“Bahkan dalam hal protokol kesehatan saja saya patuh pada aturan pemerintah” ~ Khalid Basalamah
Muatan ceramah Ustadz Khalid Basalamah itu satu hal, sedangkan rasa cinta Ustadz Khalid kepada Indonesia itu adalah hal lain. Kalau kamu merasa telah menjadi seorang nasionalis, bukan berarti yang terlihat agamis akan auto benci Indonesia. Membenturkan kedua hal itu sungguh merupakan perilaku yang ironi.
Memang, pandangan keagamaan Ustadz Khalid cenderung konservatif. Dan, jangan keliru, konservatif itu tidak selalu buruk. Saya belakangan justru menyadari bahwa keberadan pendakwah seperti Ustadz Khalid itu terkadang menjadi penting, paling tidak untuk menegaskan bahwa Islam itu penuh dengan khazanah pandangan.
Lagi pula, Ustadz Khalid bukan bagian dari kelompok vigilante. Perbedaan pendapat tidak lantas membuatnya terdorong untuk mengerahkan massa, melakukan sapu bersih tempat-tempat yang dianggap kotor.
Bisa dibilang, jama’ah Ustadz Khalid adalah kebanyakan diisi oleh kelas menengah perkotaan. Ini jika kita memperhatikan latar tempat dia berceramah seperti Blok M. Mereka adalah pekerja, dan mungkin pelajar tingkat lanjut. Artinya, bisa dibilang kalau pengakses ceramah Khalid Basalamah adalah orang-orang yang sadar bahwa mereka berada di bawah pemerintah sah Indonesia. Mereka tetap membayar pajak meski telah berzakat. Mereka berhaji dengan visa Indonesia. Bahkan, mereka tetap mendaftarkan NIK dan KK untuk SIM Card, sebelum mengkonsumsi ceramah Ustadz Khalid di Youtube.
“Tapi kan Ustadz Khalid berjenggot!!”
Innalillah. Begini. Sejak kapan jenggot menjadi alat takar nasionalisme? Che Guevara juga berjenggot kali. Lebih tebal malah. Sigmund Freud pun berjenggot.
Setiap orang itu punya preferensinya sendiri-sendiri. Ustadz Khalid meyakini bahwa pilihannya itu merupakan sebuah laku untuk meniru sunnah Nabi Muhammad. Dan, sunnah Nabi sendiri ada banyak sekali. Ada yang universal, ada juga yang situasional. Tidak semuanya bisa kita lakukan secara bersamaan.
14 abad bukan waktu yang sebentar, Fren. Dalam satu abad terakhir saja, kita telah mengalami banyak perubahan. Sekarang kalau kamu tersesat di sebuah labirin Pogung Kingdom, Gmaps mungkin bisa membantumu. Dalam hal ini, kita jelas jauh lebih beruntung ketimbang pilot-pilot Amerika saat pertempuran Midway di Perang Dunia II yang keberuntungannya saat itu bergantung pada pelangi untuk menemukan armada Jepang. Ini terjadi di tahun 1942.
Lalu, apa yang kamu harapkan dari peradaban 1400 tahun yang lalu? Secara substansial mungkin tidak masalah. Saya justru mendukung penuh. Nabi Muhammad meneladankan nilai-nilai perdamaian, kerukunan, persatuan, keadilan, dan masih banyak lagi yang ejawantahnya bisa kita jumpai dalam keseharian beliau SAW.
Nabi Muhammad, misalnya, pernah menggentarkan oposannya bukan dengan angkat senjata, tapi justru lewat jaminan keselamatan bagi mereka yang merapat ke rumah Abu Sufyan. Ini terjadi saat fathu Makah.
Lalu, Nabi juga pernah membikin Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) untuk mempersatukan penduduk setempat dan mensetarakan posisi komunitas Mukmin, Yahudi, maupun kelompok pagan (indegenous) di bawah konstitusi yang mereka sepakati bersama. Nabi tidak pernah membenturkan, umpamanya: Piagam Madinah atau al-Qur’an?!!
Meski begitu, kita tidak bisa sekonyong-konyong menjiplak secara tekstual Piagam Madinah ke Indonesia, sambal berkoar bahwa kita harus menerapkan sunah Nabi secara total. Lha gimana, Yahudi tidak diakui sebagai agama resmi kok. Jadi, secara prasyarat, angan-angan yang masyaAllah itu sudah batal dengan sendirinya.
Itu juga berlaku untuk apa-apa yang berada di masa Nabi yang bersifat artifsial. Dalam sebuah podcast bersama Deddi Corbuzier, Ustadz Khalid memberi contoh tentang perbudakan.
Di masa Nabi, praktik perbudakan masih terjadi dan itu merupakan fenomena biasa saja. Untuk itu, dalam banyak kesempatan Nabi Muhammad bilang kepada para sahabatnya agar “merdekakanlah budak,” kendati tetap memilikinya pun juga tiada soal.
Meski begitu, fakta historis ini tidak bisa menjadi alasan agar kita kembali melegalkan sistem perbudakan, sekalipun atasnama sunnah. Soalnya, aspek budaya yang di tanah asalnya tidak berbahaya boleh jadi mengancam di masyarakat yang didatangi. Demikian Arnold J. Toynbee dalam salah satu dalilnya tentang “radiasi budaya”.
Atau lebih ekstrem, mentang-mentang moda transportasi di zaman Nabi adalah unta, lalu dengan hasrat surgawi yang meledak-ledak kamu jual Ferrari atau Lamborghini. Ya gapapa sih kalo emang pernah punya keduanya, dengan catatan untuk disumbangin ke panti asuhan.
Maka, di sinilah elan vital Pancasila, lagu Indonesia Raya, atau demokrasi. Secara substansial sama, tapi artifisialnya berbeda.
Wa ba’du, adalah sama naifnya kalau kamu justru mereduksi sunnah Nabi sebatas jenggot tebal. Lagian, hafal al-Qur’an juga sunnah Nabi. Tidak membaca surat yang panjang-panjang saat jadi Imam Shalat di masjid umum juga termasuk sunnah Nabi. Plus, tidak mengunci gerbang masjid sehingga orang yang kebelet pipisnya sudah bukaan delapan bisa numpang ke toilet juga sunnah Nabi.