Melalui narasi ayat-ayat Al-Quran, keselamatan pemeluk agama lain, seolah seperti mendapat jaminan dari Tuhan melalui penegasan-Nya bahwa siapapun tidak perlu takut dan tidak perlu bersedih hati selama ia masih beriman dan beramal saleh. Meski dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 62 narasi Al-Quran tidak langsung menyebut kata Surga atau Jannah, dua kriteria tersebut paling tidak patut kita pertanyakan, apakah kriteria-kriteria itu bisa dikatakan sebagai kriteria penduduk Neraka atau tidak. Pada saat yang sama Tuhan sendiri menggambarkan tempat kembali hari akhir hanya dalam dua tempat yang berbeda yakni yang pertama Neraka dan yang kedua adalah Surga.
Mun’im Sirry berpendapat bahwa selama periode Mekah, Al-Quran tidak memuat ayat-ayat yang mengecam orang Yahudi dan Kristen; ayat Al-Quran tentang mereka kebanyakan bernada posisif dan memandang mereka sebagai umat yang memiliki dan berpegang pada Taurat dan Injil. Pada periode Madinah terjadi perubahan nyata dalam nada ayat Al-Quran ketika merujuk pada orangYahudi dan Kristen.
Alasan perubahan itu menurutnya dapat ditelusuri pada perubahan kondisi kehiduoan Nabi Saw. Kontroversi Nabi Saw. dengan orang Yahudi dan Kristen menguat ketika Nabi Saw. berhasil membangun kekuatan politik terutama setelah perang Badar pada tahun kedua Hijriyah. Setelah terlibat kontroversi tersebut, Nabi Saw. akhirnya menyatakan dengan terang-terangan bahwa agamanya berbeda dengan agama mereka, dan sejak saat itu bahasa Al-Quran yang awalnya inklusif dan mendamaikan menjadi lebih polemik dan kontroversial.
Pandangan Al-Quran tentang Ahlul Kitab sendiri, sebagai istilah yang terkadang mengacu pada Yahudi dan Nasrani tidak selalu bernada negatif. Dalam Q.S. Ali Imran ayat 113-114 misalnya dikatakan bahwa “Mereka itu tidak sama, di antara Ahlul Kitab itu ada golongan yang konsisten, mereka membaca ayat-ayat Tuhan pada beberapa waktu di malam hari, mereka juga bersujud. Mereka beriman kepada Tuhan dan hari akhir, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera kepada berbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang saleh”. Imam Al-Tsawi berpendapat, bahwa ayat tersebut diturunkan kepada 40 orang Kristen Najran, 32 orang Kristen Habsyah, dan 3 orang Kristen Romawi. Mereka adalah penganut ajaran Nabi Isa a.s. dan percaya kepada Nabi Saw.
Selain itu, secara eksplisit, narasi Q.S. Al-Baqarah ayat 62 telah secara gamblang menyatakan bahwa ‘Barangsiapa beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh’. Ayat tersebut tidak menyatakan untuk beriman kepada Muhammad Saw. dan menjadikan Al-Quran sebagai pedoman.
Menurut Al-Samarqandi, Al-Quran tidak menyatakan secara eksplisit beriman kepada Nabi Saw. karena iman kepada Allah Swt., mengindikasikan bahwa tidak disebut iman kepada Allah Swt ketika tidak iman kepada segala sesuatu yang diturunkan kepada Nabi Saw. dan kepada semua para Nabi Saw.
Meski demikian, dalam ayat lain, Al-Quran juga seolah memberi rambu-rambu atas beragamnya syariat. Q.S. Al-Maidah ayat 48 misalnya, menurut M. Quraish Shihab setelah berbicara kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa As. dan kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa As., kini ayat tersebut berbicara tentang Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Ayat ini turun setelah Surah Al-Mumtahanah, tepatnya pada peristiwa Perdamaian Hudaibiyah. Perdamaian antara kaum mulsim dengan suku Quraisy di mana salah satu persyaratan Perjanjian Hudaibiyah adalah semua suku diberi pilihan antara mengikuti Nabi Muhammad Saw. atau orang Quraisy sesuai kehendak mereka.
Dikisahkan ayat ini turun kepada Nabi Saw. untuk memutuskan perkara peradilan, yang diajukan oleh Ahli Kitab dan non-Muslim yang meminta arbitrase kepada Nabi agar diputuskan berdasarkan ketetapan Al-Quran. Dengan diturunkannya ayat tersebut, Nabi Saw. menjelaskan keragaman syariat yang diturunkan Allah Swt. kepada masing-masing umat sesuai dengan kondisi zaman dan situasi yang berbeda, sedangkan pada masa Nabi Muhammad Saw., Allah Swt. menetapkan syariat yang berdasarkan Al-Quran.
Menurut Mohammad Hassan Khalil kalangan pluralis soteriologis kerap mengacu ayat tersebut untuk mengindikasikan bahwa Tuhan tidak pernah bermaksud menggiring manusia menjadi satu umat dengan hukum tunggal. Secara umum, sebagaimana dikatakan al-Maragi, ayat tersebut merupakan salah satu indikasi beragamnya syariat setelah sebelumnya diturunkan Taurat dan Injil kepada Bani Israil.
Al-Maragi berpendapat bahwa sesudah Allah Swt. menerangkan perihal beragamnya syariat, Allah swt. kemudian menerangkan bahwa bahwa syariat apapun dibuat sebagai sarana perlombaan amal kebajikan, untuk kemudian tiap-tiap orang diberi balasan sesuai dengan amal perbuatannya.
Sementara Tabataba‘i mengomentari ayat tersebut dengan mengatakan, “Sesungguhnya Allah menyuruh hamba-Nya beribadah untuk satu agama, yaitu tunduk kepada-Nya. namun untuk mencapai itu, Allah memberikan jalan yang berbeda-beda dan membuat sunnah beraneka macam bagi hamba-hamba-Nya sesuai perbedaan kesiapan mereka dengan keragamannya.”
Wallahu A’lam.
Baca artikel sebelumnya.