“Letak bunuh diri karena judi bukan saat lehermu tergantung, tapi saat kau memulai judi (online) dengan alasan coba-coba.”
Ungkapan itu saya temukan ketika scroll lini masa di media sosial dan menemukan karya visual sangat menarik dari akun seorang content creator, @banggaber.
Ya, dalam beberapa tahun terakhir, dunia digital telah mengalami transformasi besar-besaran. Namun di balik kemajuan teknologi ini, ada sisi gelap yang jarang tersorot.
Salah satu yang paling mengkhawatirkan adalah meloncatnya kasus judi, prostitusi, dan pinjaman online. Parahnya, hal itu melibatkan anak-anak dan remaja di Indonesia.
Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), misalnya, menunjukkan ada 197.540 anak yang terlibat judi daring selama 2024 dengan transaksi mencapai Rp 293,4 miliar. Fenomena ini bukan hanya masalah kriminal biasa, tapi juga cerminan dari relasi kekuasaan dan ekonomi politik media yang cukup kompleks.
Vincent Mosco, seorang pakar di bidang ekonomi politik media, menawarkan konsep menarik untuk memahami fenomena yang melilit gen z. Mosco menjelaskan tentang komodifikasi, spasialisasi, dan strukturisasi dalam media.
Pertama yang musti dipahami adalah anak-anak dan remaja rentan menjadi komoditas digital, apalagi di era serba media. Perusahaan teknologi dan platform media sosial melihat para penggunanya sebagai target pasar yang menguntungkan.
Data pribadi, waktu, dan perhatian anak-anak dijual kepada pengiklan untuk keuntungan ekonomi. Dengan cara ini, perusahaan teknologi mengkomodifikasi aktivitas online para penggunanya tanpa memikirkan dampaknya.
Proses komodifikasi ini melibatkan pengubahan aktivitas sehari-hari anak-anak menjadi nilai ekonomi. Ketika anak-anak bermain game online atau menggunakan media sosial, setiap yang mereka klik, like, dan komentari akan diubah menjadi big data yang dapat dimonetisasi.
Perusahaan-perusahaan ini menggunakan algoritma canggih untuk menganalisis data tersebut dan mengirimkan iklan yang ditargetkan. Dalam kasus judi online, anak-anak terpapar iklan yang dirancang untuk menarik mereka ke dalam dunia pergunduan. Ini tentu saja bukan hanya masalah etis, tetapi juga masalah hukum, karena anak-anak secara hukum tidak diperbolehkan berjudi.
Problem Spasial
Dalam buku berjudul The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal, Mosco (1996) juga membahas teori spasialisasi, mengacu pada bagaimana teknologi mengubah konsep ruang dan waktu.
Dengan akses internet yang semakin mudah dan distribusi gawai dari negeri China yang semakin murah, anak-anak dapat terhubung ke dunia digital kapan saja dan di mana saja. Ini membuat mereka lebih rentan terhadap eksploitasi online.
Perusahaan teknologi memanfaatkan aksesibilitas itu untuk mempromosikan konten dan situs judi online yang dapat diakses anak-anak dan remaja dengan mudah. Tanpa literasi yang memadai, mereka dapat dengan cepat terjerumus ke dalam aktivitas destruktif ini.
Strukturisasi Kekuasaan
Strukturisasi dalam konteks Mosco merujuk pada bagaimana kekuasaan dan kontrol didistribusikan dalam masyarakat. Perusahaan teknologi besar memiliki kuasa yang luar biasa dalam mengontrol informasi dan perilaku pengguna. Mereka menciptakan ekosistem digital yang mengikat pengguna, termasuk anak-anak, dalam jaringan yang sulit untuk dilepaskan.
Anak-anak dan remaja yang seharusnya dilindungi malah menjadi korban pengawasan dan kontrol ini. Mereka diawasi, datanya dikumpulkan, dan aktivitasnya dimonetisasi tanpa mereka sadari.
Eksploitasi ini tidak hanya berdampak ekonomi, tetapi juga sosial dan psikologis. Mereka yang terjerat judi online sering kali mengalami adiksi yang parah. Mereka mungkin terjerumus ke dalam utang dan bahkan masuk ke dalam jaringan prostitusi daring sebagai cara untuk melunasi utang tersebut. Dampak psikologisnya tentu sangatlah merusak-poranda, termasuk stres, depresi, dan kehilangan rasa percaya diri.
Pendekatan Kultural
Orang tua dan orang dewasa sebetulnya memainkan peran penting di sini. Mereka harus mengedukasi anak-anak dan remaja tentang tanda-tanda kiamat sugra di dunia digital.
Salah satunya, anak-anak dan remaja perlu diberi pengertian tentang privasi dan risiko menggunakan internet. Kampanye kesadaran publik juga diperlukan untuk memberitahu masyarakat tentang bahaya ini dan cara melindungi anak-anak.
Juga, bekerjasama dengan tokoh agama mungkin cukup relevan dalam konteks Indonesia. Ini seperti didaras oleh mendiang Remy Sylado: “Agaknya orang Indonesia paling gampang melibatkan Tuhan untuk hal-hal yang mestinya selesai oleh Pak RT”.
Terlepas dari tafsir bahwa itu adalah ungkapan satire, saya rasa ada benarnya juga. Untuk menyebarkan kesadaran tentang bahaya judi online kepada anak-anak dan remaja, pendekatan keagamaan layak dicoba. Mereka bisa menyampaikan pesan ini dalam pertemuan keagamaan, upacara adat, atau acara komunitas keagamaan tertentu.
Dengan demikian, mimbar-mimbar khutbah menjadi relevan dengan kehidupan sehari-hari umat beragama di Indonesia. Resonansi nilai-nilai ketuhanan tidak lagi berporos pada, misalnya, narasi ketakutan terhadap azab meninggalkan shalat. Yang lebih mendesak sekarang adalah bagaimana dengan shalat, umat Muslim bisa hidup sejahtera dan berkecukupan tanpa terlibat judi online.