruf), yaitu pada ajakan yang diridlai oleh Syari’ (Allah dan Rasulnya) serta berbuat istihsan. Ini adalah dalil yang jelas mengenai ketiadaan taat pada sesuatu yang diharamkan. Ketaatan itu bersifat dibatasi oleh dalil-dalil hadits yang bersifat mutlak.” (Faidlu al-Qadir Syarah al-Jami’i al-Shaghir, Juz VI, halaman 432).

Adanya legitimasi ketaatan terhadap pemerintah oleh syariat ini, secara tidak langsung menyisakan adanya wewenang bagi pemimpin untuk membuat sebuah kebijakan yang dipandang maslahah bagi rakyatnya. Istilah wewenang ini dalam konteks negara dikenal sebagai kedaulatan. Karena latar belakang wewenangnya yang dibenarkan oleh syariat inilah, maka secara tidak langsung negara bisa membuat aturan yang sebelumnya dipandang sunnah oleh syariat menjadi wajib disebabkan karena adanya kemaslahatan dan dibuat oleh negara. Demikian pula dengan sesuatu yang sebelumnya dipandang wajib oleh syariat, namun karena dibuat dan diatur oleh negara lewat dictumhukum positif negara (hukum wadl’i), maka sesuatu yang wajib itu akan berubah menjadi lebih wajib lagi. Hal yang sama juga berlaku atas sesuatu yang sebelumnya dipandang sebagai mubah oleh syariat, ia akan berubah menjadi wajibbila sesuatu itu diundangkan oleh negara, namun dengan catatan adanya kemaslahatan yang bisa digapai dari pengundangan tersebut.

وحاصله انه إذا أمر بواجب تأكد وجوبه وإن أمر بمندوب وجب وإن أمربمباح فإن كان فيه مصلحة عامة كشرب الدخان وجب بخلاف ما إذا أمربمحرم أو مكروه أو مباح لا مصلحة فيه عامة إهـ

Artinya:

“Sebagai kesimpulan bahasan, bahwa sesungguhnya ketika seorang pemimpin memerintahkan suatu kewajiban (menurut syara’), maka kewajiban itu semakin kuat. Jika ia memerintahkan sesuatu yang sunnah, maka hal itu menjadi wajib. dan , jika ia memerintahkan sesuatu yang mubah, selama mendatangkan kemaslahatan umum, seperti larangan merokok, maka menjadi wajib menjauhi merokok. Lain halnya bila pemimpin memerintahkan suatu keharaman, atau hal-hal yang bersifat makruh atau suatu perkara mubah, akan tetapi tidak memuat unsur maslahah umum di dalamnya, (maka perintah itu tidak wajib diikuti).” (Bujairami ‘ala al-Khatib, Juz II, halaman 238).