Hingga saat ini, Iran masih berstatus sebagai salah satu “algojo” top dunia dalam hal penegakan hukum. Baru-baru ini, pengadilan Iran mengumumkan eksekusi terhadap dua pria yang dijatuhi hukuman mati karena penistaan agama pada Senin 8 Mei 2023.
Seperti yang dilaporkan Al-Jazeera, situs berita pengadilan Mizan mengidentifikasi keduanya sebagai Yousef Mehrad dan Sadrollah Fazeli Zare. Laporan itu mengatakan kejahatan mereka mencakup menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW, serta menggunakan platform dunia maya untuk menyebarluaskan kebencian terhadap Islam dan mempromosikan ateisme.
Menurut Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional, keduanya ditangkap pada Mei 2020 dengan tuduhan keterlibatan dalam saluran di aplikasi pesan Telegram yang disebut “Kritik Takhayul dan Agama”. Kedua pria itu menghadapi kurungan isolasi selama berbulan-bulan dan tidak dapat menghubungi keluarga mereka.
Kasus Penodaan Agama dan Hukuman Mati di Iran
Iran memiliki pengalaman sejarah panjang tentang hubungan negara dengan agama, dan akhirnya memilih penyatuan agama dan negara. Pelbagai pola interaksi antara pemerintah dengan rakyatnya, pada akhirnya mempengaruhi sistem manajemen agama.
Iran mengimplementasikan sistem hukum berdasarkan syariat Islam yaitu al-hadd. Sistem hukum ini disandarkan pada al-Qur’an. Sebagai konsekuensinya, KUHP Islam negara ini berbunyi, “Di mana ada orang yang melakukan pelanggaran serupa dapat dihukum dengan hukum hadd (al-hudud) tiga kali dan setiap kali hadd ada hukumannya dengan hukuman mati sebagai hukuman terakhir.
Hukuman mati itu salah satunya diperuntukkan bagi terdakwa kasus penistaan agama. Karena beratnya hukum itu, kasus penodaan agama di Iran sangat jarang ditemukan. Namun di luar itu, jumlah hukuman mati Iran masih menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Bahkan kedua di dunia setelah Tiongkok. Arab Saudi menempati urutan ketiga di dunia dan Irak peringkat keempat.
Iran telah mengeksekusi mati setidaknya 203 tahanan sejak awal tahun ini saja. Hak Asasi Manusia Iran melaporkan, Iran mengeksekusi 333 orang pada 2021, kemudian naik menjadi sedikitnya 582 orang pada 2022. Hal ini membuat Iran mendapat kecaman tidak hanya dari aktifis HAM di seluruh dunia, melainkan dari dalam Iran sendiri.
Mahmood Amiry-Moghaddam, yang memimpin Hak Asasi Manusia Iran, mengecam eksekusi tersebut karena tak lebih dari menampilkan “sifat abad pertengahan” dari teokrasi Iran. Sekelompok pakar PBB juga pernah menyoroti kekhawatiran tentang kriminalisasi penistaan agama Iran. Mereka mendesak pemerintah Iran untuk mengambil langkah-langkah yang berarti untuk memastikan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dan kebebasan berpendapat dan berekspresi tanpa diskriminasi.
Penistaan Agama dan Masa Depan Imaji Islam
Sejak satu dekade terakhir, negara-negara Arab dikejutkan oleh lonjakan ateisme di tengah masyarakatnya. Mereka yang mengaku tidak beragama merasa gerah dengan citra agama, terutama Islam, yang sangat dekat dengan kekerasan dan cenderung kontra dengan kemanusiaan.
Terutama di Iran, berdasarkan survei Iranian’s Attitudes Toward Religion pada 2020, sekitar 47 % beralih dari beragama menjadi tidak beragama. Lebih rinci, 9% mengidentifikasi diri sebagai ateis, 8% sebagai Zoroastrian, dan 6% sebagai agnostik. Sekitar 22% mengaku tak terikat dengan agama atau kepercayaan mana pun.
Asisten profesor Studi Keagamaan dari Universitas Utrecht, Pooyan Tamimi Arab, melihat perubahan di Iran sebagai dampak dari sekularisasi. Namun, dari sudut pandang dia, faktor yang paling menentukan adalah keterikatan antara negara dan agama. Ia menggarisbawahi, aturan negara berbasis dalil agama yang kaku, ketat dan mengikat menyebabkan penduduk membenci agama institusional meskipun mayoritas masih percaya pada Tuhan.
Citra ini tidak hanya menghantui kalangan Muslim, melainkan masyarakat non-Muslim di luar negara-negara Arab. Di satu sisi, radikalisme di kalangan Islam memang menjadi faktor utama wajah Islam yang negatif di seluruh dunia. Namun, kebijakan seperti yang ditampilkan Iran tetap membawa persepsi kepada dunia bahwa Islam sangat dekat dengan kekerasan dan kematian.
Refleksi Kasus Penistaan Agama di Indonesia
Pekan lalu, pasal penistaan agama di Indonesia kembali digalakkan untuk menuntut Tiktoker terkenal, Lina Mukherjee. Ia ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama karena membuat konten yang dipandang memenuhi unsur penghinaan terhadap Islam. Kontennya adalah memakan kulit babi dengan terlebih dahulu membaca basmalah. Tindakan ini dipandang oleh sebagian kelompok Islam sebagai bentuk penistaan terhadap Islam.
UU Penistaan Agama masih menjadi bagian dari sistem hukum di Indonesia, setidaknya pasca rancangan baru KUHP disahkan di akhir 2022 lalu. Memang, hukuman penistaan agama tidak sampai pada eksekusi mati. Namun, banyak yang mengkritisi urgensi hadirnya pasal ini utamanya soal upaya mengakomodir mayoritas, pembatasan kebebasan berekspresi, dan potensi diskriminasi.
Penistaan agama tidak menjadi kejahatan luar biasa di Indonesia, namun pada tataran tertentu pasal ini menjadi instrumen sebagian pihak untuk menghakimi pihak lainnya. Zainal Abidin Bagir menegaskan bahwa penerapan Pasal 156a KUHP dan UU Penodaan Agama kerap diskriminatif terhadap orang atau kelompok keagamaan tertentu, atau yang tak beragama. Ini di antaranya dimungkinkan oleh penafsiran yang terlalu subjektif dan longgar atas pasal-pasal yang memang pada dasarnya sudah bersifat kabur.
Jika hendak ditarik garis positif, apa yang terjadi di Iran tampak tidak mungkin terimplementasi di Indonesia. Pancasila dan karakter beragama masyarakat kita yang moderat menjadi kunci pasal ini tidak bergerak lebih jauh dan melampaui batas. Citra Islam yang ramah terhadap kemanusiaan itu bisa dimulai di dan dari Indonesia.