Persoalan niat adalah persoalan penting dalam ibadah. Sebab bisa jadi kita melakukan gerakan-gerakan yang sama persis dengan wudhu maupun shalat, tapi tidak dianggap wudhu dan shalat sebab tidak diawali dengan niat. Niat adalah yang membedakan mana yang termasuk ibadah, mana yang hanya sekedar kebiasaan maupun gerakan tanpa maksud tertentu. Tidur, makan maupun minum dapat menjadi ibadah dan berpahala bila diniati untuk kebaikan seperti agar kuat menunaikan shalat. Tapi menjadi hanya sekedar tidur, makan dan minum tanpa pahala bila dilakukan tanpa niat.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
“Semua tindakan bergantung pada amalnya”.
Hadis ini difahami Imam Syafi’i bahwa semua tindakan dianggap sah sebagai ibadah bergantung pada niatnya. Sehingga tanpa niat, menurut Imam Syafi’i, wudhu dan shalat menjadi tidak sah.
Dalam wudhu serta shalat, niat menjadi amat penting. Sebab tanpa niat, keduanya menjadikan kita belum bisa menggugurkan ibadah wajib. Tanpa niat, wudhu menjadi tidak sah dan berakibat shalat tidak sah, menyentuh al-Qur’an berdosa, thawaf tidak sah dan sebagainya. Tanpa niat, shalat tidak sah sehingga kita dianggap tidak melaksanakan shalat lima. Sebuah kewajiban yang diperuntukkan pada tiap individu muslim.
Di bawah ini persoalan penting terkait niat dalam wudhu dan shalat:
Pertama, mengucapkan niat dengan lisan hukumnya Sunnah saja. Dalam artian, sebenarnya tidak diwajibkan melafadzkan niat dengan lisan. Dan tidak dianggap salah, orang yang mencukupkan berniat dalam hati. Melafadzkan niat dengan lisan disertai menyebut nama Allah tatkala berwudhu di kamar mandi, malah bisa berakibat hukum haram. Sebab itu sama saja menyebut nama Allah di kamar mandi. Suatu hal yang tidak boleh dilakukan.
Namun, mengucapkan niat dengan lisan dianjurkan karena dapat membantu hati berniat melakukan wudhu dan shalat. Dan niat dalam hati inilah yang sebenarnya diwajibkan. Sebab pengertian niat sebenarnya adalah qasdul fi’li yang artinya menyengaja melakukan sesuatu. Tidak asal membasuh muka atau berdiri membaca fatihah dan bergaya layaknya orang yang shalat.
Kedua, niat dalam wudhu dan solat hendaknya sudah ada sebelum menyiramkan air ke muka pada saat wudhu, serta ada sebelum mengucapkan takbir pada saat solat. Hal ini dikarenakan pengertian niat adalah qasdul fi’li muqtaranan bi fi’lihi. Yaitu menyengaja melakukan sesuatu besertaan melakukan sesuatu yang dimaksud.
Niat menyertai sesuatu yang diniati dapat dipraktekkan dengan adanya kesengajaan berwudhu ataupun solat dalam hati, masih ada saat membasuh bagian pertama yang dibasuh dari wajah saat wudhu, atau saat mengucapkan huruf “a” dalam membaca takbir saat memulai shalat. Andai kesengajaan berwudhu baru ada saat air basuhan wajah sampai pada bagian hidung ke bawah, maka bagian hidung keatas dianggap tanpa niat dalam artian dianggap belum dibasuh.
Ketiga, niat panjang yang mungkin kita pelajari saat kecil merupakan versi niat yang lengkap, yang sebenarnya tidak kesemuanya disepakati oleh para ulama’ wajib dihadirkan dalam hati. Niat yang kurang lebih berbunyi “Saya berniat wudhu demi menghilangkan hadas kecil ,yang hukumnya fardhu, demi Allah ta’ala,” hanya “saya berniat wudhu” saja yang disepakati wajib dihadirkan dalam hati. Namun, dengan menghadirkan kesemuanya, kita dapat keluar dari perselisihan para ulama’ mengenai sah atau tidaknya niat kita. Dan itu dianjurkan, sesuai kaidah fiqh “Keluar dari perselisihan ulama’ hukumnya Sunnah”.
Keempat, meski niat dengan lisan serta dengan bunyi yang panjang seperti pada poin ketiga tidak diwajibkan, tapi hal itu penting kita lakukan dan lestarikan. Sebab, pertama, itu adalah kebijaksanaan para penduhulu kita yang pandai dalam ilmu agama dan cerdik mengantisipasi watak manusia yang sering meremehkan hal-hal penting. Kedua, keduanya memiliki hikmah yang amat penting agar ibadah kita tidak sekedar sah saja, tapi juga diterima oleh Allah ta’ala.