Persoalan kemunafikan dalam budaya politik kita telah lama menyusahkan dan memakan, tidak hanya banyak orang tapi juga menguras nalar.
Sebagian kalangan mungkin akan keberatan dengan istilah pedas ini, dan menjelaskan bahwa bukan ‘kemunafikan’ yang sebenarnya terjadi, tetapi ‘pragmatisme’. Terdengar sopan, namun demikianlah bahasa Indonesia. Bahasa ini punya seabreg kosa kata penghalus dan penajam yang bisa dipakai seenaknya untuk menafsir sesuatu juga dengan seenaknya.
Manakah penenyabab kemunafikan ini? Apakah karakter bahasa kita atau rutinitas politik kita?
Pertanyaan ini ibarat menanyakan mana lebih dulu antara ayam dan telur. Ini pembahasan yang penting dibahas tetapi hampir tidak pernah terbahas secara terang-terangan lantaran, pada satu sisi memang ada politik pengetahuan agar masyarakat dijauhkan dari kritis berbahasa. Dan di lain sisi, sajian pendidikan kewarganegaraan kita juga hampir tidak pernah membedakan secara tegas antara negara dan politik.
Pada gilirannya, ketika tidak ada perbendaharaan dan praktik berbahasa yang tegas, realitas mudah dikaburkan. Kekuasaan bisa dengan mudah mencatut nama negara untuk sesuatu yang sebenarnya kepentingan politik.
Politik dan negara memang saling terhubung dan kelindan. Pada beberapa aspek tertentu, keduanya juga saling melengkapi dan menjaga. Tetapi pada beberapa aspek lain, abuse of power atau ‘penyalahgunaan kekuasaan’ rentan muncul dari kaburnya batas tegas antara negara dan politik. Dan bahasa Indonesia saat ini masih belum menyelesaikan sejauh apa eufemisme, atau penghalusan bahasa, bisa dan boleh digunakan.
Jabatan presiden satu sisi merepresentasikan negara, tapi di lain sisi, presiden juga jabatan politik. Ketika ia terlibat pelanggaran etik dan skandal nepotisme, adalah sah bagi masyarakat untuk menegur dan mengkritiknya sebagai ‘individu politik’. Namun sebagai ‘individu politik’ yang merangkap representasi negara, ia bisa mementahkan, membelokkan, menyangkal, dan merepresi kritik itu dengan alat-alat negara, baik yang bersifat soft seperti ideologi atau silat lidah, atau yang bersifat hard seperti Undang-Undang ataupun pengerahan aparat.
Dulu, era otoriterisme Orde Baru, penyalahgunaan kekuasaan hampir tidak tersentuh lantaran, salah satunya, praktik ini dilindungi oleh bahasa. Populisme lisan menjadi hal lumrah. Politisi memandang bahwa rakyat telah memercayakan mandat kepada mereka, sehingga merasa leluasa untuk menggunakan apapun, dengan cara apapun, dan untuk apapun. Hasilnya, jadilah kalimat-kalimat “mengabdi untuk rakyat”, “biar rakyat yang menilai”, “demi kepentingan rakyat”, dan retorika kerakyatan lainnya, meskipun motif dan perilakunya jauh panggang dari api.
Mochtar Lubis sudah jauh-jauh hari―yakni ketika Orde Baru sedang dalam masa kejayaan di tahun 1980-an―mengingatkan persoalan kemunafikan. Pidatonya yang terkenal “Manusia Indonesia,” menyebut ‘munafik’ menjadi salah satu karakter orang Indonesia. Ia tidak sendiri. Menjelang tahun 2000-an, Romo Y. B. Mangunwijaya juga menyoroti kemunafikan sebagai salah satu sebab kenapa politik kita ruwet dan keberpihakan negara angin-anginan.
Di Indonesia, kemunafikan tidak sepenuhnya soal agama atau normal sosial. Budaya eufemisme bahasa, atau praktik tutur kata halus, justru lumrah sejak Orde Baru―periode ketika perusakan alam, ekspansi kapital, represi sepihak, penembakan misterius, dan sebagainya terkonsentrasi di tangan kroni Suharto. Dengan kata lain, budaya eufemisme mengayun penuh justru ketika realitas politik sedang banal. Artinya, kemunafikan muncul karena kondisi struktural membutuhkannya, dan kebetulan bahasa Indonesia masih memiliki celah untuk dimanfaatkannya.
Hampir berjalan selama 50 tahun, praktik ini bersliweran di ruang publik, dari tajuk berita sampai pernyataan politisi. Hingga sampailah pada tahun 2019 – 2024, ketika kreativitas budaya eufemis ini mmencapai pemaknaan: ‘hilirisasi’ sebagai ‘gerbang kemakmuran,’ ‘platformisasi tenaga kerja’ sebagai ‘karir masa depan’, ‘meritokrasi pemuda’ sebagai ‘harapan bangsa’ (padahal struktur kesenjangan ketimpangan antar pemuda tidak pernah diselesaikan), ‘nepotisme’ sebagai ‘pengabdian’.
Ketika jagat media masih serba analog dan tidak semua orang bisa akses, praktik eufemisme cukup mujarab untuk menyihir kesadaran publik. Namun ketika jagat media telah menjadi serba terekam, tersebar, dan semua orang bisa akses, praktik eufemisme justru sebenarnya menghina nalar publik. Politik kita belum tumbuh lebih baik. Pelakunya masih berpikir dalam nalar Orde Baru: sewenang-wenangan terhadap realita, dan masih mengira bahwa sopan santun masih cukup efektif menutupi perilaku yang sebaliknya.
Seorang menteri dengan latar belakang militer dan terhubung dengan bisnis ekstraktif memberi dukungan kepada salah satu calon. Menurutnya, calon ini “punya spirit NKRI yang bagus dan dia membuktikan keberhasilan-keberhasilannya yang lalu. Dia pilihan terbaik untuk presiden saat ini, dan itu akan membawa kemajuan ke Indonesia.”
“Setelah tanggal 14 kita mencoblos, kita damai lagi, guyub lagi, jangan datang dengan kata-kata tidak bagus … Tidak ada yang menang-menang. Yang menang adalah NKRI,” sambungnya.
Pernyataan ini tidak bisa termasuk penistaan terhadap bangsa, sebab kata-katanya sopan. Tetapi, mungkinkah predikat ‘spirit NKRI’ justru disematkan kepada pelaku sikap anti-sains pada 2019 silam, terlibat nepotisme pada 2024, dan memiliki harta super-berlimpah? Tetapi, begitulah politik: membolak-balik nalar.
Ketika politik kita banal, dan tersedia bahasa yang cocok untuk menyulap realita, maka sulit untuk mendisiplinkan area ini sekalipun dengan hukum formal. Sebab satu-satunya area yang tak tersentuh ini adalah kompas moral. Persoalannya, mungkinkah sebenarnya siklus perputaran politik adalah siklus perputaran untuk tidak menjadi manusia? Atau jangan-jangan, mungkinkah ini indikasi kalau betapa tidak selesainya kita menjadi manusia? Jika salah satunya benar, kenapa bahasa-bahasa yang menyangkut Indonesia selalu indah-indah meskipun penuturnya tidak tuntas jadi manusia?