Seorang teman mengeluh karena tidak bisa mendapatkan masker dengan mudah. Dahulu masker bisa dibeli dengan harga 20.000an sekotak isi 50, namun sekarang dijual 350.000. Beberapa twit yang menunjukkan timbunan masker membuatnya semakin kesal. “Kok ada, orang yang menimbun barang kayak gini!?” ujarnya.
Rasulullah SAW jauh-jauh hari ternyata telah memperingatkan hal demikian. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Sahih-nya, dijelaskan betapa kerasnya Rasulullah SAW melarang perilaku demikian.
قوله صلى الله عليه وسلم : من احتكر فهو خاطئ
“Rasulullah SAW bersabda, orang yang menimbun barang maka ia berdosa.”
Para ahli bahasa menyebutkan bahwa redaksi “khati'” dalam hadis di atas bukan hanya berarti salah, melainkan juga berarti berdosa (aatsim).
Selain diriwayatkan oleh Imam Muslim, setelah ditakhrij, hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunan at-Tirmidzi, bab al-Musaaqah, dan Imam Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud, bab al-Buyu’.
Yang menarik dari hadis ini adalah Ma’mar, perawi hadis ini dari golongan sahabat, ternyata pernah melakukan penimbunan. (Lihat Sahih Muslim nomer 1509)
Imam an-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan menimbun barang dalam hadis di atas bukanlah berarti menimbun secara umum, akan tetapi membeli barang tertentu, bisa secara borongan, dan menyimpannya dalam keadaan tertentu agar harga barang tersebut melambung tinggi karena langka.
Pendapat an-Nawawi ini juga diamini oleh Ibnu Hajar al-Asqalani yang menyebutkan,
قال الحافظ : الاحتكار الشرعي إمساك الطعام عن البيع وانتظار الغلاء مع الاستغناء عنه وحاجة الناس إليه
al-Hafiz (Ibn Hajar al-Asyqalani) berpendapat: Menimbun barang adalah menahan barang untuk tidak menjual dan menunggu pada masa langka dengan tujuan mencari keutungan dan karena dibutuhkan banyak orang.
Menurut an-Nawawi, jika ada orang yang berperilaku seperti demikian, terutama saat masa-masa genting. Maka orang yang menimbun tersebut harus dipaksa untuk menjualnya, tentunya dengan harga yang bisa dijangkau dan tidak membebani banyak orang.
Dalam kasus hadis di atas, sebenarnya adalah menimbun barang atau makanan pokok. Namun jika kita kontekstualisasikan dengan situasi saat ini, ketika masker dianggap sebagai hal yang penting karena bagian dari pencegahan wabah penyakit, maka masker juga bisa kita kategorikan sebagai bahan pokok, walaupun ia bukan bagian dari makanan.
Oleh karena itu, Rasul memperingatkan lagi dalam hadis lain, bahwa orang yang menimbun barang tidak akan bisa dimaafkan walaupun barang tersebut kemudian disedekahkan.
من احتكر طعاما أربعين يوما ، ثم تصدق به لم يكن له كفارة
“Orang yang menimbun makanan selama empat puluh hari kemudian ia sedekahkan semua barang (yang ditimbun) tersebut, maka tidak bisa menebus kesalahan atau dosanya.”
Dalam riwayat lain juga disebutkan,
من احتكر طعاما أربعين ليلة فقد برئ من الله وبرئ منه
“Orang yang melakukan penimbunan barang selama empat puluh malam, maka Allah dan Rasulnya angkat tangan (tidak bertanggung jawab atas perilakunya).” (H.R al-Hakim)
Walaupun kedua hadis terakhir ini masih diragukan kesahihannya karena ada beberapa rawi yang bermasalah, namun hadis tersebut bisa dikuatkan secara substansinya dengan hadis sahih pertama yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Artinya, ancaman terkait penimbunan barang adalah benar adanya.
Ulama berpendapat bahwa larangan seperti ini diberikan oleh Rasulullah SAW karena berpotensi membahayakan banyak orang dan hanya menguntungkan sebagian orang. (AN)
Wallahu a’lam.