Sebenarnya jumlah rakaat shalat tarawih itu tidak ada batasan sama sekali. Mau kurang dari 8 rakaat, silahkan. Mau lebih dari 8 rakaat atau lebih dari 20 rakaat juga silahkan. Hal ini berpatokan kepada sebuah hadis sahih:
من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barang siapa yang mendirikan ibadah malam di bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka akan diampuni dosanya (dosa-dosa kecil) yang telah lalu”. (HR: Bukhari)
Kata “قام” disitu juga bisa berarti mendirikan ibadah malam seperti shalat tarawih tanpa ada batasan jumlahnya berapapun.
Benar. Dalam mazhab Hanafi, Syafii, dan Hanbali, jumlah rakaat salat Tarawih (menurut kesepakatan mayoritas) adalah 20 rakaat. Hal ini juga berpatokan kepada Ijma’ (kesepakatan) para sahabat atas suruhan khalifah ‘Umar bin Khattab di masanya untuk melakukan salat tarawih sebanyak 20 rakaat secara berjamaah dengan Ubay bin Ka’ab sebagai imamnya. Dan tidak ada sahabat lain yang menyanggah keputusan Sayyidina Umar waktu itu. (bahasan ini sudah masyhur dalam kajian Ushul Fiqh).
Lain halnya dengan mazhab Maliki, jumlah rakaat salat tarawih bisa mencapai 36 rakaat bahkan sampai 46 rakaat (menurut suatu riwayat). Selain itu juga ada sebagian (minoritas) ulama mazhab Hanafi, seperti Imam Al-Kamal Ibnu al-Humam dalam kitabnya Fathul Qadir mengatakan bahwa shalat tarawih berjumlah 8 rakaat.
Tapi masalahnya kok kebanyakan umat Islam selalu ribut dengan persoalan batasan shalat tarawih apakah 20 rakaat atau 8 rakaat? Biasanya ini terjadi dalam perdebatan yang ranahnya multitafsir. Khususnya dalam memahami hadis Nabi SAW Mari kita coba telusuri.
Misalnya, yang setuju bahwa shalat tarawih berjumlah 20 rakaat, biasanya mereka berpijak dengan dalil hadis riwayat Imam al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabir dari jalur Ibnu Abbas.
Redaksi hadisnya:
كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في رمضان عشرين ركعة والوتر
“Nabi Saw melakukan salat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir”
Adapun yang berkeyakinan bahwa shalat tarawih berjumlah 8 rakaat, biasanya mereka berpijak pada dalil hadis yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Humaid yg kemudian dikutip lagi oleh Imam al-Zahabi dan Imam Ibn Hibban dari jalur Jabir ibn ‘Abdillah. Redaksinya:
صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة في رمضان ثماني ركعات والوتر
“Rasulullah SAW melakukan salat bersama kami pada malam bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat dan witir”.
Kalau memang dua hadis ini yang menjadi landasan bagi masing-masing kelompok, maka ketahuilah bahwa kedua hadis ini bermasalah dan tidak bisa dijadikan landasan.
Mengapa demikian?
Mari kita tinjau dari sudut pandang Ilmu Hadis. Dalam hal ini saya mencoba untuk mengingat kembali ilmu-ilmu yang telah diajarkan guru kami, Allah yarham Syaikhuna Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, seorang ulama besar yang begitu pakar dalam bidang Fiqh dan Ilmu Hadis.
Pertama, hadis riwayat al-Thabrani dari jalur Ibnu Abbas yang dijadikan sebbagai dalil shalat tarawih 20 rakaat statusnya adalah semi palsu. Sebab dalam sanadnya terdapat rawi bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman yg dinilai sbg seorang “pendusta” oleh Imam Syu’bah. Menurut Imam al-Tirmizi, hadis-hadis yg diriwayatkan Ibrahim bin Utsman berstatus munkar. Sedangkan Imam al-Nasai mengatakannya matruk (semi palsu). Simpelnya, hadis ini tidak bisa dijadikan patokan.
Kedua, hadis riwayat Jabir bin ‘Abdillah yang dijadikan landasan atau legitimasi atas shalat tarawih 8 rakaat ternyata juga dinilai bermasalah. Hal ini dikarenakan dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama ‘Isa bin Jariyah yang hadis-hadisnya oleh Ibnu Ma’in (komentator hadis) dinilai sebagai munkarul hadis. Bahkan, Imam al-Nasai menyebut ‘Isa bin Jariyah sebagai Matruk (pendusta). Dengan demikian, hadis ini tidak bisa dijadikan pegangan.
Sebenarnya, hadis Jabir ada dua versi: satu versi terkait riwayat bahwa Ubay bin Ka’ab shalat tarawih di rumahnya delapan rakaat, lalu witir. Saat itu Ubay melaporkan apa yang telah dikerjakannya kepada Nabi namun Nabi tidak memberikan komentar apa-apa (taqrir dari Nabi). Sedangkan versi kedua terkait fakta di lapangan ketika Nabi salat bersama para Sahabatnya sebagaimana yang telah disampaikan diatas. Nah, pada semua sanad dari dua hadis ini tetap terdapat rawi bernama ‘Isa bin Jariyah tadi.
Lantas bagaimana dengan hadis sahih riwayat al-Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman? bahwasanya ketika Siti ‘Aisyah r.a ditanya mengenai salat Rasulullah SAW pada Ramadhan, dalam hadis tersebut Siti ‘Aisyah menjawab yang intinya sebagai berikut:
ما كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة
“Nabi Saw tidak pernah menambah salat sunnah pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya melebihi dari 11 rakaat…. (HR. Bukhari & Muslim)”.
Lagi-lagi, Konteks hadis tersebut tidak sedang berbicara soal salat tarawih melainkan shalat witir. Tidak ada secara eksplisit disebut kata “tarawih” disitu. Hadis tersebut juga tidak sedang menerangkan jumlah bilangan salat tarawih, melainkan hanya menerangkan jumlah maksimal bilangan salat witir.
Terlebih lagi disitu disebutkan kata “bulan Ramadhan dan bulan lainnya” yang dengan jelas mengisyaratkan akan shalat witir bukan tarawih. Sebab, shalat tarawih hanya ada khusus di bulan Ramadhan. Pandangan seperti ini juga sesuai dengan apa yang pernah ditulis oleh seorang ulama besar Minangkabau bernama Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) dalam kitabnya Pedoman Puasa.
Terlepas dari adanya dinamika penafsiran tentang salat tarawih dan jumlah bilangan rakaatnya, seyogyanya hal tersebut jangan membuat kita merasa lebih baik dari yang lain lalu kemudian menyalahkan yang tidak sependapat dan sepemahaman dengan kita. Jangan sampai kita berpecah-belah apalagi dalam hal-hal yang sifatnya furu’iyyah belaka. Yang terpenting kan salat tarawihnya. Mau 8 atau 20 rakaat atau lebih dari itu ya silahkan saja. Semakin banyak jumlah rakaat tarawihnya tentu semakin banyak pahalanya. Semakin khusyu’ salatnya tentu semakin baik amalnya. Ya, masing-masing punya dalil dan argumen.