Burhanuddin Ibrahim bin Hasan bin Syihabuddin al-Kurani lahir di Syahran, sebuah kampung di pegunungan Kurdistan. Sekarang, Kurdistan masuk wilayah Irak, tepatnya daerah perbatasan dengan Iran yang sedang berjuang meraih kemerdekaan dan mendirikan negara sendiri, Kurdi Raya.
Seperti pada umumnya ulama, al-Kurani belajar dasar-dasar agama di kampung halamannya. Setelah wafatnya sang ayah, Ibrahim al-Kurani berniat pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, namun, al-Kurani yang berangkat bersama adiknya harus berhenti di tengah jalan. Ini disebabkan adiknya yang sakit keras. Tidak disebutkan apa sakitnya saat itu. Hal ini kemudian membuat al-Kurani memutar haluan. Ia pun berhenti di Baghdad.
Di Baghdad, al-Kurani menetap selama satu setengah tahun untuk mendalami beberapa ilmu yang telah ia pelajari di tanah kelahirannya. Di Baghdad inilah ia mulai mengenal tarekat Qadiriyah. Sebuah tarekat yang dinisbatkan kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Meski saya belum mendapat keterangan yang pasti, namun patut diduga kuat di sinilah al-Kurani mulai mempelajari tarekat Qadiriyah, mungkin juga sampai dibaiat.
Dalam sebuah riwayat, seperti ditulis Azra, disebutkan bahwa, selama al-Kurani berada di Baghdad, ia pernah bermimpi bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang sedang berjalan ke Barat. Al-Kurani kemudian menerimanya sebagai petunjuk untuk melanjutkan perjalanan ke barat. Hingga sampailah al-Kurani di Damaskus, sebuah kota maju yang juga menjadi pusat perkembangan keilmuan Islam pada waktu itu.
Di Damaskus, al-Kurani tinggal selama 4 tahun. Disinilah al-Kurani mulai tertarik dengan ajaran Ibn Arabi. Ada kemungkinan, di Damaskus al-Kurani mempelajaru tasawwuf falsafi ala Ibn Arabi dari Muhammad al-Amiri al-Ghazi. Tapi sayang, belum ditemukan keterangan lebih lanjut mengenai hal ini.
Al-Kurani adalah pengembara ilmu sejati. Setelah meneguk samudera ilmu di Baghdad dan Damaskus, al-Kurani kembali melanjutkan rihlah ilmiahnya ke Mesir. Di sini al-Kurani belajar hadis. Utamanya dari al-Qusyasyi. Al-Qusyasyi sendiri berguru kepada asy-Syinwani dari Syamsuddin ar-Ramli, hingga tersambung sanadnya sampai pada Zakariya al-Anshari.
Selain itu, al-Kurani juga belajar dari ulama-ulama hadits terkenal di Mesir pada zaman itu seperti ‘Ala’uddin al-Babili, Syihabuddin al-Mishri serta Syaikh Sultan bin Ahmad al-Azhari. Kitab-kitab yang dipelajari adalah kutub sittah, jenis kitab babon dalam bidang hadis.
Al-Kurani tak hanya mendapat ijazah mengajar setelah menghatamkan kitab standar hadis, kutub sittah, tapi juga sejumlah kitab hadits yang kurang masyhur. Hal ini ditulis sendiri oleh al-Kurani dalam kitabnya, al-Umam.
Al-Kurani dikenal luas sebagai mursyid tarekat Naqsyabandiyah, sebuah tarekat yang dinisbatkan pada Syaikh Baha’uddin an-Naqsyabandi. Meski begitu, ia juga pernah diangkat oleh al-Qusyasyi sebagai khalifah tarekat Syattariyah. Di Indonesia sendiri, dua tarekat ini memiliki “nasib” yang berbeda. Naqsyabandiyah berkembang pesat, sementara Syattariyah hanya berkembang di daerah-daerah tertentu di Indonesia.
Keistimewaan al-Kurani dapat dipotret dari pernyataan beberapa ulama setelahnya. Al-Hamawi misalnya, menyebutkan bahwa menghadiri majlis ilmu al-Kurani seperti “sedang berada di dalam sebuah taman surga”. Menurut Mushthafa bin Fathullah al Hamawi (w. 1712) dalam kitabnya, Fawaid al Irtihal wa Nataij as Safar, Ibrahim al-Kurani merupakan murid paling menonjol dari Ahmad al-Qusyasyi.
Abu Thayyib Muhammad Syamsulhaq, seorang ulama dari India, seperti yang dikutip oleh Azra, menyebut al-Kurani sebagai mujaddid Islam (pembaharu Islam) abad 11 Hijriyah. Pemilihan al-Kurani sebagai mujaddid abad 11 ini dikuatkan dengan pernyataan al-Kattani yang menyebut bahwa pemilihan al-Kurani didasarkan atas posisisnya sebagai guru besar dalam keilmuan Islam. Selain itu, al-Kurani juga dianggap mampu membangkitkan dunia ketasawwufan dalam tradisi Sunni.
Di antara murid-murid al-Kurani yang terkenal adalah Ibn Abd Rasul al-Barzanji, Ahmad An-Nakhli (w.1701), Abu Hasan as-Sindi al-Kabir (w.1726), Abdullah bin Sa’dullah al-Lahuri (1673), Abdullah bin Salim al-Bashri, Abdurrauf as-Sinkili, dan Yusuf al-Makassari. Sementara itu, Ginanjar Sya’ban menyebut Syekh Abdul Mahmud Sholeh Mataram, Syaikh Abdus Syakur bin Abdul Lathif Banten sebagai santri-santri dari al-Kurani.
Melalui empat ulama yang disebut terakhir inilah, sanad keilmuan pesantren-pesantren di Indonesia bersambung sampai pada al-Kurani.
Wallahu a’lam.