Tak lama setelah penandatanganan kontrak Cristiano Ronaldo pada Jumat (30/12/22) dengan Al Nassr, halaman Instagram klub mendapat 5,3 juta pengikut baru. Situs web resmi klub Arab Saudi itu tidak dapat diakses setelah melampaui batas bandwidth karena lonjakan lalu lintas digital yang tiba-tiba. Tagar #HalaRonaldo kemudian menggema di hari-hari berikutnya.
Tak berselang lama, striker Real Madrid, Karim Benzema juga ikut diboyong ke Arab Saudi. Peraih Ballon d’Or 2022 itu bergabung dengan klub Al Ittihad dengan nilai kontrak mencapai US$ 643 juta selama tiga tahun.
Menyusul Benzema, N’Golo Kante juga bergabung ke Al Ittihad dengan mahar gratis dari Chelsea. Al Hilal juga berhasil mendatangkan dua bintang Premier League lainnya, Ruben Neves dari Wolverhampton Wanderers dan Kalidou Koulibaly dari Chelsea.
Terbaru, Al Ahli mendapatkan Roberto Firmino secara gratis. Al Hilal juga berhasil menggaet bintang Lazio, Sergej Milinkovic-Savic dengan mahar 40 juta euro. Jordan Henderson pun turut meramaikan pasar ketika bergabung dengan Al Ettifaq dengan banderol 15 juta euro. Masih banyak sebenarnya nama-nama lain, seperti Edouard Mendy, Kalidou Koulibaly, dan seterusnya.
Belanja besar-besaran itu menjadi semacam win-win solution bagi pemain-pemain bintang Eropa dan Arab Saudi sendiri. Mengapa demikian?
Sebagian besar pemain Eropa yang dibeli adalah mereka yang sudah lewat masa primanya sebagai pemain. Ya, sekitaran umur 33-38 tahun. Memang ada yang berusia di bawah 33, seperti Marcelo Brozovic (30 tahun/ An Nassr), Ruben Neves (26 tahun/ Al Hilal). Tetapi itu hanya sebagian kecil.
Di samping itu, dibanding profesi-profesi lainnya, masa untuk mengeruk pundi-pundi cuan di ranah sepak bola sangatlah pendek. Seorang pundit bola berkata, masa efektif pesepakbola mencari duit adalah kurang lebih 15 tahun (20 tahun-35 tahun).
Dalam konteks Saudi, sebagian besar pemain yang dibeli adalah pemain berstatus bintang yang sudah kenyang soal reputasi dan prestasi di Eropa. Kasarnya, bagi Ronaldo, Benzema, Kante, dan Firmino, fase untuk merengkuh prestige itu sudah lewat. Kini saatnya meraup cuan sebanyak yang mereka bisa menjelang masa senja kala.
Arab Saudi yang mata uangnya tidak berseri itu kemudian mengajak para bintang itu bermain di negaranya dengan gaji bombastis. Ambil contoh Jordan Henderson. Ia dibeli Al Ettifaq dari Liverpool pada bursa transfer musim panas ini.
Menjadi pemain Al Ettifaq, Jordan Henderson mendapat gaji sebesar 700 ribu pound atau setara Rp. 13,6 miliar per pekan. Angka itu naik tiga kali lipat lebih dibanding gaji Henderson di Liverpool, yaitu 200 ribu pound per pekan yang ekuivalen dengan Rp. 3,8 miliar.
Sebuah kenaikan gaji yang susah ditolak bukan!?
Di sisi lain, ada alasan prinsipil yang membuat Arab Saudi mau mengucurkan banyak fulus itu. Status bintang dan popularitas para pemain itu diproyeksikan untuk mengangkat reputasi sepak bola Arab Saudi, dan utamanya Visi Saudi 2030.
Visi Saudi 2030 adalah agenda besar Saudi untuk mengurangi ketergantungan pada sektor minyak bumi, mendiversifikasi ekonomi Arab Saudi, serta mengembangkan sektor layanan umum seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi dan pariwisata.
Nah, untuk sampai pada visi itu, Saudi perlu melakukan gebrakan signifikan di beberapa lini, terutama pada sektor kebudayaan, sosial, politik, hukum, dan agama. Visi 2030 membawa misi corak keberagamaan yang moderat dan terbuka terhadap peradaban luar.
Namun, ini bukan semata soal Visi Saudi. Ini juga soal citra Islam moderat yang gencar dipromosikan Muhammad bin Salman. Sang pangeran kini tengah mereformasi Arab Saudi. Kebijakan “kontroversial” yang dilakukannya di antaranya yakni memperbolehkan perempuan untuk menyetir mobil, mengadakan konser musik, dan beberapa kebijakan yang mengarah pada reformasi birokrasi Arab Saudi.
Bagi kaum muda dan perempuan Arab Saudi, MbS adalah sosok pembaruan di tubuh kerajaan Arab Saudi. Ia sangat diandalkan di tengah kungkungan kebijakan Arab Saudi sebelumnya yang rigid dan kaku.
Sejak Muhammad bin Salman mengambil alih tampuk kekuasan Istana, Arab Saudi berhasil mengeliminasi eksistensi kelompok Wahabisme. Melalui perekrutan para pemain bintang, wajah Arab Saudi menjadi tampak kontras dengan model sosial keagamaan yang selama ini telah mapan dibangun oleh kelompok konservatif-militan itu.
Secara tidak langsung, pemain-pemain bintang itu bisa menjadi patron Islam moderat yang diusung oleh rezim MbS. Pemain bintang yang beragama Islam, seperti Karim Benzema, N’Golo Kante, dan Riyadh Mahrez bisa memberikan corak Islam yang berbeda sehingga bisa semakin menegaskan Islam inklusif yang kini menjadi wajah Arab Saudi.
Pun dengan pemain non-Islam, seperti Cristiano Ronaldo, Marcelo Brozovic, Jordan Henderson, Ruben Neves, Roberto Firmino, dan Sergej Milinkovic-Savic. Mereka dapat melihat dan merasakan warna Islam progresif yang dipromosikan Arab.
Sebagai pemain yang datang dari negara non-Islam (Eropa Barat, Timur, dan Amerika Latin), mereka bisa memastikan bahwa Islam adalah Islam yang ada di Arab Saudi. Islam yang moderat, inklusif, dan progresif. Sebagai public figure, paling tidak, kesan Islam konservatif dan keras yang mungkin ada di benak mereka lambat laun kian terkikis.
Imajinasi saya mengatakan, ketika mereka pensiun dari sepak bola, di manapun kelak berada, mereka akan meng-endorse salah satu momen karir sepak bola mereka, di mana mereka bermain di negara Islam yang sangat ramah dan terbuka terhadap peradaban luar.
Mungkin terjadi, mungkin tidak. Namanya juga imajinasi.
Tapi jangan salah. Ronaldo pernah melakukan selebrasi sujud syukur di hadapan para supporter saat ia menjadi penentu kemenangan dramatis 3-2 An Nassr atas Al Shabab pada lanjutan Liga Pro Arab Saudi di Stadion Al Awal Park, Rabu (24/5/23). Sebuah selebrasi yang tak pernah terbayangkan dilakukan oleh pemain non-Muslim Eropa. Apalagi oleh Ronaldo.
Terlepas dari bayangan liar itu, sekali lagi, win-win solution antara pemain bintang Eropa dan Arab Saudi itu rupanya juga bisa berguna bagi citra dan reputasi Islam di masa yang akan datang di mata internasional. Para pemain dapat cuan pensiun melimpah, Saudi dapat merealisasikan Visi 2030 dengan sukses, sedangkan Islam semakin dikenal sebagai agama yang ramah, terbuka, dan toleran.