Review Film Dirty Vote: Sangat Segmented, Membosankan, Walaupun Penting

Review Film Dirty Vote: Sangat Segmented, Membosankan, Walaupun Penting

Film Dirty Vote pada akhirnya memang membuka mata banyak pihak, bahwa pemilu 2024 kali ini penuh dengan intrik dan kecurangan. Dirty Vote menjadi sebuah media kritik yang keras dan penting untuk disimak.

Review Film Dirty Vote: Sangat Segmented, Membosankan, Walaupun Penting

Timeline saya riuh dengan orang-orang yang membicarakan film dokumenter “Dirty Vote” yang disutradarai oleh Dandhy Laksono. Di Twitter, film ini menjadi trending topic selama berjam-jam dan terus dibahas tanpa henti baik oleh para pendukung 01, 02, maupun 03.

Beberapa kawan di kanal lain seperti Facebook dan Instagram juga tampaknya mulai ramai membicarakan film dokumenter ini.

Film ini menjadi viral bukan semata karena isinya yang mencoba membedah desain kecurangan Pemilu 2024, namun juga karena jadwal rilisnya yang sangat mepet dengan momen pencoblosan 14 Februari.

Tak butuh waktu lama bagi Dirty Vote untuk viral dan mendapatkan jutaan views. Saat tulisan ini dibuat, Dirty Vote sudah ditonton sebanyak 6,6 juta kali di channel Dirty Vote, dan sebanyak 6,2 juta kali di channel Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK Indonesia). Itu belum termasuk channel-channel lainnya yang juga ikut mengunggah film dokumenter ini di Youtube.

Berbagai reaksi pro-kontra pun muncul atas rilisnya film dokumenter ini.

Acara nobar dan diskusi film ini di Mbloc Space yang diselenggarakan oleh gerakan Salam 4 Jari (Gerakan kolektif yang diprakarsai oleh sekjen Partai Hijau Indonesia, John Muhammad, yang bertujuan untuk tidak memenangkan pasangan 02 dengan cara mencoblos pasangan 01 atau 03) mendadak mendapat surat pelarangan dari pihak Peruri.

Sebaliknya, di FH UGM Departemen Hukum Tata Negara, acara nonton bareng film Dirty Vote malah dijadikan sebagai kuliah umum yang diwajibkan untuk para mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah hukum tata negara dan beberapa mata kuliah tertentu lainnya, dengan menghadirkan langsung 3 cast utama film Dirty Vote ditambah 7 dosen hukum tata negara UGM.

Konsep film Dirty Vote ini sebenarnya agak jauh bila dibandingkan film-film dokumenter yang selama ini lazim kita tonton. Film ini mungkin lebih tepat disebut sebagai presentasi pakar atau kuliah umum yang kemudian divideokan.

Alurnya yang lambat membuat film ini saya sarankan untuk ditonton dengan settingan kecepatan 1.25 agar lebih nyaman.

Tiga narator atau cast di film Dirty Vote adalah tiga pakar hukum tata negara: Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.

Secara garis besar, Dirty Vote sebenarnya mencoba menunjukkan kecurangan dalam praktik pemilu yang dilakukan oleh semua pihak paslon yang berkontestasi di Pilpres 2024, yakni 01 (Anies-Muhaimin), 02 (Prabowo-Gibran), dan 03 (Ganjar-Mahfud). Namun memang pada akhirnya, porsi terbesar kecurangannya mengerucut kepada paslon 02, yang memang secara “halus” (tapi kita semua tahu), didukung oleh Presiden Jokowi sebagai pihak yang mampu menggerakkan berbagai instrumen negara untuk memenangkan paslon yang ia dukung.

“Film ini adalah monumen yang akan kita ingat, bahwa kita punya peranan besar, dalam melahirkan orang yang bernama Jokowi.” kata Zainal Arifin Mochtar tegas di awal film.

Hal itu pula yang kemudian membuat porsi perlawanan terhadap film dokumenter ini didominasi oleh pendukung Prabowo-Gibran.

Pihak TKN Prabowo-Gibran bahkan langsung menggelar konferensi pers sebagai tanggapan terhadap film tersebut pada Senin, 11 Februari 2024 pukul 13.30 alias hanya berselang 3 jam setelah film Dirty Vote naik dan views-nya masih di angka 5 ribuan.

Dalam film ini, Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari bergantian memaparkan aneka desain potensi kecurangan pemilu 2024.

Film dimulai dengan ulasan Zainal Arifin Mochtar tentang bagaimana paslon Prabowo-Gibran sangat mengupayakan untuk menang satu putaran. Zainal Arifin Mochtar, atau saya biasa memanggilnya Mas Uceng, menjelaskan betapa skema dua putaran akan meningkatkan potensi kekalahan bagi kontestan yang sedang memimpin.

Mas Uceng mencontohkan Pilkada Jakarta 2017, di mana saat itu, dari berbagai survei menunjukkan pasangan Ahok-Djarot (yang saat itu didukung oleh Presiden Jokowi) nyaris selalu unggul dibandingkan pasangan Anies-Sandiaga dan AHY-Sylvi. Dan itu terbukti pada hasil Pilkada putaran pertama, di mana Ahok-Djarot menjadi yang tertinggi dengan 43%, disusul Anies-Sandi dengan 40%, dan AHY-Sylvi di urutan buncit dengan 17%. Ahok-Djarot dan Anies-Sandi maju ke putaran kedua.

Di putaran kedua, keadaan berbalik. Anies-Sandi menang dengan perolehan suara 58% dibanding Ahok-Djarot yang mendapat suara sebesar 42%.

Mas Uceng mengatakan kemenangan tersebut salah satunya karena faktor “Bersatunya kekuatan pengkritik”.

Di Pilpres ini, pasangan 02, yang “didukung” oleh Jokowi, tentu tak ingin momen Pilkada Jakarta 2017 menimpa mereka. Karena itulah, mereka menginginkan kemenangan satu putaran. Syarat kemenangan satu putaran ini ada 3, yakni mendapatkan suara sebanyak 50% plus 1, menang di lebih setengah jumlah provinsi, dan dengan perolehan suara lebih dari 20%.

Maka, mendapatkan suara 50% plus 1 (sekitar 103 juta suara) saja belum cukup, mereka harus menang di setidaknya separuh jumlah provinsi, yakni 20 provinsi (jumlah provinsi kita 38).

Bahkan seandainya semua orang di pulau Jawa (115 juta suara, sudah lebih dari 50% dari jumlah DPT) memilih Prabowo Gibran, mereka belum tentu menang, sebab Jawa hanya terdiri dari 6 provinsi. Mereka baru bisa menang satu putaran jika bisa unggul di 14 provinsi lainnya.

Di sinilah intrik dimulai. Feri Amsari menjelaskan, bahwa sejak 8 Desember tahun 2022 lalu, Papua yang sebelumnya terdiri dari dari 2 provinsi (Papua dan Papua Barat), mekar menjadi 6 provinsi (Papua, Papua Pegunungan, Papua Selatan, Papua tengah, Papua Barat, dan Papua Barat Daya). Empat provinsi baru di Papua ini langsung diikutkan dalam Pemilu 2024 sebagai provinsi baru. Ini berbeda dengan Provinsi Kalimantan Utara yang didirikan tahun 2013, namun tidak langsung bisa ikut Pemilu 2014. Kaltara baru bisa ikut Pemilu sebagai provinsi baru pada 2019.

Pengikutsertaan 4 provinsi baru di Papua ini disinyalir menjadi salah satu upaya untuk mendukung kemenangan 02 satu putaran, sebab dalam riwayatnya, Jokowi selalu menang telak di Papua. Di Pilpres 2014, Jokowi menang 72% di Papua dan 67% di Papua Barat. Sementara di Pilpres 2019, Jokowi menang 99% di Papua dan 80% di Papua Barat.

Saat Jokowi menang di Papua, Kapolda Papua saat itu adalah Tito Karnavian. Tito sendiri saat ini menjabat sebagai menteri dalam negeri.

Indikasi hasrat memenangkan sebaran wilayah ini tampak makin jelas, sebab saat ini, dari 38 provinsi, 20 di antaranya dipimpin oleh PJ Gubernur (sementara) yang dipilih langsung oleh Presiden melalui Mendagri. Selain penunjukkan PJ Gubernur, Feri Amsari juga mengatakan Presiden punya pengaruh dalam pemilihan PJ Walikota dan Bupati, yang saat ini jumlahnya adalah 182 PJ Walikota/Bupati dari 514 Kabupaten/kota di Indonesia.

Proses penunjukkan PJ ini oleh Ombudsman disebut maladministrasi, sebab proses penentuan PJ seharusnya transparan, terbuka, serta melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah.

Feri Amsari kemudian mencontohkan beberapa PJ yang dianggap punya hubungan dekat dengan Jokowi. PJ Gubernur Jabar Bey Mahmuddin, misalnya, pernah bekerja di Kesekretariatan Presiden tahun 2021. Lalu PJ Gubernur DKI Jakarta Heru Budi tahun yang pada tahun 2017 menjabat sebagai Kepala Kesekretariatan Presiden. Atau PJ Gubernur Jawa Tengah Nana Sudjana yang merupakan Kapolresta Surakarta saat Jokowi masih menjabat sebagai walikota Solo.

Hal itu pada akhirnya menimbulkan potensi ketidaknetralan dari PJ Gubernur. Feri Amsari mencontohkan kasus PJ Gubernur Kalimantan Barat, yang terang-terangan meminta agar masyarakat memilih calon presiden yang mendukung pembangunan IKN.

Zainal Arifin Mochtar kemudian menjelaskan, bahwa wewenang pejabat daerah yang tidak netral berpotensi menimbulkan kecurangan. Beberapa di antaranya adalah kecurangan memobilisasi birokrasi, memainkan izin lokasi kampanye, serta memberikan sanksi atau membiarkan kepala desa yang tidak netral. Ia kemudian mencontohkan kasus enam kampanye Anies Baswedan yang izinnya dicabut oleh Pemda.

Pada uraian selanjutnya, Bivitri Susanti menjabarkan kecurangan-kecurangan yang secara terang-terangan dilakukan oleh para pejabat tinggi.

Bivitri mencontohkan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang mempolitisasi bansos. Ia menghubungkan bansos tersebut dengan Jokowi.

“Yang suka sama Jokowi angkat tangaaaan…” teriak Zulhas dalam sebuah acara pembagian bansos. “Makanya kita dukung Gibran,” lanjutnya.

Selain Zulhas, Bivitri juga mencontohkan aksi Airlangga Hartarto saat membagikan bansos berupa beras sebanyak 10 kg di NTB dan meminta masyarakat untuk mengatakan “Terima kasih, Pak Jokowi.”

Bivitri menjelaskan, penyaluran bansos di tahun pemilu ini tidak sesuai dengan prosedur normal. Salah satu indikasinya adalah Kemensos tidak banyak dilibatkan dalam penyaluran bansos, dan malah Presiden Jokowi sendiri yang banyak turun membagikan bansos. Hal tersebut tentu saja patut penjadi kecurigaan tersendiri, terlebih jabatan Kemensos dipegang oleh kader PDIP Tri Rismaharini yang memang menjadi “lawan politik” Jokowi di Pilpres kali ini.

Kecurangan lainnya yang ditunjukkan oleh Bivitri adalah penggunaan wewenang dan alat-alat negara untuk berkampanye, tak terkecuali di media sosial.

Bivitri mencontohkan akun Twitter resmi Kementerian Pertahanan RI yang pernah mengunggah twit dengan tagar #PrabowoGibran2024.

Selanjutnya, Bivitri membagikan daftar pejabat kementerian yang diduga melakukan kampanye terselubung. Peringkat pertama didominasi oleh paslon 02, lalu di bawahnya paslon 03, dan di urutan terakhir paslon 01.

Segmen paling menarik dalam pengungkapan kecurangan Pemilu 2024 ini tentu adalah bagaimana pihak-pihak tertentu mencoba memanipulasi lolos dan tidaknya sebuah partai demi memecah suara partai.

Zainal Arifin Mochtar menyebut fenomena ini sebagai “Shadowing party”. Salah satu contoh yang ditayangkan adalah lolosnya Partai Gelora. Partai ini dicurigai lolos karena hasil manipulasi, sebab berdasarkan sebuah reportase, di lapangan, partai ini sebenarnya tak memenuhi syarat, namun kemudian akhirnya diloloskan.

Lolosnya Partai Gelora disinyalir merupakan upaya untuk memecah suara simpatisan PKS yang ada di kubu 01.

Di sesi akhir, tiga cast secara bergantian menjelaskan tentang betapa aneh dan ganjilnya keputusan MK saat meloloskan putusan yang akhirnya membuat Gibran akhirnya bisa maju sebagai cawapres.

Bivitri menjelaskan dari 9 hakim, ada 3 yang mengabulkan permohonan dari Almas Tsaqibbirru tentang batasan usia capres/cawapres yang fenomenal itu. 3 hakim mengabulkan (yang bisa maju sebagai capres/cawapres adalah mereka yang sudah berusia 40 tahun, atau belum 40 tahun tapi pernah menjabat pada jabatan yang dipilih melalui pemilu, bisa Gubernur, Walikota, atau Bupati), masing-masing adalah Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan Sitompul. Sementara 4 hakim yang menolak, masing-masing adalah Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.

Sedangkan dua hakim lainnya, yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic mengajukan concurring opinion. Mereka menyatakan, seseorang bisa mengajukan diri sebagai capres/cawapres walau belum berusia 40 tahun asalkan sudah atau sedang memimpin daerah di level gubernur, bukan bupati atau walikota.

Namun pada akhirnya, 2 hakim yang mengajukan concurring opinion itu dimasukkan ke dalam kelompok yang mengabulkan, sehingga proporsi komposisinya menjadi 5 mengabulkan berbanding 4 menolak. Padahal menurut Bivitri, 2 hakim yang mengajukan concurring opinion itu harusnya masuk ke dalam kuadran para hakim penolak. Hal itulah yang akhirnya membuat Gibran kemudian bisa maju sebagai cawapres.

Film Dirty Vote pada akhirnya memang membuka mata banyak pihak, bahwa pemilu 2024 kali ini penuh dengan intrik dan kecurangan. Dirty Vote menjadi sebuah media kritik yang keras dan penting untuk disimak.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyarankan supaya pemerintah untuk memperhatikan dengan baik kritik yang disampaikan melalui film Dirty Vote mengenai kecurangan Pemilu 2024. Sementara mantan wakil presiden Jusuf Kalla malah lebih blak-blakan lagi, ia menyebut bahwa Dirty Vote baru mengungkap 25 persen dari kecurangan Pilpres 2024.

“Saya kira film itu masih ringan dibanding kenyataan yang ada dewasa ini, masih tidak semuanya. Mungkin baru 25 persen.” Kata Jusuf Kalla.

Film ini mungkin tidak akan berpengaruh banyak pada perolehan suara. Lagipula, film ini kemungkinan besar hanya akan ditonton oleh kelompok tertentu saja. Dirty Vote memang jenis film serius yang akan sangat susah untuk dipotong lalu dijadikan video tiktok dengan musik ala-ala jedag-jedug atau backsound sedih “Kumenangiiiiisss….” Kendati demikian, film ini akan selalu penting.

Orang-orang yang tadinya mendukung 02 pun tampaknya tak akan mempan untuk digoyang keyakinannya oleh fakta-fakta yang disampaikan di film ini. Mereka bahkan mungkin akan resisten.

Di timeline, tak sedikit pendukung 02 yang sudah mulai ramai menolak dan mengolok-olok film ini. Dirty Vote disebut tak lebih dari sekadar kumpulan kliping belaka. Ajakan untuk me-report video tersebut pun sudah mulai beredar.

Mereka juga meyakini bahwa film ini sengaja dibuat sebagai agenda penggembosan, sebab film ini sengaja dirilis hanya beberapa hari sebelum masa pencoblosan.

Sebaliknya, para pendukung paslon 01 dan 03 menyambut kehadiran film ini dengan tangan yang sangat terbuka. Di akun Twitternya, cawapres paslon 01 Muhaimin Iskandar bahkan sempat mempromosikan film ini secara halus.

Hal ini mengingatkan saya pada tim dokumentasi dari Gerpolek Project saat menerbitkan buku berjudul “Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998” beberapa waktu yang lalu yang juga sama-sama banyak ditolak oleh pendukung pasangan Prabowo-Gibran.

Buku kumpulan kliping yang disusun oleh Muhidin M. Dahlan ini memang menjadi sangat viral beberapa hari yang lalu. Cetakan angkatan pertama langsung habis hanya dalam waktu beberapa menit. Sekali lagi, hanya beberapa menit.

Buku setebal 518 halaman dan berisi kliping-kliping koran yang mengisahkan kronologi 1998 yang menyoroti secara spesifik soal penculikan dan penghilangan paksa para aktivis prodemokrasi ini tentu saja tak luput dari nyinyiran.

Kehadiran buku kliping ini dianggap politis, selain karena isu yang diangkat tentang penculikan aktivis 98 yang mau tak mau pasti menyeret nama Prabowo yang saat ini menjadi salah satu kontestan Pilpres 2024, juga karena momentum perilisannya yang memang dilakukan di masa-masa pemilu. Hal itu ditambah dengan pemilihan cover bukunya, di mana di bagian atas cover, terpampang jelas potongan kliping koran dengan judul “Prabowo Dipecat, Akui Culik 9 Aktivis.”

Muhidin M. Dahlan sendiri, sebagai penyusun buku ini, menanggapi santai tudingan politis terkait bukunya ini.

“Mengkliping di negara seperti Indonesia memang kerja politik kok,” ujar sosok yang kerap disebut sebagai pengkliping terbaik kedua di Indonesia setelah Pramudya Ananta Toer ini.

Ketika ditanya soal perilisan buku yang sengaja dilakukan di masa pemilu, Gus Muh, panggilan akrab Muhidin M. Dahlan lagi-lagi menjawab santai. “Saya ini penulis, saya paham yang namanya momentum. Kalau saya menulis tulisan yang bagus tentang hari pahlawan, tidak mungkin saya menerbitkannya di bulan Januari. Setiap bulan September, saya juga rutin menulis tentang PKI. Jadi ini memang sengaja tentang momentum.”

Gus Muh mengatakan, ia merasa perlu membuat buku tersebut, sebab buku itu bukan sedang mengungkap aib seseorang, melainkan aib sebuah bangsa, yang memang perlu dibuka, sebagai bagian dari introspeksi.

Pada akhirnya, upaya untuk “mengkliping”, baik sebagai sebuah produk buku seperti yang dilakukan oleh Muhidin M. Dahlan dalam “Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998”, maupun sebagai sebuah produk video seperti yang dilakukan oleh Dhandy Laksono melalui film “Dirty Vote” akan selalu menjadi usaha yang penting untuk terus merawat ingatan sejarah. Politis atau tidak. Laku atau tidak. Berdampak besar atau tidak.

Terakhir, izinkan saya mengutip pernyataan penutup yang keras dari Bivitri Susanti alias Mbak Bibip di film Dirty Vote ini.

“Untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini, tak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan cuma dua: mental culas dan tahan malu.”