Ada banyak teori yang menjelaskan riwayat pertemuan Inggris dengan Islam. Teori kolonialisme, misalnya, menjelaskan relasi itu dari posisi Inggris yang sejak sebelum tahun 1914 telah banyak mengakuisisi banyak negara Islam, seperti Nigeria dan India.
Ditambah dengan status “negara adidaya” pasca Perang Dunia I, negara mayoritas Kristen itu semakin lebar mengekspansi dunia Islam lainnya, dan itu dibaca sebagai fase awal perjumpaan keduanya.
Namun, teori itu dipatahkan oleh teori lain yang mengatakan bahwa di Cardiff, ada sebuah masjid yang telah terdaftar sejak 1860, digunakan pertama kali oleh pelaut Yaman bahkan masih berfungsi hingga saat ini. Serta the Shah Jahan Mosque yang dibangun pada tahun 1889 bersamaan dengan pembangunan masjid tokoh Muslim Inggris Abdullah Quilliam di Liverpool.
Hal itu membuktikan bahwa India dan Yaman turut andil sebagai pembawa Islam di Inggris pada tahap awal. Gagasan ini dikuatkan oleh teori yang mengatakan bahwa terbukanya Terusan Suez pada tahun 1869 membuka jalur bagi para pelaut dari Yaman serta India untuk berdagang atau jadi kuli di pelabuhan di Inggris.
Pada 1961, Inggris menerbitkan sebuah kebijakan Bernama Commonwealth Immigration Act (Undang-undang Imigrasi Persemakmuran). UU ini membuka kran bagi warga negara bekas jajahan Inggris untuk bermigrasi ke Inggris. Saat itu, India dan Pakistan sedang berkonflik.
Sebagaimana diketahui, pada tahun 1947, terjadi pemecahan negara di India dengan terbentuknya Negara Islam Pakistan. Akibat kondisi sosial dan politik yang tak menentu, sejumlah warga India dan Pakistan lebih memilih “hijrah” ke Inggris melalui jaringan kerabat yang sudah menetap di sana. Keputusan mereka ini dipermudah melalui UU imigrasi yang disinggung di atas.
Di periode yang sama, awal tahun 1960-an ke atas, gairah beberapa negara Islam untuk mengirim mahasiswa-mahasiswanya untuk belajar di Inggris mulai meningkat. Negara-negara ini, antara lain, adalah Arab Saudi, Malaysia, Iran, Iraq dan Pakistan.
Secara tidak langsung, mahasiswa Muslim membawa pengaruh terhadap gerakan akademisi kaum Muslim di Inggris. Mereka membentuk organisasi ke-Islam-an dan mempromosikan Islam dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan serta dialog lintas identitas.
Dalam buku Denyut Islam di Eropa, pada pembahasan mengenai Islam di Inggris, dijelaskan bahwa muslim Inggris dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka yang berasal dari kultur non-British, tapi bermigrasi ke Inggris. Ini merujuk pada mereka yang telah bermigrasi sejak awal ke Inggris dengan tujuan menetap di sana, baik para buruh, murni imigran atau keluarga buruh dan mahasiswa.
Kedua, umat Muslim (di) Inggris merupakan anak cucu atau keturunan darah dari kelompok pertama. Mereka sering terlihat sebagai komunitas Muslim di antara dua dunia. Sekolah modern berupaya mengasuh mereka sehingga secara perlahan-lahan menggerus identitas tradisional mereka. Di sisi lain, mereka masih terikat oleh kultur agama bapak ibu bahkan tradisi dari negara asal mereka.
Ketiga, pribumi Inggris (native) yang memeluk Islam, atau lazim disebut revert community. Kelompok ini relatif kecil dibanding kelompok lain. Hal ini berdasarkan pendapat Robin Philips mengenai terjadinya krisis demografi pada warga kulit putih di Inggris, sehingga islamisasi di Inggris berjalan sangat lancar.
Masuknya Islam di Inggris memperkaya ragam identitas yang sudah ada di sana sebelumnya. Oleh karena itu, Inggris lebih cenderung menerapkan konsep multikulturalisme alih-alih integrasi. Hal ini untuk menjaga para imigran untuk tidak memberontak atau keluar dari Inggris. Apalagi dengan status Inggris sebagai negara maju, peran imigran sangat dibutuhkan sebagai tenaga pekerja di Inggris, mengingat human capital (SDM) adalah sesuatu yang perlu jika dipandang dari segi pengembangan ekonomi.
Islam di Inggris merupakan perwujudan Islam yang universal serta majemuk. Kehidupan Muslim di Inggris, sangat didukung oleh kebijakan Multikultural pemerintah Inggris.
Kebijakan itu membawahi banyak organisasi keagamaan lainnya, seperti the Hindu Council UK, the Network of Sikh Organisations, the Buddhist Society, the Board of Deputies of British Jews, dan the Muslim Council of Britain. Beragam identitas ini dilindungi oleh The Equality Act 2010, sebuah instrumen hukum di Inggris yang menjamin kebebasan beragama dan mengakui semua ekspresi keagamaan di tanah Britania.
Maka tidak heran, jika memasuki bulan Ramadhan, Inggris selalu mendapat atensi media dengan kebijakan tolerannya di ranah olah raga. Dalam sepak bola misalnya, otoritas Liga Inggris telah merencanakan memberikan jeda pertandingan kepada para pemain Muslim yang sedang berlaga untuk berbuka puasa.
Sebelumnya, umat Muslim memang diperkenankan untuk berbuka puasa di tengah laga, namun pertandingan itu tetap berjalan. Kali ini, Premier League memberikan kewenangan kepada wasit yang memimpin jalannya pertandingan untuk menghentikan laga sementara agar para pesepak bola Muslim memiliki kesempatan berbuka puasa terlebih dahulu.
Toh, jeda waktu pertandingan tidak akan berlangsung lama. Karena biasanya, Mohamed Salah hanya berbuka puasa dengan minuman dan makanan kecil ketika bertanding.
Seperti diketahui, periode Ramadhan dimulai pada 22 Maret 2023 dan berlanjut hingga 21 April 2023 waktu Inggris. Dalam masa-masa itu, bertepatan dengan padatnya jadwal pertandingan di kompetisi-kompetisi Eropa termasuk Liga Inggris.
Dengan rencana tersebut, Liga Inggris pun membuktikan kalau mereka memiliki toleransi tinggi kepada para pesepakbola Muslim. Nantinya, wasit akan lebih dulu mengidentifikasi pemain menjelang pertandingan dimulai untuk memutuskan apakah perlu memberlakukan kebijakan jeda laga untuk berbuka puasa.
Sebagai negara Kristen Ortodoks, Inggris bisa dibilang berhasil memberi kesejahteraan bagi pemeluk agama lain, yang notabene bukan dominan di sana. Muslim di Inggris memang masih mendapat banyak tantangan, paling kentara adalah aksi islamofobia.
Namun paling tidak, secara umum, Muslim merupakan bagian dari ekosistem toleran dan multikultural yang berhasil dibangun oleh Inggris sejak awal perjumpaannya.