Ibnu Batutah, Haji dan Multikulturalisme

Ibnu Batutah, Haji dan Multikulturalisme

Ibnu Batutah, Haji dan Multikulturalisme
Seorang muslim berdoa di Masjidil Haram Makkah

Ibnu Batutah sebagai traveller terkemuka umat muslim mengawali perjalanannya selama 30 tahun lebih tersebut dari sebuah perjalanan agung bernama Haji. Sebuah perjalanan yang dianjurkan sejak sebelum Islam lahir di tanah Hijaz, yang mana menurut sejarah sejak Rasulullah Saw. menjalankan ibadah Haji Wada’ maka Haji diklaim sebagai ibadah yang hanya dilakukan oleh umat Muslim.

Kemarin merupakan puncak dari prosesi Haji, karena dalam sebuah riwayat menyebutkan bahwa “Haji adalah (wuquf) di Arafah”. di mana seluruh jemaah yang sedang menjalankan ibadah haji diwajibkan berada di dalam padang Arafah yang sudah ditentukan batas-batas wilayahnya. Bisa kita bayangkan setiap tahun hampir bahkan bisa lebih dari 2 juta orang berada dalam area dan waktu yang sama.

Sebuah prosesi paling agung dalam haji tersebut diakhiri dengan tenggelamnya matahari di padang Arafah. Sejak itu jemaah yang berjumlah 2 juta lebih tersebut bergerak menuju sebuah daerah bernama Mina, yang sebelumnya diwajibkan dulu melewati tengah malam di Muzdalifah, di mana dalam sejarahnya Rasulullah baru berangkat dari sana setelah melakukan shalat Eid di sana menuju Mina dan melempar jumrah aqabah di Mina setelah tergelincir matahari setelah shalat Dhuzur.

Namun setelah mempertimbangkan banyak hal, apa yang dilakukan oleh Nabi ini sudah sangat jarang dilakukan karena banyaknya yang melaksanakan ibadah yang berawal dari Nabi Ibrahim ini. Saya dulu pernah diceritakan oleh orang yang pernah menjalankan ibadah Haji ini bahwa dalam proses Armina (Arafah hingga Mina) inilah menyadarkan bagi beliau bahwa Armina ini adalah sebuah muktamar besar umat Islam dari berbagai belahan di dunia.

Sebuah pernyataan yang mungkin tak berlebihan tapi juga bisa terlihat sangat naif, tapi jika kita mencoba melihat prosesi keseluruhan Haji ini dalam bingkai multikulturalisme maka kita akan belajar sesuatu yang dalam Haji yang selama ini jarang terungkap. Kalau dulu pernah dituliskan bahwa isu-isu anti kolonial bisa menyebar di kalangan Haji (orang yang sudah melaksanakan rukun Islam kelima), bukanlah sebuah isapan jempol belaka.

Agama Islam sudah tersebar ke seluruh dunia selama 14 abad ini, seluruh dunia sudah dijangkau oleh agama yang lahir di jazirah arab ini. Islam sudah banyak bertemu dengan segala kondisi sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Oleh sebab itu melihat agama Islam sebagai bagian budaya maka sangatlah kaya, sebab Islam banyak berinteraksi dengan budaya dan kultur yang sama sekali berbeda di tanah kelahirnnya.

 

Adagium “Perbedaan adalah Rahmat” membuat Islam menjadi sangat menghargai perbedaan sehingga nilai-nilai toleransi sangat dihormati dalam Islam. Bahkan lebih dalam dibanding itu Islam itu malah juga bisa disebut mempunyai nilai-nilai multikulturalisme. Ada perbedaan antara multikulturalisme dengan pluralisme, kalau pluralisme adalah sebuah pengakuan akan perbedaan, keanekaragaman dan kebhinekaan. Sedangkan multikulturalisme mengandung makna yang cukup kompleks, secara ringkas bermakna kearifan untuk melihat keanekaaragaman budaya dalam realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat.

Namun Ahmad Baso melihat multikulturalisme sebagai proses pertemuan kultur berbeda yang kemudian saling menyapa dan terjadilah dialog, negosiasi hingga resistensi. Di sinilah saya melihat bahwa Haji sebagai prosesi ibadah juga mewarnai proses multikulturalise ini di kalangan muslim yang sedang melaksanakan ibadah.

Jika kita dulu mendengar tokoh-tokoh seperti Syekh Abdurrauf As-Singkili hingga Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari yang belajar di tanah suci juga sembari melaksanakan haji, membawa banyak ilmu pengetahuan yang bisa diterapkan di tanah air maka proses itu tidaklah satu arah tapi selalu ada proses negosiasi dan bahkan juga resistensi sehingga lahirlah beberapa fatwa dan keputusan hukum yang berwarna setempat.

Namun tak berhenti di sana, di masa pergerakan pun. Haji menjadi alat bagi para tokoh seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari hingga Haji Misbach untuk berjumpa pemikiran-pemikiran anti kolonial dan mengembangan Islam yang cocok dalam kondisi masyarakat yang lebih luas yaitu Indonesia. Bahkan Ahmad Dahlan dan Hasyim Asyari diberikan gelar pahlawan atas jasa mereka selama perjuangan kemerdekaan.

Kalau selama ini kita masih meributkan apakah kita menerima atau menolak soal paham wahabi ini, maka adalah sangat wajar. Sebab itulah yang disebut proses negosiasi dalam masa yang mana batas negara semakin kabur. Namun prosesi haji sedikit banyak memperkenalkan pada jemaah kita bahwa ada paham bernama wahabi atau salafi. Entah apa yang akan terjadi paham ini, apakah akan diterima, ditolak atau malah melebur dan bertukar saling meminjam itu akan dibuktikan nanti.

Yang jelas, selama musim haji berlangsung (dari Syawwal hingga Dzulhijjah) para jemaah kita dari Indonesia akan bertemu dengan berbagai macam mazhab dan aliran selama di tanah suci. Ini membuat saya ingat sebuah petuah dari seorang kyai, “selama di tanah suci ini kita janganlah suka mempertanyakan apalagi menghina tata cara ibadah orang lain, sebab malah itu kalau itu terjadi maka itulah tanda bahwa kita kurang belajar”. Saling belajar akan sebuah perbedaan tanpa saling melukai adalah sebuah keberkahan. Semoga di hari raya Idul Adha ini kita bisa saling mencerahkan bukan saling mencela, apalagi saling bunuh.