Mana yang Didahulukan, Bekerja atau Shalat Tarawih?

Mana yang Didahulukan, Bekerja atau Shalat Tarawih?

Waktu shalat Tarawih kebetulan sama dengan waktu kerja. Mana yang harus kita pilih, bekerja atau shalat Tarawih?

Mana yang Didahulukan, Bekerja atau Shalat Tarawih?

Ramadhan selalu erat kaitannya dengan shalat Tarawih. Walaupun bukan salah satu kewajiban dalam ibadah Ramadhan, namun Tarawih sudah menjadi ciri khas. Siapa saja yang mengaku ingin beribadah malam hari Ramadhan, maka salah satu pilihan utamanya adalah sahalat Tarawih.

Namun demikian, bekerja dan mencari penghasilan untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari adalah sebuah kewajiban. Terkadang kita tidak bisa menentukan kapan jadwal atau shift jaga kita. Misalnya, ada pekerjaan sebagai satpam atau dokter jaga yang memiliki shift kerja bertepatan dengan shalat Tarawih, maka kita pun harus memilih, antara meninggalkan pekerjaan atau meninggalkan ibadah shalat Tarawih.

Baca juga: Shalat Tarawih di Rumah atau Masjid? Prof. Quraish Shihab: Pilihlah yang Mudah dan Tidak Berbahaya

Lalu, bagaimana menyikapi ini? Kondisi satpam dan dokter sangat dilematis, yakni meneruskan jaga, atau ikut shalat Tarawih. Lalu bagaimana Islam memandang hal ini?

Sebelum membahas hal itu, kita perlu mengetahui hukum asal dari shalat Tarawih dan bekerja. Pertama, hukum shalat Tarawih adalah sunnah, bukan wajib. Rasulullah SAW sendiri telah menunjukkannya. Rasul SAW sengaja tidak melakukan shalat Tarawih setiap malam selama bulan Ramadhan agar shalat itu tidak disangka wajib oleh umatnya.

Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, Rasulullah SAW bersabda: “Aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali kalau salat ini diwajibkan pada kalian.” Yang dimaksud aku tidak datang ke masjid adalah melaksanakan shalat malam atau shalat Tarawih dalam bahasa kita sekarang.

Kedua, hukum bekerja adalah wajib. Apalagi pekerjaan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan anak-istri atau keluarga. Jika kita tidak bekerja, maka anak-istri kelaparan. Atau pekerjaaan itu menyangkut keselamatan dan kemaslahatan yang lebih luas, misalnya dokter jaga dan satpam, petugas keamanan. Maka pekerjaan semacam ini tidak bisa asal ditinggalkan hanya karena ibadah sunnah.

Dalam kasus satpam misalnya, jika tempat yang dijaga dibiarkan atau ditinggal shalat Tarawih, bisa jadi ada maling yang masuk. Begitu juga dengan dokter jaga, jika tidak ada orang lain lagi yang menjaga dan ia pergi shalat Tarawih, dikhawatirkan ada pasien yang meninggal dunia karena telat tertangani.

Atas pertimbangan tersebut, maka kita tidak boleh meninggalkan pekerjaan yang sudah menjadi tanggung jawab kita hanya untuk melakukan perkara sunnah. Jika usai bekerja, kita masih ada waktu untuk melakukan Tarawih, maka bisa dilakukan saat itu. Namun jika waktu kerja sampai pagi, maka tidak masalah meninggalkan shalat Tarawih. Itu menjadi bagian dari hikmah Rasulullah SAW tidak melakukan Tarawih setiap hari.

Jangankan shalat Tarawih yang sunnah, Rasulullah SAW saja pernah membolehkan orang untuk meninggalkan shalat Jumat dengan alasan tertentu. Rasululah SAW pernah bersabda ketika ditanya oleh Ibnu Abbas tentang uzur yang memperbolehkan seorang tidak mengikuti shalat Jumat atau jamaah:

ما روى ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ” من سمع النداء فلم يأته فلا صلاة له إلا من عذر قالوا يا رسول الله وما العذر قال خوف أو مرض “

“Diriwayatkan oleh Ibn Abbas RA. berkata, “Siapa yang mendengar suara adzan kemudian ia tidak datang, maka ia telah meninggalkan shalat kecuali orang yang uzur.” Kemudian para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud Uzur, wahai Rasulullah SAW?” Rasul menjawab, “takut dan sakit.”

Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan bahwa Allah SWT tidak menjadikan agama sebagai sebuah kesulitan atau kesusahan,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Q.S al-Hajj: 78)

Dalam al-Majmu’, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa di antara uzur shalat Jumat adalah kekhawatiran atas harta atau nyawa orang lain yang dilindungi. Satpam dan dokter jaga adalah dua profesi yang bertanggung jawab atas harta dan nyawa orang lain. Sehingga bisa dimasukkan dalam kategori uzur ini.

ومنها أن يخاف على نفسه أو ماله أو على من يلزمه الذب عنه من سلطان أو غيره ممن يظلمه

“Di antara uzur-uzur (meninggalkan shalat) adalah adanya kekhawatiran atas nyawa atau harta, baik bagi dirinya sendiri atau pihak-pihak yang wajib dilindungi nyawanya baik dari pemerintah atau lainnya, dari orang zalim.”

Baca juga: Bolehkah Satpam dan Dokter Jaga Tidak Ikut Shalat Jumat?

Kaul Imam an-Nawawi ini sebenarnya masuk dalam bab shalat Jamaah, sehingga yang dimaksud uzur meninggalkan shalat dalam hal ini adalah shalat jamaah. Namun dalam bab shalat jumat, secara khusus Imam an-Nawawi menyebutkan bahwa semua uzur yang diperbolehkan untuk meninggalkan shalat jamaah, sama juga dalam kondisi shalat jumat.

كل عذر سقطت به الجماعة في غير الجمعة سقطت به الجمعة الا الريح في الليل لعدم تصوره

“Setiap uzur yang dapat menggugurkan (kewajiban) shalat Jamaah pada hari selain hari Jumat, bisa juga menggugurkan kewajiban shalat Jumat di hari Jumat, kecuali kedinginan di malam hari karena tidak akan terjadi pada siang hari ketika shalat Jumat.”

Nah, dari beberapa penjelasan di atas, satpam yang sedang piket di hari Jumat, serta dokter jaga di hari Jumat saja, boleh meninggalkan shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat dzuhur. Apalagi hanya shalat Tarawih yang sunnah dan bisa kita ganti dengan shalat lain.

Oleh karena itu, jika kita melihat orang lain yang bekerja pada saat shalat Tarawih, jangan lantas kita anggap mereka sebagai orang yang lebih mendahulukan dunia dari akhirat. Apalagi sampai memvonis mereka masuk neraka. Naudzubillah min dzalik. (AN)

Wallahu a’lam.