Indonesia dianggap sebagai negara yang sudah tuntas mengawal kesetaraan gender dan emansipasi wanita. Terbukti peluang kerja di dunia sosial 30 % berbanding 70 % bahkan semua pekerjaan didalamnya terdapat laki laki dan perempuan dengan tanpa pembedaan. Sebagai rasa syukur atas hasil kesetaraan laki laki dan perempuan, tepat di tanggal 21 April, kita perlu mengenang sosok perempuan hebat pendobrak kemustahilan dan pembangkit pendidikan perempuan. Siapa lagi kalau bukan R.A Kartini.
R.A Kartini adalah seorang perempuan pejuang kesetaraan dan keadilan gender dan penggagas emansipasi wanita Indonesia. Lahir pada tanggal 21 April 1879 yang kemudian ditetapkan sebagai hari kartini.
Berbicara emansipasi, Al-Qur’an memosisikan perempuan sebagai mitra bukan sebagai objek, sebagaimana terjadi sebelum Islam. Satu-satunya pembeda atara laki-laki dan perempuan hanya dari aspek beologis saja. Kita lihat bagaimana Al-Quran menjelaskan tentang penciptaan, bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari satu nafs.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا ١ ( النساۤء/4: 1)
Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.(QS. An-Nisa’:1)
Dalam Tafsir Kemenag disebutkan, Nabi Adam AS. dan Hawa tidak diciptakan melalui proses evolusi hayati seperti makhluk hidup lainnya, tetapi diciptakan secara khusus seorang diri, lalu diciptakanlah pasangannya dari dirinya. Mekanismenya tidak dapat dijelaskan secara sains. Selanjutnya, barulah anak-anaknya lahir dari proses biologis secara berpasangan-pasangan sesuai kehendak-Nya.
Emansipasi gagasan Kartini, meminjam istilah Ibnu Ashur dalam At Tahrir wat Tanwir, dapat diartikan sebagai “memberikan hak kepada pemiliknya”, bukan menyamakan laki-laki dan perempuan secara mutlak. Hal ini karena emansipasi dalam Al-Qur’an dibahasakan dengan memberikan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan sesuai dengan porsinya. Ini lah yang diperjuangkan Kartini, agar perempuan bermartabat dan menjadi manusia seutuhnya sebagaimana Al-Qur’an memandang perempuan yang setara dengan laki-laki secara legal dan moral tanpa mengabaikan perbedaan antara keduanya.
Kartini dikenal sebagai sosok yang religus, agamis dan berpikiran luas. Nalar kritisnya tidak hanya soal martabat perempuan, tetapi bagaimana agar perempuan berpendidikan, bahkan ia secara tegas memprotes aturan yang melarang penerjemahan Al-Qur’an, mengingat Kartini saat itu sangat ingin mempelajari kitab utama umat Islam tersebut. Keluh kesahnya pun ditulis dalam surat yang dikirim ke Stella Zeehandelaar, sahabatnya, “Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan ada manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Qur’an, belajar menghapal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang aku tidak mengerti artinya”
Gagasan emansipasi Kartini ini telah mampu mengilhami jutaan perempuan Indonesia, bahkan secara spesifik, karakternya menjadi ruh gerakan ulama perempuan Indonesia. Sebut saja Kongres Ulama Perempuan Indonesia, yang memiliki persamaan visi yaitu agar perempuan diakui, secara legal menyandang gelar ulama, dan bisa terlibat dalam kajian penafsiran Al-Qur’an yang sekian lama hanya menjadi milik laki-laki.
Kartini menguraikan rasa penasarannya pada Al-Qur’an yang tidak tersampaikan dalam goresan pena yang ia kirim, “Jangan-jangan guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlan kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab ini terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya”.
Jika ditelaah, surat Kartini tersirat beberapa pertanyaan, “Mengapa perempuan tidak boleh mempelajari Al-Qur’an? Bukankah semua umat Islam berhak mempelajari dan melakukan penafsiran pada Al-Qur’an, agar kaum perempuan juga memahami dan mengamalkan maksud al-Qur’an?”
Pada akhirnya, keinginan Kartini menjadi kenyataan setelah belajar ilmu agama pada ulama besar K.H Muhammad Shaleh bin Umar Assamarani atau Kiai Sholeh Darat (Semarang). Keduanya bertemu di rumah bupati Demak Ario Hadinigrat (paman Kartini) dalam sebuah pengajian dimana pada saat itu kiai Sholeh sedang memberikan pengajaran tentang tafsir surat Al-Fatihah.
Ada yang menarik dari pertemuan Kartini dan Kiai Sholeh Darat, yang semakin mengutkan keulamaan perempuan Kartini, “Kiai perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?” begitulah kira pertanya kritis Kartini kepada gurunya.
“Kiai, selama hidupku baru kali ini saya berkesempatan memahami makna surat Al-Fatihah, surat pertama dan induk Al-Qur’an. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” lanjutnya setelah mendengar jawaban singkat gurunya, “Namun saya heran, mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Qur’an adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?” (Habis Gelap Tebitlah Terang).
Sebagi inspirasi, emansipasi ala kartini memiliki kesamaan ruh dan semangat dengan perkumpulan ‘Kartini’ masa kini yang tergabung dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Di antara hasil kongres yang senafas dengan emansipasi Karitini, sebagaimana dijelaskan oleh Ketua Kongres Badriyah Fayumi, “Ada pengakuan terhadap eksistensi dan peran ulama perempuan dalam sejarah peradaban Islam di Indonesia. Terlebih KUPI berhasil mengeluarkan fatwa atas tiga isu besar, yakni kekerasan seksual, pernikahan anak, dan kerusakan alam.”
Dengan semangat Hari Kartini, mari gaungkan semangat menjaga martabat perempuan. Perempuan, selain berani mental, kuat fisik, semangat jiwa raga, juga harus kaya ilmu dan alim. Alim dalam arti mau terus belajar agama, kuat spiritual, dan tentunya tuntas dalam proses beragama.
Sosok Kartini bisa kita teladani sebagai pejuang kesetaraan, memiliki semangat juang yang tinggi, juga pandai dan cerdas dalam ilmu agama. Bagi Kartini, Agama harus menjaga kita dari dosa, tetapi sangat disayangkan, betapa banyak dosa yang diperbuat atas nama agama.
Sayangnya, Al-Qur’an yang beredar pada saat itu belum diterjemahkan. Akibatnya tidak semua orang paham makna ayat-ayat dalam Al-Qur’an tersebut. Padahal Al-Qur’an adalah benar-beanr kitab pedoman yang mengajarkan keadilan dan memandang perempuan sebagai sosok yang memiliki berbagai pontensi. (AN)